Mommy in Plastic Boots

Telat rupanya aku ceritakan kisah ini padamu, Nak. Belakangan ini aku rada malas menulis. Bukan apa-apa sebabnya. Hanya otak buntu dan sedikit jengah. Banyak yang sudah aku tuliskan padamu. Tentang banyak hal. Tapi apa yang berubah? Tak ada. Kita tetap hidup dalam sistem yang ada saja orang tak terselamatkan. Jengah aku, Nak. Ada yang bilang aku mulai cenderung untuk bertindak seperti pahlawan. Tak apalah. Aku memang ingin jadi pahlawan. Untukmu. Untuk ibumu.

Sehingga baiklah aku ceritakan kepadamu, sebelum otak ini bertambah buntu dan kata-kata basi. Minggu lalu, aku bertemu seorang perempuan, seorang ibu. Itu saat dingin nyaris beku di sebuah desa di pegunungan Lembang, Jawa Barat. Bu Atik namanya. Hampir empat puluh tahun usianya. Langkahnya cepat. Dengan beban di pundaknya, dia berjalan menembus kabut pagi. Aku kehilangan dia ketika mencoba mengejarnya di lorong-lorong kampung menuju areal kebun sayur milik Balitsa.

Kira-kira 15 tahun yang lalu, dia mempercayakan hidupnya kepada seseorang. Seorang laki-laki yang kemudian menjadi suaminya. Laki-laki yang sama yang lalu meninggalkannya begitu saja ketika ia usia kandungannya memasuki tujuh bulan. Anaknya lahir tanpa ayah yang menungguinya. Anak itu sekarang sudah kelas 8 SMP.

Untunglah, Bu Atik percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan. Setiap pagi, dengan sepatu boot plastik merk AP-nya, dia kerjakan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Didakinya gunung-gunung untuk mencari rumput yang tak perlu dibeli, didatanginya areal-areal yang mungkin membutuhkan tenaganya untuk mencangkul, menyiangi, atau sekedar menyiram. Di waktu-waktu tertentu, tangannya cekatan memerah susu sapi, memenuhi wadah aluminium 15 liter. Semua agar anaknya tetap bisa bersekolah.

BACA:  Enam Tahun dan Dua Tahun

Sekolah. Itulah satu-satunya jalan yang diyakininya untuk keluar dari penindasan. Penindasan terjadi karena ada kesepakatan. Tetap bekerja membanting tulang adalah cara Bu Atik menunjukkan bahwa ia tak sepakat untuk ditindas. Ditindas oleh kenyataan hidup, dan oleh tabiat seorang yang mengaku laki-laki yang pernah menjadi suaminya. Semuanya sudah lama dia kali nol. Tak lagi direken.

===
Ketika datang berkunjung untuk pertama kalinya ke rumah ibumu, Nak, aku dipenuhi rasa was-was. Suatu saat nanti insya Allah kamu juga akan merasakan, betapa menyiksanya momen bertemu calon mertua untuk pertama kali itu. Apalagi untuk orang sepertiku, jenis laki-laki yang para calon mertua akan berpikir dua kali untuk menyerahkan anaknya.
Tapi syukurlah, dalam beberapa aspek aku rupanya cukup meyakinkan. Maka jadilah. Aku dan ibumu menikah, dan kamu lahir sebelas bulan kemudian.

Tanpa bermaksud untuk konpetitif atau komparatif, aku senang bertemu orang-orang untuk sekedar ngobrol. Sekedar tahu bagaimana pencapaian mereka dalam hidup berumah tangga. Tentu saja berbeda-beda dan banyak cerita. Aku punya teman yang baru menikah 4 bulan tapi sudah kena gampar suaminya. Kasihan.

Bertemu dan ngobrol dengan banyak orang juga mengajarkan dan mengingatkan kembali kepada nasehat penghulu yang bisa jadi terlupa. Tadi malam aku dimarahi ibumu karena tugas mencuci piring yang sudah disepakati menjadi tugasku, sudah lama tidak aku kerjakan. Bukannya mau ingkar janji, hanya saja belakangan ini aku lebih sering pulang larut malam dan biasanya mencuci piring aku kerjakan keesokan paginya. Ibumu tidak terlalu suka. Mengundang kecoa dan semut, katanya. Lalu dia cucilah sendiri piring-piring itu. Bukan salahku toh?

BACA:  Dia yang Kau Panggil Mama

Bukannya mau sok pencitraan kalau aku bilang sampai sejauh ini kami belum pernah bertengkar hebat. Ya ribut-ribut sedikit adalah. Kalau soal menaruh handuk sembarangan, jangankan aku, Presiden Obama saja dimarahi oleh istrinya.

Ya, begitulah, Nak. Mudah-mudahan kami ini selalu digolongkan dalam orang yang tabah dan berlimpah rahmat. Suatu kali, seorang ulama pernah bilang, ketika dua orang telah menjadi suami istri, cinta romansa sudah selesai tugasnya. Namun mereka tetap bersatu karena ada rahmat Allah. Karunia itulah yang menjaga sepasang suami istri agar tetap saling menyayangi dan tidak saling menyakiti.

Nak, bukan karena sebentar lagi hari Valentine maka aku menulis ini. Bukan juga karena mengharapkan imbalan dari ibumu –atau setidaknya agar tidak lagi dimarahi karena tidak mencuci piring. Bukan itu, Nak.

Beberapa hari aku mengikuti Bu Atik bekerja dengan sepatu boot plastiknya itu. Dan seperti orang Indian kurang kerjaan, aku berusaha mencari visi dari semua itu. Mungkin inilah sebab Dia membuatku “tersesat” di pekerjaan ini, agar lebih banyak belajar dan melatih otak dan perasaanku yang gampang tumpul.

Sehingga aku berjanji dalam hati, kalaupun ada wanita yang harus bekerja dengan sepatu boot plastik di rumah ini, Nak, maka sepatu itu harus lebih dari sepasang. Muat di kakimu, muat di kakiku.
Seperti slogan klub sepakbola Liverpool: You’ll never walk alone!

BACA:  Ingin Jadi Pahlawan Pembela Kebenaran? Yuk, Cek Lowongan Ini!

Luv U, River!
Luv U, Sarah!

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga