Ibu Mau Naik Haji

Ilustrasi. Img:freeimages.com
Ilustrasi. Img:freeimages.com

River, ini cerita tentang naik haji.

Aku belum menonton film “Emak Ingin Naik Haji”, padahal seorang teman baik mengundangku menonton premier-nya di awal November lalu. Tapi aku tak sempat, karena harus mengerjakan tugas di waktu yang ditentukan itu. Biarlah. Mungkin lain kali. Ada yang ingin aku bandingkan. Samakah perasaanku dengan tokoh anak yang emaknya ingin naik haji itu?

Ibuku juga belum naik haji, meskipun beliau sangat ingin. Ibuku PNS, bekerja sebagai hakim di kantor Pengadilan Agama di kota kami. Ia menyidang perceraian, kasus waris, dan beberapa kasus perdata yang tak aku mengerti. Di kota kami yang kecil, ibuku termasuk hakim angkatan pertama bersama dengan 7 atau 8 orang rekannya. Ayahku pegawai Bea Cukai di salah satu kantor kelas bawah di pelabuhan penyeberangan Bajoe. Konon, dulu dia pernah bertugas sebagai Petugas Pemberantasan Penyelundupan. Aku percaya, karena melihat beberapa foto dan sebuah dokumen yang membolehkan dia membawa senjata api dan senjata tajam.

Begitulah. Secara sosial, sebenarnya keluarga kami cukup terpandang di kota kecil itu. Kami juga tak hidup kekurangan. Makan kami cukup. Aku bahkan sempat tumbuh sebagai anak penyandang obesitas. Tapi mengapa Ibu belum juga bisa naik haji, dan demikian pula Bapak yang akhirnya wafat tanpa pernah melihat tanah suci itu?

Ketika rekan-rekan kerja bapak dan ibuku satu persatu berangkat ke tanah suci, aku berpikir pasti ada sesuatu yang salah dengan cashflow kami. Mereka juga sama posisinya, sama-sama PNS, tapi toh mereka bisa punya uang lebih untuk bayar ONH. Kesimpulanku waktu itu, orangtuaku tak terlalu pandai mencari uang. Semakin aku bertambah besar, pikiran lain pun muncul. Aku berpikir, mungkin kamilah penghalangnya. 5 orang anak yang harus bersekolah dengan biaya dari gaji PNS. Bukan hal mudah mengongkosi 5 orang anak hingga ke bangku kuliah. Kami bukannya tak pernah mengalami masa-masa sulit. Beberapa waktu yang lalu, adikku yang rajin mengumpulkan surat-surat kiriman ibu waktu kami masih kuliah, menunjukkan salah satu surat kepadaku. Dalam surat yang biasanya menyertai uang kiriman bulanan itu, ibuku meminta aku berbagi dengan abangku. Kamu tahu, River, berapa jumlah uang yang harus kami bagi? 50 ribu! Waktu itu harga kartu perdana handphone saja sudah (atau masih) 250 ribu rupiah. Menetes airmataku membacanya. Sekarang, 50 ribu itu bisa aku habiskan dengan ibumu hanya untuk sekali makan di restoran cepat saji.

BACA:  Didiklah Ayahmu Sejak Kau Masih Dalam Kandungan

Bisa jadi karena film “Emak Ingin Naik Haji” itu sehingga aku menulis ini. Selaksa pertanyaan mengganggu di pikiranku. Kenapa Allah masih menahan langkah ibuku untuk melihat Makkah yang Karamah? Apa pasalnya?
Dan di khotbah Jumat kemarin, aku merasa menemukan jawabannya. Di mimbar itu, seorang khatib uzur yang bersuara lantang membahas tentang panggilan berhaji. Aku teringat ibuku, tiba-tiba.

Mungkin karena Allah masih menyayangi kami semua, River. Sehingga aku diingatkan kembali arti wara’.

Ibuku adalah salah satu orang paling wara’ yang aku tahu. Wara’ yang aku pahami artinya berhati-hati terhadap segala hal yang meragukan. Jika ragu apakah sesuatu itu halal atau haram, maka orang yang wara’ akan meninggalkannya. Orang wara’ cenderung berpikir hitam putih, dan tak membiarkan sesuatu yang subhat mengganggu ibadahnya.

Kau akan dengar cerita ini, River. Uce’, pamanmu itu, adikku nomer 3, suatu malam pernah dibuat menangis oleh ibuku. Begini ceritanya:

Yang paling aku ingat adalah sinar warna kuning dari lampu 45 watt yang menerangi ruang tengah rumah kami. Malam itu, aku dan Uce, duduk melantai setelah makan malam selesai. Di tengah-tengah kami ada Ibu, seperti malam-malam sebelumnya: memeriksa tas sekolah anak-anaknya.

Adalah kebiasaan Ibu untuk melakukan hal itu, sekedar memastikan anak-anaknya membawa pulang pelajaran dari sekolahnya, dan bukan hanya lumpur yang melekat di baju seragam. Kalau tidak salah ingat, saat itu aku kelas 4 SD, dan Uce masih di kelas 2.

Ketika memeriksa tas sekolah Uce, Ibuku menemukan sebatang pensil yang masih baru. Merasa tidak pernah membelikan pensil seperti itu, Uce pun diinterogasi oleh Ibu.
“Ini punya siapa?” tanya Ibu.

BACA:  Sarjana

Uce mengaku menemukan pensil itu di bawah bangkunya. Ibu marah. Dan setelah beliau memperingatkan kami semua untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan hak kami, malam itu juga Ibu menyuruh Uce mengembalikan benda itu ke tempat dia menemukannya.

Sekolah kami memang tidak terlalu jauh dari rumah, tapi kalau harus berkeliaran malam-malam demi sebatang pensil, sepertinya bukan pekerjaan yang menyenangkan. Tapi Ibu tak mau tahu, baginya sebuah ketidakjujuran tak pantas dibiarkan menunggu pagi.

Meski samar-samar, tapi kejadian itu masih terekam dengan baik di kepalaku, karena aku yang menemani Uce ke sekolah malam-malam dan meletakkan kembali pensil itu di bawah bangkunya.
Entah di jalan menuju atau pulang, seingatku Uce menangis malam itu.

Ini cerita yang lain lagi, River. Ibuku pernah dengan sangat terpaksa harus membuang makanan. Waktu itu, Ibu baru pulang kantor dan menemukan beberapa makanan enak di meja. Aku ingat saat itu ada nenek yang menjaga rumah. Kata Nenek, barusan ada orang datang yang mengantarkan makanan itu. Orang yang bukan famili karena Nenekku sama sekali tak mengenalnya.

Saat itu ibuku sedang menangani kasus sengketa, dan mencurigai makanan itu dibawa oleh orang yang sedang berperkara.
“Dia tak akan membawakan makanan itu kalau saya bukan hakim,” kata ibuku. Dan dengan dengan sangat terpaksa, makanan itu berakhir di selokan di belakang rumah.

Begitulah cara ibuku mengajarkan wara’. Bahkan dalam hal-hal yang mungkin menurutku sepele. Saat berbelanja, misalnya, Ibu tidak akan menawar terlalu sering. Paling banter sekali, jika tak dikasih ibu akan mencari pedagang lainnya atau membelinya jika memang butuh sekali. Menurut ibuku, keraguan seorang pedagang bisa jadi akan memberatkan pembelinya kelak di akhirat.

River anakku, aku menulis ini bukan untuk membanggakan ibuku, nenekmu itu. Ibuku juga manusia biasa, terkadang ada juga hal-hal darinya yang tidak kami sepakati. Tapi itu tak sedikitpun mengurangi kecintaan kami padanya.
Tentang cinta, sini kuceritakan lagi padamu suatu cerita tentang bagaimana dia sangat mencintaiku, mencintai kami semua dan berharap kami dijauhkan dari hal-hal buruk. Setamat SMA, saat akan memilih jurusan di universitas, aku punya dua pilihan lain selain masuk ke jurusan Komunikasi dan menjadi wartawan. Aku bisa saja mengikuti jejak ayah dengan mendaftar di program kedinasan Bea Cukai atau masuk di jurusan Hukum. Tapi apa kata ibuku? Ibu melarangku mengikuti jejaknya maupun jejak Bapak.
“Di masa datang, hidupmu kelak akan lebih banyak godaannya dibanding kami sekarang. Mama tak yakin kamu akan sekuat kami mengadapi godaan-godaan itu.” kata ibuku kepadaku.

BACA:  Seekor Kucing di Depan Restoran A&W

Jadi mungkin itu jawabannya. Mungkin uang yang diam-diam aku kumpulkan untuk membantu biaya ibuku naik haji, belum benar-benar bersih.

(Ditulis saat tidak bisa tidur karena batuk mendera tenggorokanku seperti maset Tramontina. Juga sebagai hadiah ulangtahun ke-29 untuk adikku Uce’ a.k.a Muhammad Yusran Mukrim yang mungkin sudah lupa soal pensil itu)

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga