Mengapa Bahasa Indonesia Penting?

Artikel ke 2 dari 2 artikel dalam Topik : Bahasa Indonesia & Kita

Setelah bermukim lama dan mempelajari bahasa negara lain, Asmayani Kusrini menganggap bahasa Indonesia adalah salah satu”keberuntungan” yang bangsa Indonesia miliki, tapi –sayangnya– sering tidak kita sadari.

Artikel pertama dari beberapa bagian. Di bagian selanjutnya, ada artikel tentang mengapa anak keturunan Indonesia di luar negeri sebaiknya tetap berbahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia itu sungguh penting. Tidak hanya dari aspek sentimental dan nasionalisme sebagai orang Indonesia, namun juga dalam konteks sejarah bahasa-bahasa di dunia. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa bahasa Indonesia adalah alat pemersatu yang (di)tumbuh(kan) di tengah-tengah ratusan bahasa daerah yang tersebar di ribuan pulau Indonesia. Para bapak pendiri bangsa, Soekarno dan teman-temannya, sadar betapa bahasa penting agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang seperti kita kenal sekarang.

Tidak banyak pemimpin bangsa yang berhasil seperti Soekarno dan kawan-kawan. (Mari lupakan sejenak peran Jepang dalam hal ini). Dari segi visi dan implementasi menyatukan seluruh wilayah Indonesia dalam satu bahasa nasional, Soekarno jauh lebih hebat dari Raja-raja Perancis dan Raja-raja Belanda.

Ketika Francis I naik tahta pada abad ke 16 di Perancis, ia melakukan terobosan yang belum pernah dipikirkan oleh para pendahulunya. Francis I menugaskan para ahli bahasanya untuk merumuskan bahasa Perancis yang baku, yang akan menjadi bahasa nasional Kerajaan Perancis. Sebuah langkah strategis untuk mengurangi dominasi bahasa latin di bawah Kekaisaran Roma dan menyamaratakan dialek-dialek lokal.

Upaya menyeragamkan bahasa Perancis ini menemui banyak hambatan. Bahasa Perancis memang berhasil mendominasi jajaran aristokrasi di seluruh wilayah Eropa hingga bahasa ini dinobatkan sebagai bahasa diplomasi resmi, tapi gagal menjadi bahasa nasional dalam negeri. Para aristokrat Perancis ogah mengajarkan bahasa kebanggaan mereka kepada rakyat jelata yang berkomunikasi dengan dialek lokal masing-masing. Keengganan ini didukung pula oleh para pemuka agama yang hingga saat itu berdakwah dengan bahasa Latin maupun bahasa lokal. Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadinya Revolusi Perancis.

BACA:  Sebelum November Berakhir

Revolusi Perancis menyadarkan pentingnya punya bahasa nasional yang bisa dimengerti oleh semua orang tanpa kecuali. Di bawah perintah Napoleon, bahasa Perancis mutlak diajarkan hingga ke pelosok-pelosok negeri. Semua bahasa lokal diberantas, hukuman berat dijatuhkan bagi mereka yang keras kepala menggunakan dialek.

Di satu sisi, Napoleon berhasil mewujudkan impian Francis I agar bahasa Perancis menjadi bahasa nasional, bahasa ibu yang menjadi alat pemersatu semua wilayah Perancis yang makin meluas akibat ekspansi militer Napoleon. Di lain sisi, ia gagal mempertahankan beberapa wilayah strategis. Salah satu penyebabnya, (salah satu loh ya, penyebab utamanya tentu saja karena wilayah-wilayah ini ingin merdeka dan bisa mengatur hidup sendiri). Ya, karena orang enggan dipaksa menggunakan bahasa yang bukan bahasa ibunya. Salah satu wilayah yang akhirnya lepas ini adalah wilayah “negeri bawah” yang kita kenal sebagai Belanda.

Ketika Belanda akhirnya merdeka dari cengkeraman Perancis, Raja Willem I juga sadar pentingnya bahasa untuk menyatukan wilayah kekuasaannya. Maka salah satu program utama ketika ia naik tahta jadi raja pertama di Belanda adalah semua orang di bawah kekuasaan kerajaan Belanda harus bisa berbahasa Belanda.  Orang-orang yang saat itu baru saja lepas dari paksaan harus belajar Bahasa Perancis, tiba-tiba harus berganti haluan belajar bahasa Belanda yang baku. Orang-orang yang sebal dengan para pemimpin negara yang seenak-enaknya menyuruh warga untuk belajar bahasa baru akhirnya berontak. Termasuk para aristokrat yang dekat dengan Raja Willem I yang semuanya berbahasa Perancis. Hasil dari pemberontakan itu, terbentuklah Kerajaan Belgia.

BACA:  Mantra Maher

Demi tidak mengulangi kesalahan yang sama dan untuk menghindari pemaksaan bahasa, maka Raja Leopold I asal Jerman –yang dipilih secara “acak” untuk menjadi Raja Belgia yang pertama–, memutuskan untuk membiarkan warganya memilih bahasanya masing-masing. Maka, jadilah Belgia yang jumlah penduduknya tidak lebih banyak dari Jakarta, memiliki 3 bahasa nasional: Perancis, Belanda dan Jerman.

Lantas, apakah Kerajaan Belgia menjadi kerajaan yang makmur sejahtera bahagia sehidup semati selamanya? Tidak juga. Perbedaan yang awalnya menyatukan mereka, menjadi boomerang di kemudian hari. Seperti sepasang suami istri yang sudah tidak harmonis, Kerajaan Belgia ingin bercerai hanya berselang beberapa tahun setelah mereka mengucapkan janji hidup bersama. Perbedaan bahasa menjadi katalisator pertengkaran yang melebar ke mana-mana hingga cenderung rasis. Belgia memang belum bercerai hingga sekarang, tapi konflik komunitas bahasa sudah menjadi bisul yang makin hari makin besar, menunggu untuk meletus.

Sambil menunggu Belgia beneran cerai, kehidupan sehari-hari warganya harus menyesuaikan diri dengan tiga bahasa Ini. Hasilnya pekerjaan yang kita anggap remeh semacam penjaga toko, pelayan restoran, telemarketing, sekretaris, dan semua yang berhubungan dengan servis konsumen, punya syarat spektakuler jika ingin diterima: harus fasih setidaknya dua bahasa, Perancis dan Belanda. Bisa Bahasa Jerman adalah nilai tambah apalagi kalau dilengkapi dengan Bahasa Inggris.

Mitos bahwa bahasa Inggris bisa membuka peluang seluas-luasnya untuk berkarir setinggi-tingginya hingga ke bulan, tidak berlaku di negara-negara semacam Belgia. Di sini, semakin banyak Anda menguasai bahasa, semakin terbuka peluang Anda diterima jadi pelayan toko atau restoran, atau kalau beruntung jadi penerjemah di Uni Eropa.

BACA:  Semesta Kobokan

Berdasarkan pengalaman dari negera-negara maju tersebut, para perumus bangsa Indonesia adalah satu dari sedikit pemimpin bangsa yang berhasil menggunakan bahasa untuk menyatukan wilayah-wilayah yang terpisah-pisah secara fisik. Kita bisa menggunakan bahasa Indonesia di mana pun di seluruh wilayah Indonesia. Tidak seperti di Belgia, bergerak beberapa kilometer ke Utara atau ke Selatan saja, sudah harus berganti bahasa. Dengan segala kekurangan Republik Indonesia sebagai sebuah negara, setidaknya kita harus bangga punya bahasa nasional yang sudah digunakan oleh Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Ayu Utami, Eka Kurniawan, Chairil Anwar, Aan Mansyur, Seno Gumira, dan banyak lagi penulis lainnya yang bisa menjadi kamus sendiri jika disebutkan satu-satu.

Selamat berbahasa Indonesia!

Asmayani Kusrini
Artikel dalam Topik Ini : << Ambisi Orangtua yang Bisa Membunuh Bahasa

Leave a Reply

Silakan dibaca juga