Kau Hampir Bernama Sequoia

Kau hampir bernama Sequoia. Dulu itu salah satu pilihan selain memberimu nama River. Dan seperti yang kita ketahui bersama, River yang menang. Kau tentu tahu apa alasannya, karena aku sudah sering bercerita tentang itu. Tapi ada baiknya aku ceritakan juga sedikit kenapa Sequoia sempat masuk dalam daftar.

Sequoia adalah nama pohon tertinggi dan tertua di dunia. Sebagian orang menyebutnya Giant Redwood. Sequoia terbesar yang tercatat ada di Sequoia National Park, taman nasional di bagian selatan Sierra Nevada, Amerika Serikat. Saking besarnya, ia dijuluki General Sherman. Tingginya hampir 84 meter, lebih tinggi dari gedung 25 lantai milik bosku di Jalan Tendean. Volumenya 1.487 meter kubik, atau setara dengan isi 148 tangki truk minyak Pertamina ukuran 10.000 liter. Pohon Sequoia ini diperkirakan berusia lebih dari 2000 tahun.

Belakangan aku baru tahu, nama Seqouia ini juga kemungkinan merujuk pada Sequoya, seorang Indian Cherokee, guru dan pencipta alfabet Cherokee.

Apapunlah, Nak. Seperti kenapa kami menamaimu River, tentu kami juga berharap engkau memiliki kebaikan Sequoia, baik ia dalam bentuk pohon maupun guru Indian. Salah satu yang selalu kami doakan adalah engkau menjadi orang yang berani. Berani mengalir, menyertai atau menantang arus, atau berani tumbuh menantang angin di ketinggian.

Soal berani, mari kita sedikit ngobrol tentang itu.
Bulan lalu, bertepatan dengan ramainya perayaan Imlek, untuk pertama kalinya engkau menunjukkan ketakutan kepada sesuatu, Nak. Kamu takut pada barongsai. Setiap kali kita ke mall atau ke pasar dan bertemu mahluk itu, kamu gemetar dan menggigil. Mungkin karena tabuhannya yang ribut atau gerakannya yang meliuk-liuk, entahlah. Di sebuah mall, aku gagal menonton pertunjukkan barongsai anak-anak muda Cina Benteng karena kau tiba-tiba merengek minta pulang.

“Ayah, Ipaw tidak suka Chinese Dragon!” katamu. Kamu memang menyebut barongsay dengan Chinese Dragon, seperti salah satu tokoh kereta dalam serial Thomas and Friends.
“Ipaw tidak boleh takut. Itu di dalamnya orang,” kataku berusaha menenangkan.
“Ipaw tidak takut. Thomas juga tidak takut. Percy yang takut,” katamu, namun dengan tubuh yang sedikit bergetar. Ah, mungkin itu sebabnya. Kamu menonton salah satu adegan di mana Percy takut pada gerbong kereta dengan ornamen naga itu. Dan kamu ikut-ikutan Percy bukannya Thomas.

BACA:  Beras

Pada awalnya, ada rasa tak terima. Kenapa bisa begini? Darimana ketakutan itu berasal? Rasanya kami tak pernah mengatakan sesuatu yang menjurus untuk menakut-nakutimu. Di rumah, kamu berani bermain sendirian di ruang tengah yang gelap. Kamu ikut aku memanjat ke loteng. Kamu memanjat sendiri dan nangkring di atas rak. Waktu kamu ikut aku ke kantor dan ada syuting dengan komunitas pecinta hewan, kamu berani memegang ular dan berang-berang.

Hingga pada saat aku menyadari, bahwa kami tidak sedang membesarkan robot. Suka atau tidak, engkau akan tumbuh dengan serangkaian ketakutan-ketakutan. Sebagian bisa kau atasi, sebagian lagi tidak.

Lalu aku teringat pada diriku sendiri. Aku pun tumbuh dengan limpahan ketakutan-ketakutan. Aku pernah takut pada banyak hal. Takut pada musuhnya Megaloman. Takut pada Suzanna, Eva Arnas, Lia Warokka, Ricci Ricardo. Di SD, gara-gara beberapa teman sepermainanku meninggal, aku sempat takut kepada apapun yang berkaitan tentang kematian. Aku takut tidak bisa mencapai umur 18 tahun. Aku takut kepada mendung. Takut gempa bumi. Beberapa ketakutan itu menghilang dengan sendirinya seiring aku beranjak besar, namun sebagian lagi meninggalkan bekas. Mungkin karena mirip Suzanna, sampai sekarang aku agak takut melihat Julia Perez.

Lalu apakah aku tidak boleh takut, Ayah? Bisa jadi kamu bertanya begitu.

Tentu boleh, Nak. Ketakutan, seperti halnya kesedihan, adalah pelengkap kemanusiaan kita. Laki-laki –dan juga perempuan– yang baik bukanlah seseorang yang tak punya rasa takut, melainkan ia yang bisa mengatasi ketakutannya. Karena ketakutanlah sehingga kita bisa mengukur keberanian kita. Namun sejak keberanian tidak lagi dijual di toko-toko, itulah saat untuk kita mulai membenihkannya sendiri, merawat dan memberinya pupuk.

Belajarlah memilah-milah. Membaca tanda di balik penanda. Karena akan sampai kepada suatu masa, orang-orang akan datang kepadamu dan memberimu kabar, bahwa keberanian bisa dibeli dalam sebungkus rokok, sebotol minuman, atau sepucuk senjata. Pesanku, jangan percaya. Engkau adalah engkau, bukan pada apa yang engkau kenakan.

BACA:  Ulasan Sepakbola

Aku yakin, seiring kau bertambah dewasa, kau akan belajar menjinakkan ketakutanmu. Keberanian adalah ketakutan yang sudah berdamai. Ketakutan-ketakutan yang datang dari luar dirimu, suatu saat nanti tidak lagi menjadi masalah. Kamu akan menertawai si Barongsai seperti halnya aku kini senang menikmati mendung.
Justru, ketakutan-ketakutan yang muncul dari dalam dirimu lah yang harus selalu kau waspadai. Karena perangnya sering tak berwujud, dan kalah menangnya pun demikian.

Kamu takut miskin, maka kamu menumpuk harta, mengambil yang bukan hakmu, dan kamu menyebut dirimu berani mengambil resiko. Kamu mempermak dirimu sedemikian rupa, mendandani dirimu dengan benda artifisial –baju tas mahal, motor besar, mobil mewah– untuk mendongkrak nilai kemasanmu. Kamu menyebut dirimu berani mengekspresikan diri, padahal sebenarnya kamu hanya takut tidak diterima di lingkunganmu. Takut tidak dianggap. Takut keluar dari radar Majalah Tatler.

Kamu memberi anakmu macam-macam les –kumon, balet, karate, bola, masak, piano, gitar sampai karinding, mengajarinya semua bahasa kecuali bahasa alay, memasukkannya ke sekolah TK semahal universitas, mencerabutnya dari dunia bermain. Kamu menyebut dirimu berani menyongsong era globalisasi. Padahal sebenarnya kamu takut, takut dianggap tidak keren.

Kamu berani menantang berkelahi orang lain yang memotong jalanmu, padahal sebenarnya kamu hanya takut telat sampai ke kantor, takut dimarahi bos, takut gaji kecil, takut tidak naik pangkat, takut tidak diajak makan siang bareng.

Kamu berbicara dengan bahasa tinggi, mencela dan menyalahkan, mendebat tanpa alasan, meremehkan orang lain, menghina keyakinan orang lain, dan kamu menyebut dirimu berani mengeluarkan pendapat. Padahal sebenarnya jauh di dalam hatimu, kamu menyimpan ketakutan. Takut ceruk jiwamu yang sebenarnya ketahuan.

Itulah contoh-contoh ketakutan berbahaya yang mungkin akan kau temui, Nak. Jauh lebih berbahaya daripada sekadar takut kepada barongsai. Karena ia lebih sering berwujud keberanian ketimbang ketakutan.

Tapi insha Allah, Nak, baik namamu River atau Sequoia, kau pasti akan tahu membedakan wujudnya. Sejukkan dan rendahkan hatimu selalu, maka engkau akan memahaminya seperti air sungai dan akar pohon. Kau melihat hal yang sederhana di sini, Nak. Semakin engkau tumbuh bertambah tinggi, pastikan akarmu pun semakin merendah dan menguat. Itulah yang menjagamu agar tidak tumbang.

BACA:  Sekolah Kehidupan

ipawultah-4thSelamat ulang tahun, Nak. Kali ini tidak ada kue tart. Ibumu waktu kecil ingin sekali kue ulang tahun yang terbuat dari donat yang ditumpuk-tumpuk, dan dia melakukannya kini padamu.
Dan tadaaa… kamu punya kue ulang tahun dari 18 buah donat madu, yang 2 biji sudah kau dan ibumu makan duluan sebelum disusun.

Menurut pengalamanku, di usia ini engkau mulai merekam dan mengingat peristiwa. Ingatan pertamaku adalah duduk-duduk di tangga batu di depan rumahku menemani nenekku menjemur pakaian. Itu di usia 4 tahun, sebelum aku masuk TK dan desersi.

4 tahun kau kini, Boi! Mulailah mengingat hal-hal baik ya, Nak. Rekamlah yang baik-baik saja dari kami. Dan kebiasaanku berkeliaran di dalam rumah dengan hanya mengenakan kolor, sepertinya juga sudah saatnya untuk dihentikan.

Love you, Son … Skateboard-nya menyusul ya … 🙂

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga