Aa’ RT Emang Keren

Artikel ke [part not set] dari 42 artikel dalam Topik : Lomba Menggunjing Tetangga 2016

Semarak umbul-umbul dan bendera merah putih, tersebar diberbagai sudut komplek perumahan. Kaum muda hilir mudik, bahkan dari minggu pertama bulan agustus. Anak usia belasan mendatangi setiap rumah, mendata anak-anak untuk aneka lomba.

Sesuai kategori umur tersedia pilihan, ada lomba makan kerupuk, balap karung, membawa kelereng di sendok, tarik tambang, main bola, joget balon dan masih banyak lomba lainnya.

“Sepertinya, acara tujuhbelasan tahun ini bakal meriah” celetuk seorang bapak penghuni perumahan.

Saya pribadi mengamini dan merasakan sendiri, suasana tahun ini terasa beda dibanding sebelumnya. Ajakan bersih taman dan pasang bendera, diberitahukan melalui selebaran.

Anak saya sibuk menghias sepeda, turut memeriahkan pawai sepeda hias. Lomba yang akan digelar pasca upacara bendera, ternyata banyak menarik minat peserta. Tak kurang dari tigapuluh pendaftar sudah tertulis, memperebutkan hadiah berupa peralatan tulis.

Ada lagi lomba diikuti gadis mungil saya, yaitu lomba joget balon dan estafet karet. Dua lomba ini berpasangan, membutuhkan kekompakkan dalam satu team. Dua jenis lomba ini tak kalah menarik, ternyata peminatnya juga cukup banyak.

Mungkin hadiahnya biasa-biasa saja, tapi upaya menghidupkan suasana kemerdekaan patut diacungi jempol.

Tapi kalau mau dirunut, tak hanya hendak perayaan hari kemerdekaan saja. Saat menjelang puasa tahun ini, juga diadakan kegiatan pawai obor. Anak-anak TK sampai SMA berbaris, mengelilingi komplek mengumandangkan takbir. Menyusul pasca mudik lebaran, diselenggarakan acara halal bihalal bertempat di taman Blok E.

Acara Pawai Obor Menjelang Ramadhan -dokpri-
Acara Pawai Obor Menjelang Ramadhan — foto: dokpri

Yup, semua suasana ini benar terasa berbeda !

Setelah tujuh tahun berjalan, keluarga kecil saya tinggal di perumahan daerah Ciputat. Semarak bergotong royong kini terasa hidup, kami guyub dan saling membutuhkan. Setelah saya coba telisik, tokoh kunci penggerak itu adalah sosok ketua RT.

Aa’ RT, begitu sang pemilik jabatan menyematkan panggilannya

Kami pada awalnya, kerap keliru memanggil dengan sebutan Pak RT. Namun Pak Rommy selalu meralat, “Hadeuuh, ini Aa’ bukan Bapak” tukasnya di group WA.

Melihat dari perawakan, usianya empat atau lima tahun di atas saya. Namun pembawaan kocak dan suka melucu, membuat wajahnya lebih awet muda. Aa’ RT ikut di semua group WA warga, mulai WA khusus bapak, ibu dan pemuda.

Aa’ RT adalah ketua RT ketiga, sejak pertama kali menjadi saya warga di perumahan lama ini. Konon orang tua Aa’ RT asli warga komplek, namun Aa’ RT ikut orang tua sempat pindah ke kota lain. Sementara rumah lama ditempati sang kakak, sampai beranak pinak. Entahlah bagaimana ceritanya, kini Aa’ RT kembali ke rumah asal kelahiran.

BACA:  Belajar Arti Kehidupan
Warga semakin guyub dan rukun (aa RT berdiri baju biru) --foto: dokpri
Warga semakin guyub dan rukun (aa RT berdiri baju biru) –foto: dokpri

Awalnya saya sempat heran, melihat Aa’ RT sudah banyak kenal warga. Meski baru beberapa bulan, kembali menetap di Perumahan ini. Berbicang dengan warga usia sebaya, dengan sebutan “Lo” “Gue”. Pun denggan para sesepuh, tak ada kesan sungkan dan kaku. Namun setelah mengetahui riwayatnya, barulah rasa heran saya menguap pergi.

Melihat, mendengar dan merasakan suasana jelang perayaan kemerdekaan, mendadak saya berkilas balik awal kedatangan.

-0o0-

Alhamdulillah, tahun 2009 keluarga kecil kami menempati rumah sendiri. Rumah dengan bangunan lama, dari penampakkan sangat perlu direnovasi sana- sini. Pagar dengan cat hitam sudah mengelupas, empat rodanya macet perlu tenaga eksta mendorongnya. Warna tembok sudah kusam, beberapa bagian ada bekas tanah belum dibersihkan. Keramik model lama terkesan murahan, beberapa sudah lepas dari tempatnya.

Apapun keadaannya, sungguh kami syukuri dari hati terdalam. Perjalanan biduk rumah tangga telah terlampaui, kami suami istri mewujudkan mimpi sampai sejauh ini. Setelah menjelang 4 tahun mengontrak, di sebuah rumah tak jauh dari perumahan yang sekarang.

Perjuangan ekstra keras kami jalani, menabung sedikit demi sedikit berhemat dalam belanja. Setiap mendapat rejeki, selalu menyisihkan separuh lebih untuk rumah idaman. Baru sisanya digunakan kebutuhan lain, menunjang kegiatan sehari-hari.

Awal pembelian rumah --foto: dokpri
Awal pembelian rumah –foto: dokpri

Setelah tabungan mulai banyak, barulah berani mencari rumah ke mana-mana. Hingga dipertemukan dengan seorang nenek, melalui perantara teman pengajian ibu mertua. Pada usia senja di atas 70 tahun, si nenek ingin hidup bersama di rumah anak sulungnya.

Setelah prosesi jual beli selesai, pemilik lama segera angkat kaki. Saat itu saya ikut melepas, kepergian nenek bersama anak bungsu sudah berumur tapi belum menikah.

Medio tahun 2009

Sebagai warga baru, saya melapor kehadiran beserta keluarga kecil kami. Bapak RT sudah seusia ibu saya, memanggil kami suami istri dengan sebutan dek.

Tetangga depan rumah, adalah keluarga muda seperti kami. Pada awal pindah, kepala rumah depan rumah adalah pekerja kantoran. Biasanya jam 08 pagi berangkat kerja sembari saling bersapa, pulangnya bisa di atas jam 21 bahkan lebih. Pernah saya mendengar, pagar besi tetangga dibuka menjelang adzan subuh (saat ini sudah resign berwirausaha).

Sementara tetangga sebelah kiri rumah, adalah pasangan kakek nenek dengan anak bungsu yang belum menikah. Menilik usia sang anak, sudah melewati tigapuluh tahun. Rumah yang ada disebelah kanan kosong, konon penghuninya punya rumah di daerah lain.

BACA:  Anjing dan Toleransi Tetangga

Dua tahun menjadi warga perumahan, seingat saya tak pernah ada kerjabakti. Saya berurusan dengan Pak RT, kalau hendak mengurus KTP atau SKCP (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Selebihnya membayar iuran bulanan, itupun melalui bendahara RT atau petugas keliling.

Beberapa warga lama yang lebih tua, kadang kurang ramah meski sudah kami sapa baik-baik. Pun saat acara hajatan, kerap kali kami (mungkin) terlewat untuk diundang.

Tiba-tiba pada 2011 ada pergantian ketua RT, saya tidak merasa ikut dalam pemilihan. Ketua RT berganti nama baru, setahu saya pengurus dipertahankan. Menurut yang saya rasakan, tak terlalu berbeda dengan kepengurusan sebelumnya.

Awal 2016

Pemilihan ketua RT baru dimulai, dengan sistem yang lebih kekinian dan mengakomodir suara warga. Setiap rumah diberi kertas pemilihan, memilih satu dari lima nama nominator. Satpam menyerahkan kertas pilihan, memberi waktu sehari untuk menentukan jagoannya.

“Pilih Pak Rommy saja” celetuk istri dan saya sepakati

Keesokkannya kembali Satpam mengetok pintu, mengambil kertas yang sehari sebelumnya diserahkan. Penghitungan suara dilakukan, sampai muncul satu nama terpilih adalah Pak Rommy. Sebagai warga saya tentu senang, proses pemilihan RT berjalan demokratis.

Awal Feb’2016

Tiba-tiba saya masuk group WA, membernya adalah tetangga satu blok. Tak lama Istri mengabari hal yang sama, masuk group WA dengan member ibu-ibu.

“Wah, group ini pasti menyatukan warga” ujar saya

Dari group WA inilah, Pengurus RT sering berkomunikasi dengan warga. Menyosialisasikan program atau kegiatan RT, sekaligus minta dukungan dari warga. Meski tak beda dengan group WA lainnya, kadang chatting candaan atau intermezo sering berlangsung.

Warga perumahan yang sepuh, mulai tak canggung bergaul dengan anak muda. Pun kami golongan muda, tetap menghormati penghuni lama yang sudah menjadi kakek dan nenek.

Agustus 2016

“Lomba Sepeda Hias akan dimulai, Kepada Pak RW dimohon melepas Pawai Sepeda Hias,” suara remaja terdengar keras di lokasi taman.

Pak RW mengambil posisi, tiang bendera pelepasan bergerak ke atas tanda pawai dimulai

Anak saya (5 tahun) siap di atas sepeda, rumbai kerta warna merah putih mendominasi roda duanya. Hiasan yang dipasang di sepeda, selaras dengan baju dan celana yang dikenakan. Dua roda berputar stabil, menjaga jarak agar tak menabrak sepeda di depannya.

Lomba sepeda hias perayaan tujuhbelas agustus --foto: dokpri
Lomba sepeda hias perayaan tujuhbelas agustus –foto: dokpri

Aa’RT paling giat, menyemangati anak-anak yang mengayuh sepeda. Dua tangannya bertepuk, sembari mengucap kata “Ayo-Ayo-Ayo” pada anak yang lewat di depannya.

BACA:  Semua Karena (Bude) Umi...

Pawai ini mengelilingi beberapa blok di perumahan, yang dirasa tak membuat anak-anak terlalu capek. Sementara para ibu mengikuti di samping sepeda anaknya, tak mau lepas barang sebentar. Alhasil yang ramai justru ibunya, dibanding anak yang menjadi peserta lomba.

Kemeriahan acara tujuhbelas agustus --foto: dokpri
Kemeriahan acara tujuhbelas agustus –foto: dokpri

Penilaian tak hanya yang paling cepat sampai, tapi juga dinilai dari hiasan dan busana yang dipakai. Setelah beberapa saat berlalu, sepeda terdepan kembali memasuki taman disusul sepeda berikutnya.

Anak saya ada ditengah-tengah, tak lagi sejajar dengan teman yang sama saat berangkat. Setelah istirahat dan minum air mineral, terdengar nama pemenang pawai sepeda hias. Nama anak saya tidak disebutkan, pada wajah polos ini ada semburat rasa kecewa.

“sudah ga apa-apa, ini cuma lomba” saya merengkuh mengusap pedih di hatinya.

Senangnya dapat hadiah --foto: dokpri
Senangnya dapat hadiah –foto: dokpri

Beruntung pada lomba joget balon, gadis kecil saya menang juara satu. Selain itu juga menang juara tiga, untuk lomba estafet karet. Sehingga impas sudah rasa kecewa, atas kekalahan di pawai sepeda terganti.

Kami warga bergembira bersama, merasakan kekompakan yang coba dihidupkan. Keseruan perayaan tujuhbelasan, kini hadir di perumahan yang dulu sepi kegiatan. Suka ria dan canda tawa kami para warga, semakin mendekatkan sekaligus sebagai ajang berbaur.

Hati ini bergumam “Aa’ RT Memang Keren”

 

===

 

Penulis:

Agung Han

Akun FB : Agung Han
Akun Twitter : @ agunghan_
Blog:  http://sapa-ku.blogspot.co.id
–Artikel ini diikutsertakan dalam yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik—
Artikel dalam Topik Ini :

Leave a Reply

Silakan dibaca juga