“Seperti Pak Fathanah, Kita Juga Bukan Kader, Nak…”

“Kader itu ada dua pengertian besarnya. Pertama dia yang secara spesifik menjadi anggota partai. Ada kartu anggotanya. Ada yang masih pemula, yang –dalam tanda kutip- baru awal sekali jumpa dengan partai, dan karenanya baru kenal kulit-kulitnya. Kegiatan-kegiatannya pun masih yang bersifat umum. Nanti dalam kartu tanda anggota juga akan disebut, dia kader apa. Sampai nanti kader tertinggi, kader inti, atau kader purna. Saya tidak mengatakan saya purna, tapi kita-kita yang sudah dari dulu, bahkan sebelum partai ini ada kami sudah bersama dan melakukan perjuangan ini, dimasukkan dalam kategori ini. Nomor dua, kader juga artinya adalah –dalam konteks ini– mudah dilacak, siapa guru ngajinya. Kalau prinsip yang kami terapkan, karena ini bukan sekadar partai politik, tapi juga partai dakwah, maka pastilah di situ akan ada pembimbingnya, ada murabbi-nya. Maka kami bisa dengan mudah melacak siapa dia. Fathanah misalnya, coba ditanya siapa guru ngaji dia, murabbi dia. Pasti tidak ada. Berarti dia bukan kader…”

Ustadz Hidayat Nur Wahid di Transcorp, 24 Mei 2013
Ustadz Hidayat Nur Wahid di Transcorp, 24 Mei 2013

Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepala, Nak. Seperti ada sesuatu yang salah masuk di telingaku. Aku berharap dia tidak melihatnya. Malam ini beliau tamu kami dan seharusnya aku tidak membuatnya tidak nyaman bahkan oleh gestur kecil sekalipun. Entah, barangkali karena ada rasa kecewa yang –seharusnya– tidak perlu. Toh siapalah aku ini. Jika menurut penjelasannya tadi, sudah jelas aku ini bukan kader partai. Aku tidak punya kartu anggota, dan juga tidak pernah mengaji kepada murabbi siapa pun. Aku hanya simpatisan kapiran yang tak berguna juga untuk perolehan suara partainya.

BACA:  Ini Buktinya Saya Tidak Mabuk, Pak Polisi! Saya Bisa Juggling....

Tapi kenapa aku seperti menelan ludah pahit? Kenapa aku harus bertanya dengan terbata-bata dan saking gugupnya hampir menumpahkan gelas di depannya?

Aku melihat perempuan berjilbab besar yang duduk di seberangku. Aku tahu dia dulu kader partai yang militan. Dia pernah punya kartu anggota. Dan dulu, aku ingat, betapa sering dia mengajak kami untuk mengaji. Di kantor, dia yang paling rajin mendatangkan ustadz dan ustadzah, mengisi kajian bada dhuhur atau di malam-malam yang kosong untuk kami karyawan pengejar duniawi. Dia berhenti menjadi kader partai karena, “menghormati profesi saya sebagai jurnalis,” katanya.

Aku tidak tahu apa dia juga merasa sepertiku. Tapi kalau pun demikian, pasti lebih pahit dari yang aku rasakan.

Akan ada suatu saat, di mana kita kehilangan rasa percaya. Dan percayalah, itu akan menyakitkan, Nak. Itulah kenapa aku sedih. Ketika mendung, kamu percaya hujan akan turun membasahi bunga-bungamu dan ternyata tidak. Ketika turun hujan, kamu percaya bahwa orang yang sama-sama berteduh denganmu di tepi jalan akan membagi naungan payungnya, dan ternyata tidak. Dan ketika kalian sama-sama berpayung, kamu percaya bahwa dia akan mengantarmu sampai ke bawah jembatan, dan ternyata tidak. Mungkin seperti itu, Nak. Di saat kamu miskin dan nyaris tak punya harapan, penghasilanmu dari berdagang parfum, sajadah, dan buku-buku doa. Lalu datang orang-orang seolah-olah perwujudan nubuat nabi berjanji akan membereskan sistem negara yang kacau balau agar kamu mendapatkan kembali hakmu atas keadilan. Dan ternyata tidak.

BACA:  Sebelum November Berakhir

Kamu mengemasi gerobak sotomu, merapikan remah-remah sayur dan toge, lalu kamu melihat orang yang pernah mengajakmu hidup sederhana meneladani Rasul itu memakai Rolex dan menunggang Alphard.
Kamu berhak kecewa. Sangat berhak.

Dan bapak yang duduk bersama kami malam ini, aku selalu mendoakannya. Semoga beliau terhindar dari jenis yang seperti itu. Beliau orang baik. Satu dari sedikit politisi yang masih bisa dipercaya di negeri ini.

“Kami bukan malaikat. Siapa saja bisa berbuat salah,” katanya.

Betul. Tapi seperti yang beliau bilang sendiri, partai ini tidak hanya partai politik, melainkan juga partai dakwah.

Dan bisa jadi memang tersebab oleh jiwaku yang telah bebal dan menghitam, hingga tak lagi bisa memahami dakwah seperti apa yang ingin mereka sampaikan. Atau barangkali karena partai dakwah, maka dakwah itu hanya bisa dipahami oleh kader-kadernya?

Wallahualam. Kamu tahu, Nak. Seperti Pak Fathanah, kita juga bukan kader. Mungkin karena itu sehingga kita tidak paham.

Sudahlah. Tidurlah, Nak. Seperti kata ustadz kita yang lain, Ahmad Syamsudin: mari kita menghemat harapan dan rasa percaya.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga