Tafsir Penderitaan dari Soda Gembira

River, semoga kita semua dianugerahi umur panjang, Nak. Engkau, aku, ibumu, dan semua yang ingin melihatmu tumbuh. Tak sabar ingin segera kucium pipimu dan kuhirup wangi susu dari tubuh mungilmu. Tak sabar ingin segera kutuntun tanganmu berjalan dan mengenali bunga-bunga. Tak sabar ingin segera kulepas engkau di kayuhan pertama sepedamu, setelah kita singkirkan roda bantu itu dan kau pun mulai mengakrabi giroskopis. Hingga suatu hari kamu mungkin akan kabur dan ngebut di jalan seolah-olah kau Valentino Rossi. Tak akan kularang kau, Nak. Hanya akan kuingatkan bahwa itu akan membahayakan orang lain, dan dirimu juga. Lalu kau akan patuh, dan mungkin juga tidak. Tak apa-apa.

Lalu semakin besar kamu mulai belajar menyembunyikan sesuatu. Kau mulai belajar menghisap rokok pertamamu. Tak perlu sembunyi, Nak. Sini aku kasih tahu rokok apa yang bagus untuk pemula sepertimu. Tapi jangan bilang-bilang ibumu ya. Bisa digampar kita nanti.

Bir? Jangan. Di trah kita tak ada yang peminum. Sekalipun sekarang sudah ada Bintang Zero. Ini larangan besar. Sekali kau lakukan, bisa dicoret dari kartu keluarga. Minum soda saja, ditambah sirup dan susu dia bisa jadi minuman paling gembira. Itulah dia soda gembira namanya.

BACA:  Ketika Kamu Sakit

Soda yang selalu gembira
Iya, seperti soda, kita harus selalu gembira. Jangan menganggap hidup ini terlalu rumit atau serius. Kata guruku, hidup itu hanya sarana untuk mencapai mati. Aerosmith bilang life is a journey, not destination. Eddie Vedder bilang, yes I understand that every life must end. As we sit alone, I know someday we must go. Ahmad Albar bilang hidup ini panggung sandiwara.

Siapa lagi? Dewi Persik? Dia nggak bilang apa-apa.

Nikmatilah hidupmu, Nak. Jadilah apa yang kau mau. Selama tidak dilarang agama, bebaskan dirimu memilih jalan. Kau bercita-cita jadi dokter seperti Che Guevara, silahkan. Mau jadi insinyur, oke. Pemadam kebakaran, oke. Terserah. Sekalipun kau ingin jadi peneliti yang mengumpulkan semua spesies ikan di sungai Amazon.

Pilih jalanmu, Nak. Kecuali kalau kau tak punya pilihan lain atau sedemikian putus asanya, jadilah politikus. Lihatlah, politikus sesungguhnya banyak yang putus asa. Kompensasinya mereka selalu menempatkan diri mereka sebagai orang yang serba penting. Cape deh!!!

Sebelum menikah dulu aku pernah berpikir untuk mencetak jundi-jundi. Tentara agama Allah. Kau akan berdiri di barisan paling depan untuk melawan para penentang. Berjihad. Berangkat ke Palestina. Membunuhi orang Israel. Hingga aku mulai berpikir ulang dan meredefinisi arti pertentangan. Ya, engkau akan selalu menjadi jundi. Tapi jundi untuk dirimu sendiri. Tentara untuk hati nuranimu sendiri. Apa gunanya engkau bersorban dan berjubah jika setiap hari kerjamu hanya mengobarkan perang dan kebencian.

BACA:  Tidur Siang di Hari Buruh

Kalau kau merasa cukup tangguh, jadilah jurnalis. Jurnalis yang baik. Yang tidak suka merecoki urusan rumah tangga orang, atau membesar-besarkan gosip kiamat bakal datang di tahun 2012. Jurnalis yang baik membuat orang tenang tapi sekaligus waspada. Jurnalis enak loh. Jam kerjanya tak terbatas. 26 jam sehari. Jurnalis adalah penafsir kepedihan rakyat. Dia tulis yang dia lihat, yang dia rasakan. Dia bagi keresahannya. Seorang jurnalis mengemban sisa-sisa misi kenabian, hermeneutik. Menjaga peradaban umat manusia agar tetap berjalan harmonis dengan sesuatu yang mungkin dianggapnya wahyu.

Tapi seperti politikus, jurnalis juga kadang-kadang merasa sok penting. Hero complex. Seolah-olah persoalan bangsa atau dunia bisa selesai di tangannya, padahal tidak selalu juga.

Sok sibuk juga. Bilang sama istri tidak bisa pulang dengan alasan deadline atau rapat, padahal sibuk nge-blog dan main fesbuk di kantor. Hehehe. Kalau yang ini bukan aku tentunya. Aku ini jenis jurnalis yang rajin pulang dan tidak suka bohong sama istri. Dan suka minum soda gembira. Kecuali kalau sakit maag lagi kumat.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga