5 Film Paling Favorit di Paruh Pertama 2016

Selain sebagai pembuat film, saya juga tergolong penonton film yang cukup “advance”. Selain mengoleksi ribuan judul DVD, nonton di bioskop pun sudah menjadi kebutuhan. Seminggu bisa 2-3 kali saya bolak-balik menyaksikan film, terutama film Indonesia. Ketika menonton film, saya selayaknya penonton biasa yang bisa menikmati sebuah film tanpa ada pretensi untuk mengkritik, apalagi mencari-cari kekurangan dari sebuah film. Saya bisa menyukai film sesederhana hanya karena saya menyukainya. Buat saya, kesukaan atas sebuah film tergantung beberapa faktor: bisa karena saya merasa relevan dengan filmnya, bisa juga karena semua unsur di dalamnya berpadu dengan baik. Ketika menonton film, saya meletakkan embel-embel sebagai “pembuat film” di depan pintu bioskop, tak ikut masuk bersama saya ke dalam bioskop.

Tahun 2016 sudah berlalu selama 6 bulan. Dan seperti sejumlah media internasional yang mengkhususkan diri membahas film, saya pun merasa juga perlu untuk kembali menelusuri deretan film yang sudah ditonton dan mana saja di antaranya yang mengesankan saya. Berikut saya turunkan ulasan atas 5 film yang paling saya sukai yang saya tonton di bioskop [catat: di bioskop, bukan di DVD bajakan, apalagi unduhan ilegal ya!] sepanjang Januari – Juni 2016. Daftar tersebut saya urutkan sesuai abjad.

1. Aisyah: Biarkan Kami bersaudara [Herwin Novianto]

Kita bisa terkecoh dengan film ini ketika melihat posternya. Melihat genre religi yang masih marak menghiasi bioskop di negeri ini, wajar sekali jika kita pun menyangka bahwa film ini bertipe serupa. Namun ternyata bukan. “Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara” adalah sebuah drama tentang Indonesia yang kita cita-citakan. Film ini adalah sebuah respon atas makin maraknya intoleransi di negeri ini.

Film cerita panjang kedua karya Herwin Novianto ini mengambil latar di ujung timur negeri ini. Di sebuah desa dengan mayoritas penduduk beragama Katolik, Aisyah dengan tampilan hijab-nya datang untuk mengabdi sebagai guru. Dari awal kedatangannya saja sudah terjadi salah paham [yang sesungguhnya klise, namun masih bisa membuat kita tersenyum]. Penduduk menyangka bahwa ia adalah Suster Maria. Secara perlahan dan tak menggebu-gebu, “Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara” membongkar apa yang ingin disajikannya: PRASANGKA. Yang membuatnya menarik adalah bagaimana isu besar ini bisa digiring untuk terjadi secara alamiah di sebuah desa terpencil.   Kita melihat bagaimana Aisyah tergopoh-gopoh menghadapi kesalahpahaman, bagaimana ia ditolak oleh salah satu muridnya hingga bagaimana akhirnya ia diterima oleh masyarakat setempat. Yang patut dipujikan adalah penggambaran Aisyah yang tak digambarkan heroik, sebagaimana penggambaran karakter guru dari Jawa di sejumlah film lain. Laudya Chintya Bella berhasil membawa peran Aisyah sebagai miliknya sendiri. Ia bukan lagi seorang aktris yang cakap berakting. Ia adalah Aisyah, guru SD dari Ciwidey, Jawa Barat.

2. The Big Short [Adam McKay]

Ada fakta menarik yang terlihat dalam film Hollywood dalam setahun terakhir. Sejumlah film mengangkat isu tentang keruntuhan sistem perbankan di Amerika. Tahun ini ada “Money Monster” yang disutradarai Jodie Foster, dan sebelumnya ada “The Big Short” yang berjaya di Oscar 2016.

BACA:  Dilan: The Power of Gombal

“The Big Short” menarik karena mengungkap kasus keruntuhan finansial di Amerika pada tahun 2008 yang sesungguhnya mencekam dengan cara yang menghibur. Dua sisi mata uang yang saling bertolak   belakang ini bisa jadi musibah jika berada di tangan kreator yang tak cakap. Tapi   Adam McKay tahu bagaimana melakukannya. Ia menyajikannya sebagai drama komedi satir. Kita terhibur namun di saat bersamaan kita juga dipaksa untuk merenung.

Bagaimana tak mencekam jika melihat bagaimana Michael Burry [dimainkan dengan enerjetik   oleh Christian Bale] yang melihat ancaman dari keruntuhan finansial dan memanfaatkannya sebagai peluang bagi dirinya maupun para pemodalnya. Ramalan Burry akhirnya menular dari mulut ke mulut dan membuat makin banyak orang-orang seperti dirinya untuk berjudi. Dan yang menjadi korban di tengah-tengahnya tentu saja adalah masyarakat kecil yang menyimpan jerih pay ah hasil kerja keras mereka di bank.

Bagaimana tak menarik jika film ini berhasil menyatukan sekelompok aktor kelas kakap, mulai dari Christian Bale, Steve Carrell, Ryan Gosling hingga Brad Pitt. Pasti ada sesuatu yang istimewa dengan skenarionya yang membuat keempatnya bersedia bergabung di proyek dari sutradara yang belum membuat satu film pun yang dianggap berkualitas cukup baik.

Sebelumnya banyak kalangan yang sudah membaca buku berjudul sama karya Michael Lewis yang menjadi dasar film ini, menyangsikan bagaimana cerita dengan isu sedemikian kelam dan beratnya seperti ini bisa diracik menjadi film yang menghibur. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana penerimaan publik terhadapnya. Sejumlah film dengan isu serupa terbilang gagal di pasaran, sebutlah diantaranya “Margin Call” [2011] yang menampilkan Kevin Spacey. Tapi kesangsian itu   akhirnya hanya jadi kenangan manis: film ini cukup dinikmati di box office [beroleh 70 juta dollar hanya di Amerika dengan biaya produksi “hanya” 28 juta dollar] dan berjaya di Oscar. Mungkin karena film lain tak seperti “The Big Short” yang bisa menampilkan Margot Robbie yang tengah berendam di bak mandi menjelaskan sejumlah istilah ekonomi?

3. The Revenant [Alejandro Gonzalez Inarritu]

Saya mulai memperhatikan Inarritu sejak filmnya “Amores Perros” [2000], sebuah film dengan tiga kisah namun saling terkait satu sama lain. Saya mengagumi bagaimana ia berhasil menyatukan ketiga kisah tanpa terasa bahwa satu kisah terasa lebih besar dari yang lainnya. Dan Inarritu terus mengejutkan dengan sejumlah karya berikutnya seperti “21 Grams”, “Babel”, “Biutiful” hingga “Birdman”. “The Revenant” hanyalah menjadi penguat jejak Inarritu sebagai seorang maestro.

Inarritu menjadi favorit bagi pembuat film lainnya karena satu hal: ia selalu menantang dirinya sendiri di tiap karyanya. Ia mencoba menciptakan bahasa visualnya sendiri yang mungkin tak membuat sebagian penonton mengerti, namun bisa dipastikan akan membuat sebagian lainnya terkagum-kagum.

BACA:  Jika Reza Bisa Jadi Habibie, Kenapa DiCaprio Tak Bisa Jadi Rumi?

Seperti yang juga diperlihatkannya di “The Revenant”. Karyanya kali ini terasa berbeda dari yang sudah pernah disajikannya. Inarritu mencoba membuat puisi maupun lukisan di dalam filmnya.  Maka kita akan merasa kisah perjuangan yang sesungguhnya brutal dari Hugh Glass [diperankan oleh Leonardo DiCaprio yang selalu cemerlang] sebagai puisi dan lukisan dalam format film. Puisi punya daya ledaknya yang luar biasa ketika ia bertemu sumbu yang tepat. Lukisan akan terasa nyaring maknanya ketika ia meresonansikan pengalaman kemanusiaan yang paling dalam. Inarritu berhasil merangkumnya dibantu dengan kerja sinematik luar biasa dari Emanuel Lubeszki, juga penataan musik dari Ryuichi Sakamoto dan Carsten Nicolai.

Inarritu beruntung punya DiCaprio. “The Revenant” menjadi panggung maha besar baginya dan ia tak menyia-nyiakannya. Tapi DiCaprio tak ingin tampil dominan sendirian. Ia juga memberi   panggung pada Tom Hardy untuk bermain sebagai musuhnya, John Fitzgerald. Lengkaplah sudah “The Revenant” menjadi puisi dan lukisan dari Inarritu diimbuhi teriakan nyaring dari Hugh Glass.

4. Siti [Eddie Cahyono]

Film, dengan segala bentuk dan penyampaiannya, adalah sebuah pernyataan. Isi tentu saja penting, namun bentuk dari filmnya sendiri tak kalah pentingnya. Di titik ini, “Siti” terasa cerdik. Dari luar, kisahnya mungkin terasa biasa saja bagi sebagian orang. Tentang perjuangan seorang perempuan menghidupi suami yang lumpuh dan seorang anak yang masih kecil mungkin sudah pernah kita temukan di judul lainnya. Tapi bagaimana “Siti” dibingkai dengan format layar yang sempit dan dikelir dengan warna hitam putihlah yang membuat film ini menemukan suaranya dan terdengar nyaring hingga ke seluruh dunia.

Dengan bentuk seperti itu, kita memahami apa yang ingin disampaikan Eddie. Ia ingin kita melihat Siti dengan dunianya yang sempit dan hitam putih. Dan akhirnya memang kita dihempaskan oleh Eddie ke dalam dunia Siti [dimainkan oleh Sekar Sari dengan penghayatan luar biasa]. Kita tak   sekedar diajak mengintip, tapi masuk ke dalam dunianya yang sumpek dan membosankan.

Rumah bilik ala kadarnya, tempat karaoke murahan hingga tokoh polisi berwajah mesum [namun sesungguhnya baik] disajikan telanjang di depan mata kita. Itulah mungkin yang membuat “Siti” terasa menohok: karena ia ditampilkan tanpa lipstik. Perempuan-perempuan tangguh seperti Siti bisa jadi banyak di sekitar kita namun kita kurang memperhatikannya. Setelah menyaksikan “Siti”, mungkin pandangan kita terhadap mereka akan berubah lebih baik.

5. Spotlight [Tom McCarthy]

Film ini datang dengan isu super sensitif. Tentang bagaimana segerombolan jurnalis membongkar praktek pelecehan seksual atas ratusan anak laki-laki dari sekelompok pendeta gereja Katolik di Boston. Kisah ini terasa mencekam karena ia nyata. Kisahnya sendiri dibongkar oleh jurnalis The Boston Globe di tahun 2002 dan akhirnya beroleh Pulitzer Prize [penghargaan tertinggi jurnalistik di Amerika].

BACA:  Martin Aleida dan Para Korban Ketidakadilan

McCarthy membongkai kisah ini dari perspektif jurnalisme. Maka kita menyaksikan bagaimana proses jurnalistik dijalankan oleh sekelompok reporter berintegritas tinggi yang dikomandoi Walter “Robby” Robinson [Michael Keaton]. Kebanyakan dari mereka meski berempati pada korban, namun juga tetap mencoba membuat jarak agar kisahnya tak kabur untuk diceritakan. Kita merinding melihat bagaimana anak-anak lelaki itu umumnya tak tahu bagaimana merespon ajakan untuk berlaku tak senonoh itu. “Bagaimana caramu untuk bilang TIDAK pada Tuhan?” kata seorang di antara mereka pada Sacha Pfeiffer yang diperankan Rachel McAdams. Buat sebagian dari mereka pun pada akhirnya menerima perlakuan tak senonoh itu sebagai “a spiritual abuse”.  Mencekam membayangkannya bukan?

Bayangkan berada di peristiwa yang nyata terjadi itu. Bayangkan menjadi salah satu dari para   korban. Dan bayangkan menjadi salah satu reporter itu yang dengan gagah berani       mempertaruhkan keselamatan diri sendiri dan keluarga mereka. Yang paling menarik buat saya   adalah bagaimana “Spotlight” menahan diri untuk tak tergelincir menjadi tontonan melodramatik, padahal sesungguhnya ia punya materi untuk itu. Sebagaimana laporan jurnalistik, maka semua     harus disajikan apa adanya. “Spotlight” tampil apa adanya. Bumbu drama diracik secara pas.   Bumbu lainnya seperti musik diletakkan dalam takarannya yang tepat. Dan mungkin justru karena      penggambaran tak berlebihan itu yang membuat “Spotlight” terasa bagaikan horor bagi sejumlah    penonton. Kisah ini terlalu mengerikan terjadi di kehidupan nyata. Seperti mimpi buruk namun      nyata.

Dan itulah rangkaian 5 film terfavorit sepanjang enam bulan ini. Lima film lainnya akan saya sajikan di akhir tahun ini. Semoga kita semua masih diberi kesempatan untuk menyaksikan film-film dengan kualitas baik dalam format terbaiknya di bioskop.

Ichwan Persada

Leave a Reply

Silakan dibaca juga