Oleh-oleh Ayah

Malam itu, Nak, aku membawa pulang oleh-oleh untukmu. Aku bawa melintasi sisa gerimis. Malam masih sibuk. Orang-orang yang tadi sempat terhalang pulang, mulai beranjak. Seorang tamu agung baru saja datang ke negara kita. Obama namanya. Presiden Amerika Serikat itu akhirnya benar-benar tiba di Jakarta setelah beberapa kali gagal datang. Ada yang senang. Ada yang gusar. Mereka yang terhalang pulang itu yang gusar. Jalan mereka ditutup selama satu hingga dua jam untuk memberi jalan kepada sang presiden. Pengendara motor membawa anak-anak kehujanan tak sempat berteduh. Ibu-ibu terpaksa berjalan kaki. Pedagang-pedagang kaki lima digusur. Sementara katanya. Lalu keesokan harinya, Obama berpidato bahwa Indonesia tak seperti dulu lagi. Jalan-jalan lancar, katanya. Pak Beye yang berdiri di sebelahnya tersenyum mesem-mesem seperti anak gadis baru dilamar.

Ini bukan cerita tentang Obama, Nak. Insya Allah, dia orang yang lebih baik dibanding pendahulu-pendahulunya. Mari kita doakan.

Teman-temanku dibuat sibuk. Pagi-pagi sekali mereka sudah mengantri di logistik untuk mengeluarkan alat-alat liputan, siap memberitakan apa saja tentang kedatangannya. Seperti biasa, kami pekerja stasiun TV harus berlomba. Euforia Obama di mana-mana. Mungkin bila ada anak yang lahir hari itu, bisa jadi dia diberi nama Obama. Sejenak kita dibuat lupa pada Wasior, Mentawai dan Merapi yang baru saja dihantam bala.

Adapun aku, Nak, tak ada urusan apa-apa dengan keriuhan itu. Sesungguhnya berusaha tidak terpengaruh. Bahwa Obama datang dengan maksud-maksud tertentu, juga berusaha tak aku hiraukan. Aku hanya cukup senang mendengar kabar kedatangan Obama kali ini disertai hibah 24 buah pesawat F-16 bekas pakai Amerika. Tak apa-apa. Aku punya beberapa orang teman pilot pesawat tempur F-16. Jika mereka senang, aku pun ikut senang.
Sehingga malam itu, Nak, aku bisa pulang dengan tenang, membawakanmu oleh-oleh.

BACA:  Integritas di Tempat Kerja

===
Mereka bilang kita negara lemah. Ada yang menyalahkan pemimpin yang menjadikan kita seperti ini. Memelihara ketakutan dan menghamba pada negara yang mungkin tak lebih baik dibanding kita. Negara yang menyebut dirinya adikuasa dan kemana-mana mengobarkan perang. Negara yang menyerang warga negara lain yang berjarak ribuan mil dan menyebutnya sebagai pembelaan diri. Tak seperti negara-negara peserta Perang Dunia I dan II yang lain, Amerika tak pernah benar-benar terlibat perang. Sehingga mereka menciptakan perang mereka sendiri untuk memenuhi nubuat adikuasa itu. Berperang di tempat yang jauh, di Afghanistan, di Irak…

====
Mari, Nak, aku ceritakan padamu soal perang dan orang-orang lemah. Perang, menurut Pat Morita di film Karate Kid, harus dihindari, namun bila kau terpaksa harus berperang, maka pastikan dirimu menang.
Dan ketika harus berperang, jagalah dirimu agar tidak dikuasai kemarahan. Kemarahan membuatmu siap untuk berperang, tapi yakinlah, itu akan menjadi senjata yang buruk.

Senjata yang baik adalah ketika kamu tidak merasa lemah. Bagaimana agar tidak menjadi lemah? Panjang prosesnya. Aku, Nak, merasa beruntung ditempa oleh kenyataan hidup, dan dengan itu membuatku cukup kuat. Beberapa hari lagi usiaku 32 tahun, dan alhamdulillah aku merasa masih punya banyak tenaga untuk bergerak dan bertahan. Semoga masih terus diberi kesempatan oleh Allah untuk terus menemanimu tumbuh.

