Hari Ketika Bapak Pergi

Ilustrasi. Img:freeimages.com
Ilustrasi. Img:freeimages.com

River, ini cerita yang aku minta agar engkau tak jenuh mendengarnya. Karena inilah satu-satunya cara untuk mengenalkannya kepadamu. Lagi-lagi tentang satu orang yang tak sempat melihatmu tumbuh. Dia yang darahnya mengalir pada uratmu. Dia yang namanya aku sematkan di belakang namamu.

Dengarkanlah.

Jika boleh memilih, aku tak ingin mengalami hari seperti itu lagi.

Suatu hari Jumat yang gerah. Aku terbangun oleh suara musik dari kamar sebelah. Kamar kawanku, Herwin. Dia sedang berduet dengan vokalis Counting Crows, berteriak-teriak. Anna Begin! Anna Begin! Pukul sebelas kurang. Sebentar lagi adzan Jumat dari mesjid di belokan jalan akan berkumandang. Mesjid berukuran sedang yang soundsystem-nya agak payah. Mesjid tempatku pertama kali kehilangan handphone, karena ransel yang aku taruh di belakangku ketika iseng-iseng shalat, dirogoh entah oleh siapa. Waktu itu aku belum ada seminggu di Jakarta. Dengan hilangnya Siemens M35 itu, maka resmilah aku menjadi orang Jakarta. Kata temanku, pernah kecopetan adalah syarat untuk jadi orang Jakarta. KTP boleh menyusul.

Siang itu, aku bangun dengan perasaan tak enak. Bapak datang di mimpiku, mencium keningku. Sesuatu yang tak aku ingat pernah dia lakukan. Begitu dekatnya hingga aku bisa merasakan wangi minyak rambut Santalia bercampur bau balsem Cap Kaki Tiga dan aroma obat asmanya. Obat asma tablet. Kombinasi 3 merk yang dia minum hampir seumur aku mengenalnya. Tiga merk yang selalu sama, hingga pemilik toko obat hapal setiap kali aku datang ke tokonya. Aku cukup bilang, ”Tiga-tiga!”, dan Engkoh berdagu lancip itu sudah paham bahwa itu obat untuk bapakku. Asmadex, Dextamine, Librocyne. Di kemudian hari, dokter menduga obat yang Bapak konsumsi seperti nasi itulah yang menyebabkan jantungnya bengkak. Bapak pernah pakai inhaler, obat asma semprot berbentuk tabung kecil segenggaman tangan yang praktis. Tapi praktis selalu berarti lebih mahal. Dan Bapak berhenti memakainya seiring satu rumah kami disita oleh bank, mobil dijual, dan video betacam player disekolahkan di Pegadaian.

BACA:  Menonton Artis Ibukota

Hingga aku selesai mandi, aroma tubuh Bapak masih tertinggal di memori hidungku. Aku lalu mendatangi Herwin di kamarnya, menemaninya menikmati Winning Eleven seri terbaru sambil menunggu panggilan Jumat. Ada satu hari dalam seminggu, aku dan Herwin cuti sebagai sekuler.

Setelah shalat Jumat nanti, aku harus berangkat ke kantor. Kantorku ini baik hati karena membolehkan karyawannya masuk siang.

Di mesjid, aku mendoakan Bapak. Doa sederhana yang aku hapal, ditambah satu doa yang dia ajarkan pada saat terakhir aku pulang menjenguknya. Bapak sedang sakit di rumah kami di kampung. Diabetes, maag kronis dan pembengkakan jantung membuatnya terkapar di ranjang, kehilangan hampir setengah berat badannya. Aku berharap Bapak baik-baik saja. Setidaknya hingga aku pulang lagi menemuinya, dan membuktikan doa yang dia ajarkan.

Lalu datang kabar itu. Abangku yang paling tua menelpon dari Makassar. Bapak gawat, katanya. Aku disuruh pulang secepatnya. Aku ingat, sedang menikmati semangkuk bubur ayam di kantin kantor ketika itu. Dan semua tiba-tiba kehilangan rasa. Monosodiumglutamate menyerah. Getir.

Seperti orang gila, aku mengejar pesawat ke Makassar, kota besar terdekat dengan kampungku di Watampone. Pesawat paling cepat yang bisa aku capai. Berharap masih bisa menemani Bapak di saat terakhirnya. Mungkin menuntunnya membaca syahadat, atau membacakannya Yasiin yang tak juga aku hapal itu.

BACA:  Balada Calon Debitur

Tapi di jalan tol dalam perjalanan ke bandara, abangku menelpon lagi, hanya berselang 1-2 jam dari saat dia menanyakan kabarku tadi. Kali ini dia mengabari Bapak sudah berangkat. Bapak tidak bisa menungguku. Abangku juga tidak. Dia masih di Makassar saat Bapak menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bapak hanya ditemani ibuku dan tiga orang adikku yang beruntung bisa mencapai rumah tepat pada waktunya.

Dan entah darimana asalnya, pesan-pesan singkat mulai bermunculan di handphone-ku, menyatakan turut berduka cita. Turut? Aku merasa aneh. Aku tahu kalian tidak berbasa-basi, tapi bagaimana mungkin aku harus mengikutkan kalian dalam kesedihan ini?

Namun, betapapun dalamnya sedih itu, aku tak menangis sedikit pun.

Seorang kawanku yang kehilangan anaknya pernah bilang, ada suatu saat dimana kau akan berharap sebaiknya Tuhan memanggil dia saja, orang yang kau cintai itu. Itu saat kau tak kuat lagi melihat penderitaannya, dan kau akhirnya sampai pada kesimpulan dia mungkin akan lebih senang dan bahagia bersama-Nya. Itu kata temanku. Tapi aku belum sampai sejauh itu. Ekspektasiku pada kesembuhan bapak masih sangat besar. Aku selalu berharap bapak masih bisa sembuh, bangkit dari ranjang, kembali berjalan, dan menceritakan kami lelucon-lelucon garing-nya.

Ini aku ceritakan kepadamu, Nak, agar kau paham bahwa kita tidak akan pernah menang jika mencoba melawan takdir. Karena takdir yang aku maksud ini bukanlah semacam juara tenis meja.

Seringkali kita ingin berlagak mengatur kehidupan. Berlagak seperti Doraemon. Aku ingin begini, aku ingin begitu. Aku ingin ada di samping Bapak ketika dia pergi. Toh tidak semuanya bisa terjadi yang seperti kita mau.

BACA:  Ditanyain Gak Nanti di Akhirat?

Kita sering berangan-angan tentang tangan siapa yang terakhir akan kita pegang saat sakaratul maut. Tapi itu belum tentu juga seperti yang kita bayangkan. Kita tidak pernah tahu di mana dan bagaimana kita akan berakhir. Aku pernah melayat seseorang yang mati karena kecelakaan panser. Aku pernah melayat seseorang yang mati karena dilempar dari kereta api yang melaju kencang. Tentu mereka tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti itu.

Lalu kita mau bilang apa lagi?

Kita ini hanya wayang, Nak. Wayang yang tak punya hak untuk sombong.

Fauzan Mukrim

1 Comment

Leave a Reply

Silakan dibaca juga