Menonton Artis Ibukota

Gagah sekali Hari Mukti berdiri di kap depan mobil jip itu. Tangannya melambai-lambai kepada kami yang berkerumun di tepi jalan. Ibu-ibu mengelu-elukannya. Gadis remaja histeris. Sesekali ada yang meneriakkan sebait lagunya. Dududududu… Ada kamu di dalam hatiku!

Nanti malam, bersama artis-artis ibukota lain, dia akan bernyanyi di lapangan terbesar di kota kami. Berjasa sekali pabrik rokok yang telah menghadirkan mereka ke kota kecil kami Watampone, yang jauhnya dua tahun cahaya dari Jakarta.

Di lain hari Ikang Fauzi juga datang dan diarak keliling kota. Nike Ardilla juga. Dan lagi-lagi kami berkerumun. Tiket dijual seharga 3500 rupiah plus bonus sebungkus rokok sponsor.
Dan di situlah kesenanganku terhenti. Aku hanya bisa melihat mereka sebatas ketika diarak. Seperti halnya mobil promosi film bioskop yang ada TOA-nya, aku sudah cukup senang mengejar-ngejarnya ketika lewat. Mobil pick up yang di belakangnya terikat poster film seukuran 1,5 x 2 meter. Mobil promosi yang kalau sudah capek, tukang corongnya suka teriak: “Hadirilah! Banjirilah. Film terbaik tahun ini. Barry Prima menumpas teroris. Hanya di bioskop Iiiiiistaaa**. Tak punya uang bisa pakai beras!”

Ketika menulis ini, aku berusaha mengingat show artis ibukota siapa saja yang pernah aku tonton di Lapangan Persibo itu, belasan atau bahkan puluhan tahun lalu. Tapi tak ada satupun yang membekas. Satu-satunya show dari Jakarta yang bisa aku ingat adalah sebuah rombongan akrobat. Aku ingat karena pertunjukannya diakhiri dengan ambulans masuk menyerbu lapangan karena seorang manusia cebol disembelih dan lehernya tak bisa nyambung lagi. Saat itu Bapak yang membawaku menonton berusaha menghiburku dengan bilang itu cuma pura-pura. Tapi aku ketakutan setengah mati karena melihat darahnya benar-benar rembes.

Mungkin pertunjukan horor itu yang membuat semua ingatan tentang artis-artis ganteng dan molek di lapangan itu sirna. Ataukah memang aku tak pernah menonton satu pun dari mereka.

Kenangan ini tiba-tiba terbersit lagi karena tadi malam aku melihat banyak artis ibukota. Iya, Nak, itu karena kita di ibukota sekarang. Dan rasanya aneh. Sejak aku mencari nafkah di stasiun TV ini, melihat artis ibukota adalah hal yang sangat biasa. Aku pernah pipis bareng Afgan, maksudku dia pipis di urinoir di sampingku, dan rasanya biasa saja. Aku juga pura-pura cuek. Kadang-kadang aku heran, di mana itu getar-getar takjub yang dulu sering aku rasakan bila melihat artis ibukota? Tapi mungkin akan lain ceritanya bila pipis bareng Luna Maya, misalnya…

BACA:  Itu Apa?

Yang cukup membuatku deg-degan adalah waktu sekumpulan anak muda tiba-tiba bergabung dengan kami di tempat biasa merokok. Oo-em-ji! Darimana mahluk-mahluk berjubah hijau ini muncul? Aku sempat berpikir bahwa penculikan alien itu benar-benar ada seandainya temanku tidak segera memberitahu. “Itu Sm*sh…,” kata temanku berbisik. Tiba-tiba aku teringat padamu, Nak. Mudah-mudahan kelak kamu tidak salah memilih idola.

Oya, kembali ke soal tadi malam. Jadi ceritanya ada acara ulang tahun salah satu acara gosip infotainmen di kantor kami. 8 tahun, Nak. 8 tahun bergosip. Kebayang gak gimana busanya tuh. Ada banyak artis datang. Dari yang culun sampai yang keren. Dari yang anggun sampai yang provokatif. Aku sebenarnya datang bukan untuk melihat Jupe kayang, Nak. Toh menonton lewat TV di rumah jauh lebih enak, bisa sambil dipijit ibumu soalnya. Niatku tadinya pengen motret kembang api atau phyro fountain yang selalu ada di akhir acara. Sudah lama aku niatkan pengen punya stok foto kembang api yang keren. Beberapa kali ada acara kayak gini, kembang api penutupannya selalu keren. Jadilah aku ikut berdesakan di antara penonton.

Dari seorang kawan aku dapat copy-an rundown acara, dan tersebutlah bahwa kembang api akan meluncur dari lantai 9 sekitar pukul 23.30. Ampun! Itu bisa berarti jam 00.30 kalau melihat gejala slide-down acaranya. Baiklah. Sembari menunggu, aku nongkrong di belakang panggung bareng cleaning service dan tukang katering. Dan rupanya itu adalah tempat yang sangat strategis. Baru duduk beberapa menit, 9 cewek dengan pakaian yang sangat mini lewat. Saking dekatnya, aku seolah bisa merasakan kibasan gaunnya di hidungku. Belum selesai rasa terkejutku, 9 cewek yang kata mas-mas di sampingku adalah grup Cherry Belle, satu per satu naik tangga yang ada di depanku. Oomaleee. Kalau di fotografi, ini adalah sudut bidik yang sangat tepat. Kalau tak ingat ibumu, Nak, aku pasti akan duduk berlama-lama di situ.

BACA:  Yang Mau dan yang Malu: Calon Presiden Keturunan Tionghoa

Setelah menikmati sedikit angle terbaik dari personil Cherry Belle itu, aku akhirnya memutuskan pulang. Misi dianulir. Kembang api masih sekitar 2 jam lagi. Aku ingat kamu dan ibumu di rumah yang kepanasan karena AC sering tiba-tiba gak stabil. Di-set 23 malah jadi 32. Aku juga baru ingat tadi belum sempat menukar tabung gas yang habis, dan itu artinya ibumu tak bisa masak kalau tiba-tiba dia bangun tengah malam dan kelaparan.

Ketika minta izin keluar rumah, ibumu sempat bertanya untuk apa aku mencari foto-foto kembang api. Aku cuma bilang buat stok, siapa tahu nanti butuh. Padahal sudah lama aku ingin bercerita tentang kembang api untukmu, tapi selalu tak aku temukan cara yang lebih baik untuk menunjukkan maksudku. Hampir selalu tenggelam dan jadi kabur maknanya. Kalau aku punya setidaknya satu foto yang aku jepret sendiri, mungkin bisa aku tunjukkan padamu suatu hari nanti.

Seringkali aku berpikir tentang semesta paralel (parallel universe). Bahwa ada semesta yang sedang berjalan berdampingan dengan semesta kita sekarang. Ketika melihat kembang api yang cepat dan lekas itu, kita sering berpikir betapa singkatnya itu. Bercahaya sekilas, lalu hilang digantikan yang lain. Padahal di semesta kembang api, mereka sudah merasa bergerak sangat lambat: terhimpit menunggu teroksidasi lalu menyulut butir demi butir bubuk mesiu dan mengeluarkan cahaya yang merambat milimikron per milimikron. Pelan sekali, tapi kita melihatnya sangat cepat.

BACA:  Sungai Muhammad

Seperti halnya kita melihat kembang api atau kibasan rok Cherry Belle, mungkin ada semesta lain yang melihat kita sedemikian. Kita merasa sudah sedemikian lambat, tapi di mata semesta lain itu kita bergerak sangat cepat seolah-olah DVD Elmo yang di-fast forward. Ketika berbicara kita bisa saling memahami, tapi di semesta lain kita terdengar seperti orang berkumur-kumur yang berbicara mi-mi-mi-mi-mi pada setiap apa yang kita yang ucapkan.

Begitulah yang sesungguhnya ingin aku ceritakan kepadamu tentang kembang api, Nak. Bahwa kita mungkin punya waktu tak sebanyak seperti yang kita pikirkan.

Oya, Nak, Hari Mukti sekarang sudah jadi da’i, beliau tidak lagi naik ke atas kap mobil jip. Nike Ardilla tewas kecelakaan. Ikang Fauzi menikah dengan Marissa Haque. Anang sekarang tidak lagi berduet dengan Syahrini. Ashanti menggantikannya. KD dan Raul Lemos juga sudah punya anak. Namanya Amora.

Fauzan Mukrim

7 Comments

  • River mungkin jadi petualang, jadi artis atau jadi politisi..tapi semoga bakat menulis ayah mu bisa menurun pada River…
    Ayo mengalir River..

  • -aah, Kanda Yus. sy jadi ingat pertemuan kita di figur 97. semester 1 pun sy belum khatam, dan Kanda Yus sudah sy anggap sebagai guru..

    -om acank, tulisanta' keren sangat di blogta' tapi sy tak bisa meninggalkan jejak sebangsa terima kasih untuk pencerahannya..

    -Tante Ria bisa saja.. mudah2an River nanti bisa belajar sama Tante Ria 🙂

    -Schatzi Room, sy malah lupa pernah kasih materi di Kosmik. Pasti sembarangji kubilang itu. Maafkan… 🙂

  • ini baru tulisan yang dibilang keren..secara langsung sy anak kosmik yang tdk pernah ikut materi dimana kak ochan jadi pematerinya,hiks..

  • menikmati (lagi) tulisan kakanda fauzam mukrim lewat blog, sensasinya beda 🙂 terima kasih *yang tak pernah berhenti* untuk tulisan yang begitu mencerahkan ini.. river pasti bangga membacanya saat ia dewasa ..

  • luar biasa kanda ochan. setiap membaca tulisanta, saya selalu ingin kembali jadi mahasiswa semester satu yang belajar ulang cara2 kepenulisan. kita selalu bisa menghadirkan tulisan yang bikin saya cemburu berat!

Leave a Reply

Silakan dibaca juga