Banyak orang, Nak, yang sesungguhnya kuat tapi merasa dirinya lemah. Menyerah sebelum berjuang. Konon, seorang penyair terkenal pernah mendatangi seorang dokter. Melihat cara hidup sang penyair yang tak teratur, dokter itu iseng meramalnya. “Kamu mungkin akan kesulitan mencapai umur 30 tahun,” kata dokter itu. Sang penyair menjawab, “Baguslah. Karena mungkin saya sudah akan bosan sebelum mencapai umur itu.”

Ini soal cara kita agar tidak menjadi lemah, Nak. Sebagai orang Islam, para orang tua –termasuk aku sekarang– diwanti-wanti dengan keras. Termaktub dalam Al-Quran ”Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang meninggalkan anak-anak yang lemah di belakang mereka…”

BACA:  Lagu Pengantar Tidur untuk Rain

Tentu masih jauh dari cukup bekal kami, Nak. Semua masih terus kami kumpulkan agar bisa membuatnya sesuai zaman. Ibumu pernah belajar beladiri hingga sabuk tertinggi, begitupun aku yang belajar berbagai ilmu beladiri meski hanya di tingkat-tingkat awal. Aku dan ibumu bahkan pernah belajar satu cabang ilmu beladiri yang sama dengan harapan kami bisa bersama-sama mengajarimu nanti. Tapi mungkin bukan itu lagi yang kau butuhkan kelak, Nak. Semua yang kami punya itu bisa jadi ketinggalan zaman bagimu. Kami kesulitan membayangkan seperti apa zaman yang akan kau hadapi.

Lemah yang dimaksud dalam ayat Al-Quran itu adalah lemah iman, ilmu, dan amal. Jangan sampai itu terjadi pada dirimu, Nak. Maka maafkanlah kami seandainya di kemudian hari, ada cara kami mendidikmu yang menurutmu terlalu keras. Mungkin kita akan berseteru. Mungkin kamu akan berontak, dan tidak pulang berhari-hari. Mungkin kamu akan merasa kami tidak menyayangimu.

Orang pintar bilang, didiklah anakmu sesuai zamannya. Maka bisa jadi nanti kami tidak selalu bisa seperti itu. Bisa jadi ada ajaran dan contoh yang kau lihat dari kami yang tidak sesuai zamanmu. Jika itu terjadi, ketahuilah, wahai anakku River, semua semata-mata karena kami tak ingin meninggalkanmu dalam keadaan lemah.

====

river2 (1)

Kami menyayangimu, Nak. Orang yang bisa membaca rahasia langit menyampaikan kisah ini. Dalam hadits Qudsi disebutkan, dari ribuan kasih sayang Allah, ada satu kasih sayang yang dilepaskannya ke bumi. Dan satu kasih sayang itu cukup untuk dibagi-bagi sehingga dimiliki oleh seluruh orangtua untuk anaknya, termasuk kepada seekor kuda yang mengangkat kakinya agar anaknya tidak terinjak.

BACA:  Temanku yang Tidur di Selokan

Inilah kami, Nak. Berusaha mempergunakan sebaik-baiknya satu kasih kasih sayang yang diturunkan Allah itu.

Sekarang kamu sedang belajar merangkak. Itu artinya kamu butuh lebih banyak ruang untuk bergerak, untuk melatih tulang-tulangmu agar kuat. Sofa di ruang tengah sudah kami singkirkan, dan lantai kami lapisi matras karet bergambar huruf dan angka. Kamu sudah merayap kemana-mana, dan sesekali mencoba berdiri dengan berpegangan pada apa saja.

river1 (1)

Mainan-mainanmu pun bertebaran di seluruh lantai. Itulah sebabnya aku pulang membawakanmu oleh-oleh.

Sebuah kardus karton bekas kemasan monitor komputer. Tempo hari, orang IT baru saja mengganti monitor komputer di meja seberangku, dan aku meminta kardus pembungkusnya untuk dibawa pulang.

Oleh-oleh itu sederhana saja, Nak. Sebagai pengingat. Di sini kita bisa menjadikannya tempat mainan, dan di luar sana ada yang menjadikannya tempat berteduh.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga