Pelajaran Bisnis Pertama dan Selanjutnya untuk #BekalOchan

Ketika memutuskan memulai bisnis makanan pada November tahun 2021 lalu, saya dan istri saya Desanti tidak punya bayangan apa-apa tentang bagaimana menjalankannya. Hanya merasa bahwa ini harus segera dimulai. Pencetusnya pun sesuatu yang bisa jadi sangat personal bagi sebagian orang.

Saya masih mengingat hari itu. 9 November 2021. Saya dan Desanti keluar jalan pagi setelah shalat subuh.  Dua anak kami, River dan Rain, masih tidur.  
Kami menyusuri jalan kecil di sekitar kompleks. Memutar ke Jl. Matahari, ke Kunciran, masuk lagi ke arah Graha, kemudian keluar di Jl. Kayu Gede.
Mendekati jalan besar, kami berpapasan dengan seorang ibu menuntun sepeda, diikuti oleh dua anak perempuan kecil di belakangnya. Berjilbab kuning dan ungu. Saya taksir umurnya mungkin sekitar 10 tahun dan 7 tahun.

Di boncengan sepeda ibu itu ada kotak plastik yang saya tidak tahu apa isinya, sampai kemudian kotak itu terjatuh tepat di samping kami.

Saya terkesiap. Di atas penutup selokan itu terhambur bungkusan plastik berisi lauk, dan juga kotak yang terbalik dengan penutup yang terlempar agak jauh bersama beberapa gorengan bakwan.

“Bantuin, Yah!” kata  Desanti menyadarkanku. Saya melihat ibu itu kebingungan. Saya lalu meraih penutup kotaknya dan menyisipkannya di bawah kotak yang terbalik. Dengan cara begitu, setidaknya nanti cukup gorengan bagian atas saja yang dibuang, yang bersentuhan dengan tanah saja.

“Innalillahi. Ini baru keluar. Ini hari pertama jualan,” kata ibu itu berusaha tersenyum. Tapi saya melihat dua anak kecil itu seperti mau menangis. Bukan pengalaman menyenangkan melihat dagangan ibumu berakhir di tanah di hari pertama berusaha.

Merasa semuanya sudah beres,  saya dan Desanti melanjutkan perjalanan. Masih tersisa 600 meter lagi menuju target hari ini.
Menjelang gerbang kompleks, saya bilang ke Desanti, tadi saya sebenarnya ingin membayari gorengan ibu itu yang jatuh, supaya dia tidak terlalu rugi. Hitunganku ada sekitar 10 gorengan yang tidak bisa diselamatkan. Tak apa dibeli untuk dibuang, kan bisa jadi rezekinya semut atau bisa juga buat campuran bahan komposnya Abang River.

Saya juga berniat mau memberikan lebihan uang untuk dua anak kecil itu biar mereka tidak terlalu sedih, tapi saya tidak bawa uang.

“Kenapa nggak bilang ke Mama?” kata Desanti agak sewot. “Kan Mama bawa duit.”
“Kirain bawanya ngepas. Tadi kan sudah beli Pocari..”
“Ayah nggak nanya sih…”

Biasanya memang begitu. Kalau kami jalan pagi atau joging, biasanya bawa duit cash secukupnya saja untuk menghindari godaan nasi uduk dan lontong sayur sepanjang jalan. Bisa kacau dunia olahraga. Yang penting ada buat beli minum.

Sampai rumah, Desanti ternyata masih memikirkan itu. Dalam beberapa hal, dia memang agak “emotional sponge”, cenderung gampang menyerap hal-hal emosional dengan berlebihan. Persis spons. Saya ingat dulu dia juga pernah menyuruhku mengejar tukang balon gas dekat pasar yang seluruh balonnya lepas dan terbang.

BACA:  Astuti Farida, Pelopor Bank Sampah dan Aktivis Lingkungan Wonosobo

“Mau dicari? Ayo,” katanya mengusulkan. Dan begitulah ceritanya sehingga kami keluar lagi naik motor, menyusuri jalan berharap bertemu ibu dan anaknya itu.

Tapi seperti halnya ketika mengejar tukang balon gas waktu itu, kali ini pun begitu.
Sudah keluar masuk gang sampai ke sekolah-sekolah karena menduga ibu itu mau berjualan di situ, kami tetap tidak bertemu mereka.
Lalu tiba-tiba merasa gagal jadi manusia. Sudah dikasih kesempatan berbuat baik tapi tidak dimanfaatkan.

Saya lalu bilang ke Desanti, tentu ada alasannya kenapa sampai ibu itu jatuh dagangannya di samping kami.

“Allah mau ngasih tau kita sesuatu, Ma. Mama dengar kan tadi ibu itu bilang ini hari pertama mereka jualan? Baru hari pertama, dan dapat musibah pula. Mereka jualan mungkin karena nggak bisa menunggu lagi…”

Desanti mengangguk dengan mata hampir berair.


Beberapa bulan sebelumnya, saya sedang mengupayakan “mainan” baru buat Desanti. Hampir tiap hari, apalagi selama pandemi ini, Desanti selalu rajin membuat bekal untuk saya bawa ke kantor. Masakan Desanti selalu enak. Saking senangnya, selalu saya posting dengan hashtag #bekalochan di FB dan IG. Ochan adalah nama panggilan saya.
Sampai kemudian saya berpikir bahwa ini bagus kalau sekalian dijadikan bisnis.

“Coba Mama masak lebih banyak. Seporsi Ayah bawa ke kantor. Selebihnya Mama jual di kompleks. Pasti laku. Percaya deh.”
Begitu kataku kepada Desanti, beberapa bulan lalu.

Tapi Desanti bilang belum siap. Berbisnis harus matang persiapannya. Harus sempurna rasanya, harus bagus kemasannya, harus cantik fotonya, dan lain-lain.

Saya setuju, kecuali soal rasa.
Untuk rasa, menurutku sudah ultimate. Sudah tidak perlu tambahan apa-apa lagi. Kadang malah saya berpikir, masakan Desanti tidak kalah andaikata diadu dengan masakan Bu Sisca Suwitomo digabung dengan Chef Renatta sekalipun. Wkwkwkw.
Saya menunggu sampai Desanti siap. Sambil menunggu itu, saya sudah siapkan merknya. Merk #bekalochan menurutku menarik. Personal tapi (sok) akrab. Sudah saya siapkan juga akun medsosnya.

Tapi setelah kejadian pertemuan dengan ibu dan dua anaknya itu, mungkin akan ada sedikit perubahan. Saya dan Desanti kemudian ngobrol lagi agak lama.

Desanti senang masak, saya senang makan. Klop. Dan ini insya Allah bisa jadi bisnis yang bagus. Kan kata Pak Bob Sadino, selama manusia masih punya saluran pembuangan, jualan makanan akan selalu prospektif.
Ibu bersepeda itu mungkin memang dikirim Tuhan untuk mengingatkan kami.

Kami cukup beruntung. Tidak semua orang punya privilege seperti kami, ingin jualan makanan buat senang-senang saja. Ada orang yang memang harus ke segera jalan, membawa dua anak perempuan kecilnya yang mungkin masih kurang tidur, mengikat sekotak gorengan di boncengan sepedanya -tapi tidak terlalu erat sehingga terjatuh ketika ia minggir karena memberi jalan kepada sepasang suami istri yang pulang jalan pagi.
Sepasang suami istri yang kebanyakan ide tapi malas mengeksekusi karena menunggu waktu yang tepat yang entah kapan datangnya.

BACA:  Bagaimana Buah yang Tumbuh di Halaman Rumah Menghambat Kita Menjadi Tua

Lalu saya ingat pesan seorang fotografer, kalau tak salah. Jangan menunggu punya alat yang bagus dulu untuk memulai berkarya. Mulailah sekarang juga, dengan alat yang ada. Alat yang bagus pasti akan kau temukan sambil jalan. Dan begitulah ceritanya sehingga #bekalochan bergabung dalam barisan pencari kemungkinan baik di dunia kuliner. Kami menjual sambal berbagai varian rasa, dan juga menu ayam dengan bumbu khas Nusantara.

Membangun perusahaan rintisan dengan modal kecil, jelas kami bekerja dengan “berdarah-darah”. Dan banyak berdebat juga. Saya ingat pernah dimarahi Desanti karena saya bilang jualannya jangan terlalu ngotot, selow aja. Dia pun makin kesal karena saya tambahkan “jangan terlalu cepat kaya.”

“Gak boleh ngomong gitu. Di mana-mana orang itu bikin usaha biar cepat kaya. Memangnya kenapa kalau cepat kaya?” katanya.

Sebenarnya maksudku tidak begitu. Saya pernah baca artikel bisnis, kalau tak salah judulnya “Keep Your Business Small”. Di situ saya sepakat ide dasarnya. Perusahaan yang tetap kecil relatif bisa menjaga sisi-sisi humanisnya. Nggak terlalu eksploitatif ke sumber daya alam maupun manusia. Kalau dia punya karyawan, relasinya dengan karyawan stabil dan sehat. Bisnis besar gampang hilang arah kalau tidak dibarengi akhlak.
Wah, sudah mirip Pak Erick Thohir saya ini. Hehehe…

“Maksudku kita nikmati dulu proses kecil-kecil begini. BekalOchan jangan buru-buru jadi perusahaan besar, saya belum siap bikin mars perusahaan.”
“Apa urusannya sama mars?”
“Perusahaan gede kan biasanya punya mars.”
“Misalnya apa?”
“Itu Perind*.”
“Itu partai ‘kali.”
“Lho, kirain itu anak perusahaan.”
“Hush…”

Karena sama-sama tidak punya modal ilmu bisnis dan marketing, saya dan Desanti mau tidak mau harus banyak belajar. Terutama dari pengalaman pebisnis lain yang titik start-nya tidak jauh berbeda dari kami. Maksudnya sama-sama memulai dengan modal seadanya.

Baru-baru ini saya menemukan sebuah cerita menarik tentang seorang pemuda yang berjualan es. Namanya Yudi Efrinaldi. Yudi menjual minuman segar dengan merk “Es Gak Beres”. Nama yang unik dan terkesan nyeleneh.  Yudi memulai usahanya pada tahun 2019 setelah gagal mencoba berbagai usaha kuliner. Pria lulusan SMA Muhammadiyah 8 Kisaran ini sudah mulai berjualan sejak tahun 2017, setelah ia berhenti bekerja sebagai pegawai honorer. Pertama kali berdiri, Yudi hanya menjual 3 varian rasa. Namun kini sudah berkembang menjadi hampir 50 varian.

Foto: Astra-Inspirasi Para Penerang Negeri

Hebatnya anak muda yang tinggal di Asahan, Sumatera Utara ini, ia tidak ingin sukses sendirian. Ia membuka kesempatan bagi masyarakat yang juga ingin berjualan es dengan merk yang sama. Mitra yang ingin bergabung, cukup dengan modal kurang dari 4 juta rupiah, sudah bisa membuka cabang “Es Gak Beres”. Yudi membantu mitranya dengan bahan baku dan keperluan lain hingga siap untuk berjualan.

BACA:  Tentang Wanita dan Lekatnya Stereotip “Makhluk Sejuta Kode”

Dikutip dari buku “ASTRA-Inspirasi Para Penerang Negeri”, Yudi telah memiliki hampir 500 mitra cabang Es Gak Beres di berbagai daerah. Tersebar di sepanjang Sumatera, Kalimantan, Lampung, hingga Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Yudi adalah salah satu penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards 2021. 

Foto: ASTRA-Inspirasi Para Penerang Negeri

Berawal dari gerobak kecil di pinggir jalan, omzet Yudi kini bisa mencapai 150 juta rupiah per bulan. Total karyawannya mencapai 50 orang. Dengan usahanya ini, Yudi sudah ikut membuka lapangan pekerjaan. Kesuksesan itu pun tidak membuat Yudi “selesai”. Seiring usahanya semakin berkembang, Yudi ingin menjadi semakin bermanfaat. Ia mendonasikan keuntungannya melalui komunitas Sedekah Keroyokan. Yudi mengajak pengusaha lain untuk saling membantu melalui berbagai program amal. Salah satunya adalah hibah ambulans gratis untuk masyarakat umum di sejumlah daerah. Ke depannya, Yudi berharap bisa membuka atau memfasilitasi rumah sakit, dan menyediakan beasiswa kepada anak-anak kampung yang berprestasi.

Foto: Astra-Inspirasi Para Penerang Negeri

Saya belum tahu bagaimana perkembangan bisnis kuliner kami nantinya. Tapi kalau boleh berharap, kami ingin seperti Yudi Efrinaldi, atau minimal bisa meniru semangatnya. Suatu hari nanti, saya dan Desanti ingin sekali bisa melibatkan banyak orang di sekitar kami dalam bisnis kami. Misalnya membeli langsung pasokan bahan dari petani, atau mempekerjakan anak-anak muda putus sekolah sambal mengupayakan mereka bisa tetap melanjutkan belajar. Dan sekiranya pun kami ditakdirkan menjadi perusahaan besar, kami ingin bisa mengembalikan sebanyak mungkin manfaat kepada masyarakat. Seperti kata Richard Branson, pemilik 360 perusahaan di bawah bendera Virgin Grup, kita tetap bisa menjadi kapitalis sambil tetap membantu orang lain mendapatkan haknya.

Karena pada akhirnya, mengutip ajaran begawan ekonomi dunia Peter Drucker, tidak ada gunanya juga kita menjadi orang yang paling kaya di pemakaman. Jadi, berbagilah selagi ada kesempatan.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga