Dari Pojok Bekasi ke Luar Negeri

Artikel ke 8 dari 42 artikel dalam Topik : Lomba Menggunjing Tetangga 2016

1


Jalan di Kampung Pintu Air RT 02 RW 07 Kelurahan Harapanmulya, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi, hanya bisa dilewati dua motor. 15 menit dari tempat tinggal saya di kawasan Veteran Margajaya. Itu estimasi bila ditambah macet. Maklum, markas Cahaya Anak Negeri (CAN) berada tak jauh dari Stasiun Bekasi, salah satu titik macet terparah di kota ini. Kiprah CAN yang digawangi suami-istri Andi Suhandi dan Nadiah Abidin ini bukan bisik-bisik tetangga lagi, tetapi sudah bisik-bisik nasional.

Betapa tidak, bila bertandang ke CAN, di salah satu sudut ruangan, terjajar rapi piala yang mereka dapatkan mulai dari CAN berdiri pada 2009 hingga sekarang. Tapi, CAN itu apa sih? CAN adalah lembaga pendidikan anak jalanan yang diberikan secara gratis, bahkan anak-anak juga sering mendapatkan kebutuhan keseharian dengan cuma-cuma. Di sini soft skill mereka diasah. Dan, semua itu dibangun bukan dari “keberadaan”, tetapi dengan tekad dan kemauan.

 

Andi Sebagai Prototype

Andi, sang inisiator, adalah prototype CAN itu sendiri. Perjumpaan pertama kami September 2014. Saat itu saya menulis laporan di Radar Bekasi dengan tajuk “Rela Dandan Ala Anjal, Tak Marah Buku Dikiloin”. Ya, kala itu Andi menceritakan awal berdirinya CAN, yang sebelumnya bernama Sanggar Anak Matahari, yang tentu saja tak mudah dan boleh jadi menimbulkan pertanyaan “ngapain?” bagi sebagian kita. Ia bisa saja berfokus pada dirinya sendiri, lulus kuliah, cari kerja yang mapan.

Tapi tidak! Saat ia melintas di sekitar Jalan A. Yani dan bertemu dengan anak-anak kecil yang sudah harus berjuang mencari sesuap nasi, dengan mengamen, mengemis, berjibaku dengan panas dan hujan dan polusi dan ancaman penertiban, hatinya terketuk. Tak lain karena ia merasa pernah berada pada posisi itu. Andi mengisahkan, semasa remaja ia sudah harus bekerja supaya bisa terus sekolah. “Mulai menggembala kambing, jadi kuli bangunan, sampai jadi tukang kredit pakaian wanita,” kenangnya.

BACA:  Karir Terhambat, Bukan Halangan untuk Bermanfaat

Dan, demi mengubah nasib ia pun mengambil pendidikan strata satu, di Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi. Jurusan Ilmu Komunikasi. Modalnya nekat. Tak soal, yang penting kuliah, pikirnya. Ia pun, sembari kuliah, terus bekerja menjadi tukang cuci piring di warung, jadi asisten fotografer, jaga parkir, serta sejumlah pekerjaan serabutan lainnya. Dari situ Andi ingin menularkan semangat, etos kerja, dan sikap pantang menyerah kepada anak-anak didiknya di CAN.

Hingga pada 2011, dua tahun setelah CAN berdiri, Andi diundang program televisi Kick Andy untuk menerima penghargaan Kick Andy Award untuk kategori Young Hero atas jerih payahnya melakukan pemberdayaan pada generasi muda. Kick Andy Award Young Hero adalah penghargaan yang diberikan kepada sosok-sosok inspiratif yang dianggap pahlawan dan diambil dari kalangan muda. Ia juga memperoleh penghargaan sebagai Pekerja Sosial Masyarakat terbaik di Kota Bekasi dan 10 besar di Jawa Barat.

2

Sejumlah kisah pun terukir dari kiprahnya di CAN. Semisal saat hendak mengikuti ospek di Unisma, Andi tak memiliki ikat pinggang. Ia sempat bercerita pada anak-anak pada malam harinya dan pada pagi harinya sekonyong-konyong teronggok ikat pinggang di depannya, yang didapatkan anak-anak entah dari mana. Ada pula cerita tentang kasus kehilangan buku di perpustakaan CAN (waktu itu) yang ternyata usut punya usut dikilokan oleh anak-anak didiknya. Namun ia tak pernah marah atas perlakuan itu.

 

Tak Sendiri, Ada Nadiah di Sampingnya

Untuk menapak pencapaian tersebut, Andi Suhandi tidak sendirian. Bersama partner kerjanya, Nadiah Abidin, ia membangun semuanya dari nol. Epiknya, lantaran keseringan kerja bareng, mereka pun memutuskan menikah. “Sebab orangtua sempat kuatir anak perempuannya setiap hari mengajar di Sanggar Anak Matahari yang dikelola pemuda perjaka,” kata Nadiah. Kekuatiran orangtua Nadiah tentu beralasan. Pasalnya, daripada jadi fitnah, maka lebih baik menikah, tentu dengan catatan saling cinta.

BACA:  Cara Asyik Sumbang Buku Ala Lemari Buku-buku

Aih! Gayung pun bersambut. Kebiasaan bersama setiap hari menumbuhkan bunga-bunga cinta di hati keduanya. Nadiah bukan perempuan biasa. Ia tumbuh di keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan. Tak heran, banyak di antara keluarganya yang bahkan sampai menyelesaikan pendidikan hingga S3. “Allah yang mempertemukan kami pada satu titik, Allah pula yang pada akhirnya menyatukan kami pada satu mahligai,” ujar perempuan kelahiran Jerman ini.

Sebelum menikah, kata Nadiah, mereka sempat berada di persimpangan jalan. Nadiah mendapat tawaran beasiswa S3 di Jerman. Andi mendapat tawaran bekerja sebagai produser di salah satu stasiun televisi swasta. Tapi, mereka memilih melepaskan tawaran prospektif itu demi bertahan di CAN. Jurang yang memisahkan keduanya tak menjadi aral bagi Andi dan Nadiah untuk menikah. Pertimbangan agama menjadi instrumen utama, Andi dites calon mertuanya membaca Al-Qur’an. Dan, ia pun berhasil.

3

Prestasi hingga Luar Negeri

Pada 2010, Nadiah mendapat penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Andi Malarangeng, dan Wakil Presiden Budiono, sebagai Pemuda Berprestasi Utama Indonesia kategori Penulis Esai Terbaik yang mengangkat tema “Jaringan Sosial Terpadu: Alternatif Pengembangan Potensi Anak Jalanan Berbasis Intelektualitas, Bakat dan Minat.” Penyerahan penghargaan tersebut disiarkan live oleh seluruh televisi nasional pada saat peringatan hari Sumpah Pemuda di Solo.

Pada 2014, Nadiah menjadi satu-satunya wakil Indonesia dalam program E-Teacher Scholarship bersama 24 negara lain untuk mengikuti perkuliahan singkat di Universitas Oregon, Amerika Serikat. Untuk sampai berangkat ke AS, ia melakukan seleksi dan berhasil menyingkirkan 1.174 nominator dari berbagai penjuru dunia yang mayoritas guru sekolah formal dan memiliki reputasi yang bagus di dunia pendidikan. Di antara negara peserta adalah Brasil, Bolivia, Ukraina, Rusia, Yaman, Sudan, dll.

“Bahkan di sana sistem pendidikan siswa sudah seperti di perkuliahan, dengan pertimbangan bahwa masing-masing siswa mempunyai daya tangkap yang berbeda. Mirip dengan sistem SKS. Dan, demi efektifitas, satu ruang kelas tidak boleh ditempati lebih dari 20 siswa. Anak-anak di sana diajarkan dan terus dirangsang untuk menciptakan sesuatu yang memiliki hubungan dengan konteks keseharian. Sangat produktif dan menyenangkan,” terangnya.

BACA:  Kang Mas’ud, Langkah Pejuang Difabel dari Pelosok Desa hingga Negeri Sakura

Cahaya Anak Negeri memang berada di gang sempit, di samping stasiun yang mengalunkan nada berisik, di “pojok” Kota Bekasi. Tapi, dari sanalah prestasi itu diukir. Dari tawa ketulusan dan semangat yang tak padam ditempa berbagai kesulitan. Dari ketabahan yang berubah menjadi kekuatan dan optimisme yang tak pernah hilang dari nyala mata anak-anak jalanan. Dari mereka kita patut mengambil teladan, bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi sesama.

Penulis:

Syamsul Badri Islamy

pernah bekerja sebagai wartawan di Radar Bekasi. Kini Pemimpin Redaksi Majalah Al Wasilah Badan Amil Zakat Nasional Kota Bekasi.

Facebook: Syamsul BI.

Twitter: @syamsul_islamy.

 

–Artikel ini diikutsertakan dalam yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik

 

 

Artikel dalam Topik Ini : << Ibu-ibu, Ayo Sekolah!Opung, Sederhananya Sebuah Kebajikan >>

Leave a Reply

Silakan dibaca juga