Saat itu kami baru saja tiba dari tempat tinggal kami sebelumnya. Sementara perabotan kami masih dalam perjalanan dibawa oleh truk boks sewaan. Menurut jadwal, baru keesokan paginya truk tersebut sampai. Jadilah kami harus menempati rumah ini dalam keadaan kosong semalaman.
Ibunya adalah orang pertama di perumahan yang aku kenal begitu pindah ke kontrakan ini. Beliau datang bersama kedua anaknya, Ajeng dan adik laki-lakinya. Selain untuk berkenalan, Beliau menawarkan dagangan. Diantara barang yang ditawarkan, minatku tertuju pada sebuah karpet plastik. Lumayan nih sebagai alas tidur malam ini, pikirku. Maka aku pun membelinya.
Tanpa butuh waktu lama, anak-anakku pun sudah bermain bersama anak-anak tetangga. Ajeng adalah yang paling sering bermain ke sini. Belakangan aku tahu alasannya. Rupanya rumahnya sering dikunci oleh ibunya jika dia bersekolah. Karena ibunya pun berkeliling menjajakan dagangan. Sehingga dia harus menunggu hingga ibunya pulang baru bisa masuk rumah.
Kadang Ajeng yang berkeliling menawarkan dagangan. Anak sulungku ikut menemaninya. Sepertinya Ajeng ikut berkontribusi dalam mengasah naluri berdagang anakku.
Ajeng sering membantu Si Sulung mengerjakan pekerjaan rumahnya. Membereskan barang, menyapu, mencuci piring atau menjemur baju. Dia juga beberapa kali ikut belajar bersama anak-anakku yang homeschooling. Mereka mendengarkan materi dan berdiskusi mengerjakan tugas bersama. Begitu semuanya selesai, mereka pun bergembira bermain apa saja.
Geli juga jika menyaksikan pada beberapa pelajaran, Si Sulung justru diajari oleh Ajeng yang lebih muda darinya. Dalam menyelesaikan pekerjaan rumah pun, tampak kualitas Ajeng yang pekerja keras, penuh inisiatif dan kreatif. Adakalanya Si Sulung harus merendam dan mengucek dulu satu pakaian karena bernoda berat. Mereka mengerjakannya bersama hingga basah kuyup dan air menggenang ke segala arah. Dengan cekatan Ajeng langsung mencari sapu lidi dan mengajak Si Sulung untuk mengarahkan seluruh genangan air itu ke selokan hingga mengering. Kadang dia sampai menaiki menara tandon air dan memasang tali rafia di sana untuk tempat menjemur pakaian. Karena menurut dia, cucian akan lebih cepat kering. Semangat tinggi yang patut dicontoh, kan?
Pernah suatu kali Si Sulung bersedih. Maka Ajeng pun duduk di sampingnya. Menepuk-nepuk bahu anakku dan mendengarkan keluhannya, lalu menghiburnya. Setelah Si Sulung agak tenang, Ajeng mengajaknya bersepeda. Betapa manisnya.
Aku penasaran juga, bagaimana cara membentuk anak menjadi seperti itu? Dalam kesempatan lain, kembali ibunya datang ke rumah menawarkan dagangan. Kali ini aku tidak membeli apa-apa. Aku hanya menyediakan telinga untuk mendengar ceritanya.
Rupanya Beliau dan anak-anaknya tinggal terpisah dengan suaminya. Sang Suami memutuskan untuk tinggal di kampung halamannya di Cilacap. Karena orangtuanya menyediakan pekerjaan bahkan istri baru di sana. Entah apa yang membuat orangtuanya bertindak demikian. Memang kehidupan keluarga ini sangat pas-pasan di sini. Mungkin itu sebabnya Sang Suami menerima tawaran pekerjaan di sana. Walau harus meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih harus berjuang juga mengumpulkan lembar rupiah untuk bertahan hidup.
Terasa aliran getir dalam setiap kata yang dituturkannya. Ada amarah sekaligus ketidakberdayaan. Ya, pasti berat sekali menjalani kehidupan seperti itu. Himpitan ekonomi yang sempit, ternyata justru mengantarkan pada berpisahnya dengan suami bahkan mendapatkan saingan cinta yang baru di sana. Jika nun jauh dalam jarak yang terbentang, suami telah mendapat pekerjaan yang lebih layak, dukungan orangtua dan memiliki keturunan dari istri keduanya, bagaimana seorang istri yang sendirian di sini bersama anak-anaknya bisa tetap tegak berjalan di atas bumi?
Anda merasa kasihan? Itu pun yang aku rasakan ketika mendengar ceritanya. Mungkin Anda mulai mengutuk suaminya? Tunggu dulu. Ternyata ada hal yang lebih bernilai dan pembelajaran yang berharga di balik itu.
Suatu saat, Ajeng sedang asyik bermain di rumahku. Adiknya memanggil untuk pulang karena ayahnya datang. Kulihat binar kebahagiaan di mata Ajeng. Dia memberitahukan bahwa untuk sementara ini dia tidak akan keluar bermain. Karena ayahnya selalu ingin bermain dengan anak-anaknya setiap datang berkunjung dan tak ingin kehilangan sedikit pun waktunya bersama keluarga di sini. Ajeng menceritakannya dengan riang. Tidak ada kesedihan sama sekali karena tidak bisa bermain bersama teman-temannya. Ya, dia sangat menghargai waktu bersama ayahnya. Ya, itulah kerinduan. Apa yang bisa menanamkan kerinduan jika itu bukan cinta?
Mungkin Anda berpikir bahwa itulah ketulusan hati anak. Bagaimanapun, mereka pasti mencintai kedua orangtuanya. Namun sekelebat sinar dalam pandangan Ajeng dan kerenyahan suaranya kala itu sudah cukup meyakinkanku bahwa ayah Ajeng adalah figur bapak yang baik. Figur yang layak dirindukan. Walaupun terkadang Sang Ayah datang tanpa membawa buah tangan dan tidak menitipkan sepeser uang pun. Beliau datang hanya dengan setumpuk rindu yang membuncah. Biasanya menginap selama 2-3 hari setiap bulannya.
Yang semakin membuatku yakin adalah, bagaimana kehalusan tutur kata dan kesantunan perilaku Ajeng setiap kali ayahnya selesai berkunjung. Dia sering menegur dan menasehati Si Sulung dengan panggilan ‘Cah Ayu.’ Sepertinya, figur ayah cukup berpengaruh dalam pembentukan karakter Ajeng.
Panggilan ‘Cah Ayu’ adalah panggilan khas dari daerah asal ayahnya, karena ibunya Betawi asli. Jelas sekali darimana dia meniru panggilan yang lembut itu. Atau sebenarnya ibunya yang membiasakan sehari-hari? Jika benar, itu artinya ibunya pun sangat mencintai dan menghargai ayahnya kan? Karena sulit bagi kita untuk mengikuti seseorang jika kita membencinya.
Mungkin Ajeng mencontoh semangat kerja keras dari ibunya. Tapi bisa juga dari ayahnya yang rela berpisah provinsi demi bertahan hidup. Mungkin dia banyak belajar berinisiatif dari ibunya yang terus berusaha mencari peluang penghasilan dari berdagang, mencuci atau menyetrika baju. Namun bisa juga diilhami dari keberanian ayahnya mengambil peluang penghasilan di kampung halamannya. Mungkin Ajeng mempelajari dari ibunya cara berkreasi dengan berbagai benda yang ada di sekitarnya untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa membeli. Tapi mungkin juga diperkaya oleh kreativitas ayahnya yang mampu menyenangkan hati anak-anaknya walau tidak memiliki uang.
Penasaran memang. Sayangnya, Ajeng telah pindah kontrakan ke blok yang lebih jauh dari tempat tinggalku. Karena kontrakan sebelumnya dirasa terlalu mahal untuk diperpanjang masa sewanya. Hanya sesekali dia bertemu dengan anakku. Jadinya aku belum sempat mengamati lebih jauh tentang bagaimana bentuk interaksi dalam keluarganya. Lagipula, ayahnya tentu merasa terganggu dengan kunjungan orang lain di saat ingin memiliki waktu khusus bersama anak dan istrinya ini.
Tak ada gading yang tak retak. Demikian pula seorang Ajeng. Ada beberapa sikap dan perilakunya yang tidak berkenan di hatiku. Sesuatu yang membuatku semakin tersadar betapa pentingnya kerjasama ayah dan ibu dalam mendidik anak. Banyak hal yang terasa lebih efektif ditanamkan pada jiwa anak ketika itu disampaikan oleh seorang ayah, atau ayah dan ibu secara bersama sebagai satu tim yang solid.
Walaupun demikian, dengan segala keterbatasannya, ayah Ajeng telah mampu menyemai benih cinta dan kepercayaan di dalam hati anaknya. Yang itu juga memperkuat ikatan pernikahannya dengan Sang Istri yang hingga kini masih bersedia bertahan menjalani episode ini.
Akhirnya, aku menemukan bahwa ternyata ini adalah kisah tentang seorang ayah,.Yang aku saksikan pantulannya pada diri anak dan istrinya. Lalu, bagaimana dengan para ayah di luar sana? Yang mungkin lebih lapang dari sisi waktu, tenaga dan dana. Mampukah Anda memberi rasa tentram pada hati istri? Sudahkah Anda menjadi figur yang dicintai dan diteladani oleh anak? Jika ayah Ajeng saja bisa, tentu setiap ayah di dunia pun bisa.
Penulis:
- Besse’, Fosil Homo Sapiens Tertua dari Sulawesi Selatan - 17/09/2021
- Indonesia Kembali Terima Vaksin Covid-19 Pfizer dan AstraZeneca - 02/09/2021
- Rindu - 28/03/2020