Sarjana

Di antara teman-teman seangkatan, aku termasuk telat hadir di podium itu. Pada awalnya aku merasa biasa saja. Aku tidak terlalu kaget waktu temanku Maria Naomi dan Adriana Mattiara menjadi wisudawan pertama di angkatan kami. Semangat belajar mereka memang luar biasa, seperti pakai turbo. Dimaklumi.

Lalu tak lama kemudian temanku yang lain menyusul menjadi sarjana. Rahmat Nur namanya. Beliau ini boleh dibilang teman nongkrong. Hatiku pun mulai ketar ketir. Bagaimana mungkin dia bisa melesat meninggalkan kami padahal hampir setiap hari kami bergaul sama-sama? Progres kuliahnya terpantau oleh kami-kami yang malas, tapi kenapa tiba-tiba dia sudah sidang skripsi duluan? Rahmat Nur pun menjadi sarjana pertama di antara kami para mahasiswa tukang nongkrong di tangga kampus. Di depan dosen penguji, dia berhasil mempertahankan skripsinya yang membahas tentang film bokep homemade paling spektakuler dalam sejarah bokep Indonesia: Bandung Lautan Asmara.

Demikianlah. Satu per satu temanku menjadi sarjana, meninggalkanku sendirian. Mulai terasa perih hatiku. Apalagi hampir di setiap kesempatan orangtuaku selalu bertanya, “Kapan sarjana, Nak?”

Daus, Rusdi, Didi, Temmy, bahkan Ansir yang tadinya aku pikir belahan jiwaku, bergantian atau berbarengan memakai toga. Adapun aku masih harus bergelut mengulang mata kuliah Kewiraan dan Dasar-Dasar Logika.

Lalu tibalah saat itu. Saat usia kemahasiswaanku nyaris memasuki tahun keenam, aku dengan putus asa tergugu di pelataran Baruga. Rasanya tak mungkin untuk turut dalam antrian ujian dan kemudian diwisuda pada bulan Desember 2002. Draft skripsiku masih terjebak di harddisk laptop 486 tanpa bisa di-print. Laptop keluaran Ascentia itu hanya mau bekerja sama dengan printer tertentu yang tidak semua orang punya. Salah satu yang punya printer semacam itu adalah Nunu. Belum lagi aku harus mengumpulkan tanda tangan pengesahan dari sejumlah dosen sebagai syarat untuk mengikuti ujian. Aku hanya punya satu hari untuk membereskan itu semua. Dan hitunganku bilang itu mustahil. Pupus sudah harapanku untuk segera memakai toga wisuda.

BACA:  Sisa Senyum

Namun tiba-tiba muncullah sesosok malaikat penyelamat. Namanya Mohammad Khomeiny. Ome, begitu aku biasa memanggilnya, adalah teman angkatanku bersebelahan nomor induk. Aku 058, dan Ome –kalau tidak salah- 057. Ketika itu dia sudah bebas syarat dan tinggal melenggang menuju meja ujian. Sementara aku, ya seperti yang aku ceritakan barusan. Tergugu putus asa.

Lalu Ome melecutku. Dengan kata-katanya yang serupa cambuk, dia membuatku seperti pecundang yang kalah sebelum perang.

“Masih ada satu hari. Kenapa sudah menyerah?” begitu kata Ome yang aku ingat. Aku berhutang budi padanya.

Singkat kata, aku bangkit. Dan entah darimana asalnya kekuatan dan pertolongan itu, semua akhirnya bisa aku bereskan dalam waktu yang sangat terbatas. Hingga kini pun aku tak bisa menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi. Seolah-olah aku punya kekuatan untuk menghentikan waktu sementara aku sendiri bisa bergerak bebas.

Kemudian, tanggal 16 Desember 2002. Dosen penguji menyatakan menerima semua argumen dalam skripsiku. Alhamdulillah. Lintasan-lintasan pikiran dan semua obsesi tentang Soe Hok Gie yang tertahan selama hampir dua tahun itu akhirnya bisa diakui sebagai karya ilmiah. Aku akhirnya bisa ikut hadir di podium auditorium Baruga Andi Pangerang Pettarani

Dan pagi itu, di hari wisuda yang ditunggu-tunggu, aku juga hadir. Berbeda dengan rekan-rekan yang lain, aku sama sekali tidak bersolek. Aku hanya mengenakan kemeja dan celana jins butut sebagaimana pakaianku sehari-hari. Sama sekali tidak terlihat seperti orang akan diwisuda. Bahkan Bapak Pembantu Rektor yang bertemu denganku di pelataran sebelum acara dimulai sempat menegurku, “Kapan kamu menyusul?” tanyanya. Aku bilang segera. Dia pun tersenyum dan berlalu. Mungkin dia sudah bosan melihatku mondar-mandir di kampus menyusahkannya. Aku memang menyembunyikan baju togaku di dalam ransel dan baru aku pakai ketika acara mulai. Sehingga aku bisa melihat betapa terkejutnya Bapak Pembantu Rektor itu ketika tiba-tiba aku berdiri di hadapannya berbaju toga dan minta salaman.

BACA:  Tidur Siang di Hari Buruh

Oya, Nak. Ada satu lagi hal yang ingin aku ceritakan tentang wisuda sarjanaku. Di acara inti itu, aku sama sekali tidak didampingi orangtua. Bapak sudah mulai sakit-sakitan ketika itu, sedangkan ibuku –atas nama keadilan—sudah jauh-jauh hari bilang tidak akan menghadiri wisudaku karena Ibu juga tidak hadir di wisuda abangku. Supaya adil, katanya. Bagiku tidak ada masalah. Aku juga sebenarnya tidak tega membuat mereka berdesak-desakan di antara kerumunan orangtua mahasiswa-mahasiswa lain. Toh yang pasti aku tahu mereka bangga padaku. Ada banyak wisudawan yang tidak didampingi orangtuanya, sehingga beberapa teman dan senior berinisiatif untuk berpura-pura menjadi orangtua atau pendamping wisudawan, terutama ketika saat sesi foto-foto tiba. Supaya tidak terlalu sepi. Sehingga, Nak, jika kelak kamu melihat-lihat album foto wisuda sarjanaku, maka tidak akan kau temukan wajah bapak dan ibuku di situ. Yang akan kau lihat adalah wajah teman-temanku seperti Udin, Ani, Piyo, Pak Rauf teknisi sound system auditorium Baruga, dan lain-lain.

pawCerita tentang sarjana ini, Nak, aku ceritakan kepadamu, karena hari ini, tepat di enam bulan usiamu, kamu juga sudah menjadi sarjana. Sarjana ASI eksklusif. Enam bulan pertama hidupmu telah kamu lalui dengan tunjangan sumber makanan tunggal itu. Sehingga tak berlebihan kiranya jika orangtua yang berhasil melewati masa ini, dengan bangga menyebut anak-anak mereka Sarjana ASIX atau ASI Eksklusif. Bagi kami ayah ibumu, ini pun luar biasa. Suatu saat kamu akan tahu betapa ibumu banyak berkorban untuk memberimu ASI eksklusif ini.

BACA:  Tentang Seorang Lelaki

Itulah mengapa aku menulis ini, Nak. Untuk mengenang kebaikan-kebaikan kecil orang lain yang mudah sekali terlupa. Seperti halnya aku harus berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantuku menjadi sarjana, aku harap kau pun akan melakukan yang sama. Suatu hari ketika kamu besar nanti, kamu akan tahu kepada siapa kamu harus berterima kasih. Ibumu.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga