“Kelas Memasak Kafia” yang saya tahu sudah pernah masuk media cetak dan pemiliknya pun pernah dipanggil di salah satu stasiun radio. Tapi tak apalah, saya turut menggunjing beliau, ikut mentenarkan produknya dan kelas memasaknya. Tapi sungguh cerita ini tak bermaksud menjadikan iklan untuk produk beliau (walau jika ini lolos tayang maka otomatis jadi iklan) tapi perjalanan hingga menjadi wirausaha dan mendirikan “Kelas Memasak Kafia’ yang menjadi inspirasi bagi saya. Selain bisnisnya yang menjadi inspirasi, cara mendidik anak yang di luar kebiasaan orang menjadi referensi saya ketika memasuki jabatan ibu baru, atau “Mahmud” sebutan gaul yang sedang hit saat ini.
CEO dari “Kafia Brownies” Ratna Farida Mansyur seorang ibu rumah tangga yang ingin mendirikan konsep ekonomi mandiri. Beliau sebelumnya adalah seorang wanita karier, berasal dari keluarga yang terpandang, yang dengan gampang bisa langsung meminta pekerjaan pada orang tuanya. Tapi tidak bagi tetangga saya ini, jiwa mandiri tumbuh subur dalam dirinya. Dulu sempat menjadi fasilitator sebuah program dari pemerintah. Ditugaskan di beberapa daerah, membuatnya memiliki kesibukan yang luar biasa. Dan akhirnya karena merasa mengorbankan banyak waktu untuk keluarga dia memilih resign dari pekerjaannya. Resaign begitu saja dari pekerjaan yang tergolong aman dan nyaman tentu bukan perkara mudah. Pertentangan hati dan kritikan dari luar pastinya deras menghantam. Kecewanya orang tua, omongan nyiyir dari orang lain yang hanya tahu luarnya saja tapi seperti tahu segalanya, tidak membuat kemantapan hatinya berubah. Katanya “Mlakune lempeng, kupinge mbudeg, matane micek’’ (berjalan lurus, telinganya tuli, matanya buta). Artinya kurang lebih, berjalan lurus tanpa mendengar omongan dan tatapan sinis orang lain. Hidup itu sebuah pilihan. Dan ketika kita membuat, memutuskan, memilih sebuah pilihan maka pantang untuk menyesalinya. Dan kini beliau telah membuktikan pada orang tua dan semua orang, dengan manisnya brownies dan kue kue buatannya.
Dengan resaign dari pekerjaan justru menjadi jalan bagi mbak Ratna untuk berpetualang. Mencoba berbagai usaha yang jatuh bangun, dan bangun lagi. Akhirnya beliau memulai menjadi pedagang makanan kecil. Produk produk “Kafia Brownies” dipasarkan sendiri dari kantor ke kantor, tanpa ada rasa malu. Buah dari kesabaran dan keuletannya, kini ia tak perlu memasarkan sendiri, pembeli datang dengan sendirinya dari berbagai wilayah. Dan kegiatannya tidak hanya berhenti di jual – beli dan mengumpulkan keuntungan. Berawal dari tagline baru, mimpi mimpi baru dan semangat memberi yang tak berkesudahan, beliau membuka “ Kelas Memasak Kafia” .
Dibuka untuk menjembatani para pedagang kecil dan ibu rumah tangga agar bisa menjadi CEO sendiri. Beliau tidak segan membagi ilmu dan rahasianya dalam memproduksi brownies dan makanan kecil lainnya. Hal yang masih langka di dalam dunia “bisnis makanan”. Saya ingat dulu kakak kandung saya jago dalam membuat tahu dan ayam crispi, dan di jual di warung warung sekitar. Ketika ada tetangga yang bertanya, padahal yang bertanya bukan seorang penjual, kakak saya memberikan resep yang berbeda. Katanya rahasia dapur, kalau orang orang tahu resep dan tehniknya, takut tersaingi dan takut jualannya tidak laris. Aaaiiisst tentu banyak pedagang macam kakak saya ini, tapi tidak bagi mbak Ratna. Ilmu, rahasia, peralatan dan tempat beliau sediakan bagi ibu ibu yang ingin belajar memasak dan ingin mendirikan ekonomi mandiri. Dan yang lebih luar biasa adalah kelas memasaknya tanpa dipungut biaya dan tanpa syarat.
Kini bahkan banyak ibu ibu yang sudah bisa membuat brownies serta jajanan lainnya dan memasarkannya sendiri. Baginya rezeki sudah ada yang mengatur. “Ilmu itu kalau diberikan secara utuh nantinya akan membuat saya dapat ilmu secara utuh lagi. Selama bermanfaat buat orang, berbagi jadi mudah”, tandasnya. Saya jadi ingat kata katanya Andrea Hirata “ Hidup untuk memberi dan mempesona, seperti mengubah kata menjadi puisi”. Manisnya berbagi bersama sungguh terasa manis, semanis “Kafia Brownies”.
Ratna Farida Mansyur, ibu dari tiga anak yang menggemaskan. Sungguh menggemaskan bila melihat mereka bersama, karena jarak antara mereka tidak terlalu jauh. Putra pembarep kelas 4 SD, panengahnya putri kelas 1 SD dan putri ragilnya masuk TK besar. Kadang jika melihat mereka bermain bersama dan saling akur membuat saya ingin secepatnya memberikan adik pada Hilmaz . Tapi sepertinya saya belum siap dengan berbagai resiko yang menghadang. Tidak siap akan kerepotannya. Mbak Ratna pernah bilang “ Nek wis pada gedhene kepenak, repotnya paling hanya 10 tahun pertama, sudah itu, lancar jaya” . Busyeeet. 10 tahun repot dibilang “hanya”? seakan akan waktu sepuluh tahun hanya sekejap saja.
Terlebih lagi mereka membesarkannya dengan cara mainstream, di luar kebiasaan banyak orang.. Buku buku pendidikan tentang “ilmu parenting” bertumpuk tumpuk di rumahnya.Baginya belajar ilmu parenting adalah hal wajib bagi orang tua.
Tidak menuntut anak harus mempunyai nilai yang tinggi tetapi mendidik anak agar punya karakter yang baik. Mengerti sebuah tanggung jawab dari kecil, diajarkan melalui reward and punishman, hadiah dan hukuman. Sebuah hadiah kecil tapi membanggakan, dan hukuman yang tidak menyakitkan tapi membuat menyesal. Sesuatu hal yang kecil tapi luar biasa bagi pengalaman dan pemahaman anak.
Jika kebanyakan keluarga bercengkrama di ruang keluarga sambil menonton TV, Keluarga mbak Ratna memindahkan ruang bercengkrama ke dapur, beliau tidak menyediakan televisi untuk anak anak. Sebagai pengganti televisi anak anak diajak bermain di dapur. Tidak sekedar bermain, mereka belajar berbagai hal di dapur. Pagi hari dapur berisik suara mixer,malam hari berisik suara tertawa anak anak.
Cara membesarkannya sesuai kurikulum yang tengah berlaku saat ini di Indonesia, pendidikan berkarakter. Hanya saja system pendidikan di Indonesia kurang konsisten, mendengung dengungkan pentingnya pendidikan berkarakter tapi di sisi lain barometer pendidikan masih mengacu pada nilai Ujian Sekolah. Kualitas sebuah sekolah masih dilihat dari tingginya nilai ujian.
Seperti yang terjadi di sekolah dasar, setiap tahun, memasuki tahun ajaran baru, guru guru kelas 6 mulai bersiap memasuki perlombaan. Karena nilai ujian juga merupakan harga diri dari seorang guru kelas enam. Semester awal mereka pakai untuk menyelesaikan materi satu tahun. Anak anak di paksa menghabisi “makanan” satu tahun dalam waktu enam bulan. Dan semester berikutnya system drill di berlakukan. Setiap hari anak anak di sunguhi soal yang sama jenisnya mengacu pada kisi kisi yang sudah ada. Bagaimana nilai mereka tidak melonjak tinggi jika setiap hari sudah terbiasa mengerjakan soal yang sama jenisnya. Bagi anak yang berprestasi tentu bukan hal yang sulit mencapai nilai sempurna. Bukan suatu dosa besar sebenarnya, akan tetapi nilai yang tinggi di ijazah terkadang tidak sebanding dengan kemampuan anak ketika di sekolah lanjutan. Belum lagi masih ada beberapa pengawas yang menerapkan system “kebijaksanaan” ketika mengawasi jalannya ujian. Mereka membiarkan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai nilai pancasila walaupun itu terjadi di depan mata. Alhasil menguaplah sudah makna dari pendidikan karakter, hanya tersisa pada banner yang terpajang di sekolah “ Prestasi penting, Jujur yang utama”.
Waduh malah jadi ngelantur kemana mana. Sebagai penutup, bagi saya, kehidupan Ratna Farida Mansyur menjadi inspirasi dalam hal berbagi pada sesama. Hidup itu indah jika kita punya jiwa yang ikhlas dalam berbagi. Dan dalam hidup kita mesti harus terus belajar, terumata dalam hal mendidik anak. Tidak selalu jika anak mematuhi perintah orang tua maka anak itu dicap sebagai anak yang baik, dan sebaliknya jika anak tidak menurut kehendak orang tua maka si anak mendapat predikat tidak patuh. Anak kita bukanlah kita, mereka punya kehidupan dan masa depannya sendiri.
Penulis:
NOVITA RAHMAH
Facebook Novita Rahmah
Twitter @NovitanyaHilmaz
–Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menggunjing Tetangga 2016 yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik—
- Besse’, Fosil Homo Sapiens Tertua dari Sulawesi Selatan - 17/09/2021
- Indonesia Kembali Terima Vaksin Covid-19 Pfizer dan AstraZeneca - 02/09/2021
- Rindu - 28/03/2020