Sebelum November Berakhir

Kalau akhirnya hanya jadi sependek ini, inilah risiko menunda-nunda. Dari kemarin itu aku sudah niatkan untuk bikin catatan ulang tahun. Tapi hingga 17 hari sesudahnya tak juga aku bikin, sementara ingatan pada apa yang ingin aku ceritakan padamu itu sudah terlanjur meluap jauh. Sebagian malah hilang.

Aku hanya ingat, di 33 ini aku harus menulis sesuatu. 33 sudah semakin dekat ke 40, yang kalau kata seorang teman merupakan ambang batas psikologis. Ketika 40 dan kita tidak menjadi lebih benar, maka setelahnya akan terus seperti itu. Jangan berharap banyak.

Sore di ulang tahunku itu aku hanya duduk di ruang depan, membaca Jazz, Parfum dan Insiden-nya Seno Gumira Ajidarma. Aku kasih tahu, Nak, Seno adalah penulis favoritku. Dia adalah salah satu tokoh pertama yang aku wawancarai saat magang jadi wartawan mahasiswa di majalah kampus. Aku membeli dan membaca hampir semua bukunya. Saking nge-fansnya, waktu pertama kali berjumpa Seno saat ia mampir ke kotaku, aku segera menyodorkan buku untuk ditandatangani. Tapi dia menolak, karena buku yang aku sodorkan itu bukan buku karangannya melainkan buku karangan temanku Ludhy Cahyana. Dan setelah itu, aku tak pernah lagi mendapat satu pun tanda tangannya di buku karyanya yang aku punya.

Membaca buku Seno setiap hari ulangtahunku adalah semacam perayaan sendiri, terutama karya-karyanya yang belakangan terangkum dalam Trilogi Insiden terbitan Bentang Pustaka. Selain JFI, di situ ada Saksi Mata, dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Sedikit banyak, buku-buku inilah yang menuntun langkahku untuk menjadi tukang menulis. Baik, JFI, SM, atau KJDSHB semuanya banyak bercerita soal Insiden Santa Cruz di Dili. Versi militer Indonesia menyebut 19 orang tewas. Namun sebuah laporan berbahasa Inggris menyebutkan setidaknya 100 orang sipil tewas dibantai tentara di kompleks pekuburan Santa Cruz pada tanggal 12 November 1991. Sekitar 250 orang dinyatakan hilang setelah pembantaian itu. Bahkan ada satu keluarga yang dilaporkan kehilangan 5 anaknya.

BACA:  "Kids Will Be Kids"

12 November 1991. Aku tak mendengar apa-apa tentang kejadian itu. Saat itu aku hanya seorang bocah yang berdebar-debar akan menginjak usia 13 tahun. Timor Timur jauh sekali dari kampung halamanku. Barulah setelah bapakku membawa koran yang beritanya tentang seorang pemimpin pemberontakan tertangkap di sebuah tebing persembunyian, aku baru mulai mengerti bahwa ada yang tak berjalan normal di provinsi termuda Indonesia ini saat itu.

Tentu kau akan baca di buku sejarah, Nak, bahwa kemudian daerah ini akan bergolak. Xanana ditangkap dan disebut tikus oleh Benny Murdani. Lalu referendum. Lalu dua kubu bentrok. Pro kemerdekaan dan pro integrasi saling tembak dan baku parang.

Puncaknya, 4 September 1999, referendum menghasilkan kemenangan bagi kelompok pro kemerdekaan yang anti integrasi. Timtim bukan lagi bagian dari NKRI. Hasil referendum ini memunculkan kemarahan di pihak pro-integrasi. Besoknya, tanggal 5 September 1999 sekelompok milisi pro-integrasi bersama tentara dan polisi menyerang Diosis Dili yang menjadi tempat persembunyian pengungsi pro kemerdekaaan. 3 orang sipil tewas.

Tempat penampungan pengungsi lain adalah kediaman Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo atau yang lebih dikenal dengan Uskup Belo. Uskup Belo sudah memperkirakan milisi pro integrasi akan menyerang orang-orang yang bersembunyi di rumahnya juga sehingga pada hari senin 6 september 1999 ia menghubungi Kapolda Timor Timur untuk meminta perlindungan. Kapolda Timor Timur yang yang waktu itu dijabat oleh Timbul Silaen menganjurkan agar Uskup Belo segera menghubungi Komandan Korem 164 Wira Dharma. Melalui sambungan telepon, Uskup Belo meminta agar Danrem memberi perlindungan dan menyediakan truk untuk mengevakuasi pengungsi dari Dili ke Bau Cau.

“Tidak ada kendaraan,” kata Danrem.

Itu kejadian setelah sarapan pagi.

Siangnya, sekitar pukul 13.30 WITA, menurut salinan dokumen PUTUSAN No. 04 K/PID.HAM AD HOC/2005 kejadiannya adalah sebagai berikut:
Milisi Laksaur di bawah pimpinan Olivio Moruk, pasukan TNI dan anggota Polri melakukan tindakan penyerangan terhadap penduduk sipil termasuk para Biarawati yang mengungsi dan berada di dalam komplek gereja Ave Maria Suai dengan menggunakan senjata api antara lain jenis laras panjang (sejenis M–16) maupun senjata api rakitan serta dengan menggunakan senjata tajam tanpa adanya suatu tindakan pencegahan ataupun tindakan penghentian dari aparat keamanan khususnya Kodim Suai dan Korem 164 Wira Dharma Timor Timur sehingga akibat kejadian tersebut jatuh korban penduduk sipil setidak–tidaknya 26 (dua puluh enam) orang atau lebih meninggal dunia yang terdiri dari 17 (tujuh belas) orang laki–laki dan 9 (sembilan) orang perempuan.

BACA:  "Seperti Pak Fathanah, Kita Juga Bukan Kader, Nak..."

Timor Timur kini sudah merdeka dan menjadi Timor Leste. Raul sudah dapat KD. dan Presiden Ramos Horta juga tampaknya sudah tak ingin mengungkit lagi insiden Santa Cruz itu. Dalam wawancara dengan majalah Tempo edisi 28 November 2011 kemarin, saat ditanya soal keadilan bagi korban Santa Cruz, Ramos Horta, presiden Timor Leste, menjawab: “Itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kami melihat ke depan, tidak ke belakang…”

Begitulah, Nak, sebagian kisah yang aku baca dalam laporan jurnalistik Seno Gumira Ajidarma dan dokumen-dokumen lain yang sempat aku kumpulkan.

Oya, kini aku ingin cerita soal rumah besar di depan rumah kontrakan kita sekarang. Tidak tahu juga, bagaimana awalnya rumah besar itu bisa ada di situ, di tengah-tengah rumah warga yang pada umumnya adalah kontrakan atau kostan karyawan.

Hampir tiga tahun bertetangga, tak banyak yang kita tahu tentang dia. Kata ibu kost, itu rumah jenderal. Sudah pasti iya, karena dijaga oleh beberapa orang berbadan tegap yang bergantian membuka pintu pagar setiap kali ada mobil ingin masuk atau keluar. Penjaganya berganti-ganti. Penjaga yang dulu akrab sama kita itu sekarang sudah tidak ada lagi, sudah diganti sama yang lebih muda dan tampaknya lebih galak.

BACA:  Perang Bantal, Perang Dunia Paling Damai

Tapi jenderal yang dimaksud itu hampir tak pernah kita lihat. Seingatku hanya dua kali aku sempat melihatnya. Yang pertama saat ia baru pulang joging sore-sore, dan kedua sekitar dua minggu lalu saat dia keluar sendiri membawa mobilnya. Kalau pintu gerbangnya dibuka, di garasinya yang luas tampak sedikitnya ada empat mobil. Dia sempat melambaikan tangan dan tersenyum padaku yang sedang memperbaiki sepeda di halaman depan. Aku membalas dengan membungkukkan badan sedikit.

Iya, Nak, itu dia. Sekarang dia sudah jenderal. Itu dia yang bilang “tak ada kendaraan” waktu Uskup Belo meminta bantuan truk untuk mengevakuasi pengungsi yang akhirnya dibantai pasukan milisi dan gabungan TNI itu.

Kapan-kapan, dia mungkin akan membuka pintu rumahnya dan kita bisa ngobrol-ngobrol banyak dengannya.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga