Mengetes Tuhan

Di depan kotak bekas tempat kertas A4 itu, aku berhenti sejenak. Ditaroh di atas pembatas kubikal, kotak itu tampak sedikit goyah untuk disebut sebagai sebuah kotak sumbangan. Padahal itu memang kotak sumbangan. Teman-teman yang baru dapat rezeki lebih, bisa menyisihkan uangnya di situ. Uang yang terkumpul nantinya akan dibagi-bagikan kepada sejumlah Office Boy (OB) dan petugas Cleaning Service yang biasa bertugas di lantai 3 ini. Sebagai pekerja kontrak atau outsourcing, mereka memang tidak mendapatkan THR dari provider-nya, atau kalaupun dapat jumlahnya tidak seberapa.
Kotak itu diadakan untuk memberi sedikit tambahan bagi mereka. Itu ide beberapa orang yang baik hati, dan sudah berjalan beberapa tahun.

Hari ini THR kami memang turun, dan di depan kantor sudah disediakan bazar yang ramai sekali.

Sebenarnya sudah sejak dari beberapa hari kemarin aku berniat memasukkan uang di situ. Tapi selalu lupa. Dan tadi sore itu rupanya kesempatan terakhir.

“Masukin saja semua, itu kalau mau benar-benar bersedekah…” tiba-tiba seorang teman melintas. Aku tahu teman itu sedang mengerjakan program bertema sedekah yang melibatkan seorang ustadz yang juga sangat getol menganjurkan sedekah.
Aku kaget. Ini pasti teguran.

BACA:  Menjadi Ayah

Beberapa hari sebelumnya, aku dan beberapa orang teman sempat mendiskusikan soal paham sedekah yang dianut sang Ustadz. Secara sederhana, ustadz tersebut sering menganjurkan orang untuk bersedekah justru di saat-saat sulit. Dalam beberapa kondisi, orang malah disuruh untuk mensedekahkan semua yang dia punya. Karena semuanya pasti akan dibalas oleh Allah, begitu katanya. Dia menyebutnya sebagai mukjizat shodaqoh.

Bagiku, inilah hal yang belum bisa aku gapai. Aku merasa agak kurang sreg dengan metode yang dianjurkannya. Dalam pikiranku, ajaran sang ustad tersebut justru akan mereduksi makna sedekah itu sendiri. Seolah-olah semua harta yang kita sedekahkan kepada orang lain, akan mendapatkan balasan. Lalu di mana arti keikhlasan jika akhirnya orang bersedekah dengan harapan mendapatkan balasan?

Bukankah ibadah itu nantinya akan terukur sebagai transaksi untung rugi saja?

Itu yang dulu aku pikirkan dengan bekal ilmuku yang picik.

“..itu kalau mau benar-benar bersedekah…” kata-kata teman itu terngiang lagi. Ya Allah, apa ini? Semacam tes-kah?
Aku tertegun, meski ada juga sedikit rasa “lega”. “Untung” tadi beberapa ratus ribu sudah aku titipkan ke istriku untuk dibelanjakan di bazar, sehingga di kantongku hanya tersisa sekian saja. Jumlah yang menurut standar celengan mesjid, masih cukup “normal” untuk disedekahkan.

BACA:  Ramadhan dan Mobil Jemputan Pak Presiden

Lalu aku berpikir untuk memasuki area yang tak bisa kau gapai itu, dengan resiko pahala sedekahku mungkin akan berkurang. Dan resiko itu bahkan semakin besar karena aku akhirnya menceritakannya juga kepadamu di sini. Sudah sedekahnya sedikit, riya pula. Tapi, sungguh, bukan itu maksudku. Biarlah sedekahku itu tak berpahala sama sekali, jika aku memang berniat riya.

Aku menulis ini karena ingin menceritakan sebuah keajaiban. Setidaknya menurutku.

Begini. ketika akhirnya aku memutuskan untuk memasukkan semua uang yang ada di kantongku ke dalam kotak sumbangan itu –tidak banyak, tapi aku tidak menghitungnya sama sekali, benar-benar semua–, yang justru terpikirkan olehku adalah. “Oke, Tuhan, kita lihat, aku bakal dapat apa nanti.”

Inilah mungkin salah satu kesombongan terbesar yang pernah aku lakukan. Aku mengetes-Nya.

Dan inilah yang terjadi. Hanya berselang beberapa jam, Allah membalasnya dengan sebuah nikmat yang tak terkira. Materi dan immateri. Demi Allah. Tapi tak akan aku ceritakan kepadamu aku dapat apa. Aku tak ingin kamu nanti juga akan berpikir sepertiku, mencoba mengetes kekuasaan dan kemurahan-Nya.

Cukup aku saja yang berbuat tolol.

Demi Allah! Tak akan sanggup kita menghitung cinta-Nya.

BACA:  Pengamen dan Rubah Aesop
Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga