Wajah Diah tampak kusut. Perempuan berambut pendek itu langsung mengeluarkan keluh kesahnya ke Jarwo. Keduanya bekerja di kedai pizza. Diah bilang, ia butuh uang segera. Jarwo bilang bahwa ia tak punya uang. Diah mungkin sudah mengantisipasi jawaban Jarwo itu. Di bawah tatapan Jarwo yang kebingungan, Diah membereskan sebuah meja dan menaruh taplak sebagai pengalasnya.
“Ini korek api, sebatang aku jual 10 ribu, “ ujar Diah ke Jarwo dalam bahasa Jawa.
Penonton, seperti halnya Jarwo, mungkin kebingungan. Tapi sebagai penonton, kita berdebar. Apa yang sesungguhnya akan terjadi?
Diah menaruh sekotak korek api di atas meja. Ia menawarkan ke Jarwo untuk melihat alat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api tersebut. Jika nyala sebatang korek mati, maka Jarwo harus membelinya lagi jika masih ingin melihat kelamin Diah. Tapi Diah punya syarat: boleh dilihat namun tak boleh disentuh.
Sebagai penonton, saya makin berdebar menyaksikan “Prenjak [in the Year of Monkey]” yang baru saja menang di La Semaine de la Critique, Cannes, itu. Dalam durasinya yang hanya sekitar 12 menit itu, Wregas Bhanuteja mencampurbaurkan beragam rasa ke indera penonton. Sekilas, film ini memang boleh saya sebut sebagai film Indonesia paling berani yang pernah saya tonton. Namun semakin melihat lebih dalam, semakin kita menemukan bahwa film ini lebih dari sekadar bermain-main dengan kelamin. Ia mempersilakan kita melihat ironi yang sesungguhnya ada di sekeliling kita. Bedanya di film ini, ironi itu disajikan secara telanjang. Terasa nyata tanpa kosmetik. Kadang nakal, kadang miris. Mengagetkan namun di saat bersamaan juga menggelisahkan. Diah yang kepepet oleh persoalan ekonomi masih punya kuasa penuh atas tubuhnya. Sebuah isu yang sedang banyak dibicarakan saat ini sehingga terasa relevan.
Yang dikemukakan Wregas di sini sesungguhnya bukan barang baru. Hampir 20 tahun silam, tepatnya di tahun 1997, Garin Nugroho sudah memotret fenomena itu di film “Daun di Atas Bantal”. Adegan itu terasa membekas di benak penonton, juga Garin, sehingga sutradara kaliber itu kembali melakukan rekonstruksi atas adegan yang sama di film terbarunya, “Aach, Aku Jatuh Cinta”. Dikisahkan Rumi kecil mencoba mengintip rok perempuan di bawah meja dengan menggunakan korek api. Dalam sebuah wawancaranya di media, Wregas berujar bahwa idenya tersebut didapatkannya dari seorang teman yang menceritakan pengalamannya bertahun silam kala ditawari oleh seorang penjual wedang rondhe di alun-alun di Jogja untuk melihat kelaminnya di bawah meja dengan menggunakan korek api.
Meski temanya tak baru, namun isu yang disampaikan maupun cara pengemasannya menjadi krusial. Dan itulah yang menjadi kekuatan dari “Prenjak [in the Year of Monkey]”. Wregas mendorongnya ke titik yang lebih jauh. Ia memainkan isu lokal untuk bisa berbicara di tataran global. Ia mengangkat isu yang begitu purba di bumi ini sekaligus paling sensitif di negeri ini yaitu soal seks untuk berkelindan dengan otoritas perempuan atas tubuhnya dan bagaimana perempuan berkelit dari kesulitan ekonomi yang mengungkungnya. Jika di film-film sebelumnya perempuan menjadi obyek, di sini perempuan tampil di depan sebagai subyeknya.
Yang paling menarik dari film terbaru Wregas setelah “Lembusura” ini adalah penerimaan publik ketika film ini diputar untuk umum [di bioskop via festival film] di tanah airnya sendiri. Saya tak bisa membayangkan reaksi penonton ketika melihat filmnya secara utuh tanpa potongan. Maka “Prenjak [in the Year of Monkey]” tampak seperti hadir di saat yang tepat: untuk menantang sensor film di negeri ini.
Tahun ini menandai 100 tahun keberadaan sensor film mewarnai Indonesia. Kebijakan sensor film sendiri di Indonesia sudah ada sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda, diawali penetapan Ordonansi Film tahun 1916 [Film Ordononntie 1916), Staatblad van Nederland Indie Nomor 276 tanggal 18 Maret 1916. Ada 6 periode sensor film di tanah air yang sudah dilalui: 1. Sensor masa kolonial Belanda, 2. Sensor Film (Masa penjajahan Jepang) tahun 1942-1945. 3. Sensor Film Masa Peralihan 1945-1950, 4. Sensor Masa Panitia pengawas Film (1950-1966), 5. Sensor Film Masa Badan Sensor Film (1966-1992), 6. Sensor Film Masa Lembaga Sensor Film (1992- sekarang).
Sensor film dan sineas sudah mengalami pasang surut hubungan cinta-benci selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan maestro Usmar Ismail pun pernah geram kepada sensor film. Di sebuah dokumentasi artikel yang saya dapatkan di perpusnas.go.id, Usmar menulis panjang lebar perihal tersebut. Rupanya ia kaget ketika proses sensor menimpa film “Terimalah Laguku” [1952] yang disutradarai D. Djajakusuma yang diproduksi oleh Perfini yang dipimpinnya. Berikut saya cuplik sebagian dari artikel tersebut. “Telah lama sesungguhnya saya ingin mengemukakan pendapat tentang sensor terhadap film yang dilakukan di Indonesia dewasa ini, mengingat kejadian di atas yang mengagetkan dan menimbulkan kekhawatiran saya. Pertama, karena buat pertama kali Perfini membuat film yang sangat onschuldig dan sederhana ceritanya dengan tidak menyinggung golongan mana pun seperti sering dituduhkan oleh golongan tertentu. Kedua, karena yang mau dipotong itu lebih onscluddig lagi sifatnya, yaitu sebuah adegan yang dimaksudkan sebagai suatu lelucon di mana dipertunjukkan seorang suami yang agak onder de plak (kecut) terhadap istrinya. Dan lagi, di mana diperlihatkan seorang suami waktu mendengar Orkes Radio Jakarta, dengan halus menjewer kuping istrinya yang terlalu asyik mendengarkan Saulius bernyanyi. Saya di sini tidak akan berbantah mengenai estetis tidaknyascene-scene tersebut. Tentang estetika, kita bisa berbicara berhari-hari dengan kemungkinan tidak tercapainya kata sepakat. Di sini saya hanya hendak membuktikan bahwa pedoman pemeriksaan film yang telah disahkan oleh Panitia Pengawas Film pada tanggal 4 April 1950 dapat ditarik dan diulur sebagai karet sepanjang dan sependek yang disukai oleh para anggota masing-masing.”
Dalam buku “Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia” volume 2 karangan Rosihan Anwar, juga diungkap bahwa 2 tahun sebelumnya, Usmar juga harus berhadapan dengan gunting sensor yang kejam. Kembali saya kutip secuplik tulisan yang termuat didalamnya. “Darah dan Doa yang dibuat tahun 1950 kena gunting sensor pada adegan-adegan pertempuran yang terlalu realistis yang sebenarnya dengan ukuran sekarang sangat lunak, sangat jinak. Juga sensor tidak menyetujui adanya kisah percintaan antara sang perwira TNI dan seorang gadis Eropa.”
Dan setelah Usmar Ismail, berpuluh tahun kemudian, Riri Riza juga mengungkapkan kegelisahan yang sama. Saya mewawancarai Riri untuk rubrik Playboy Interview yang terbit di majalah Playboy Indonesia edisi November 2006. Saya sempat menanyakan seputar manifesto I-Sinema [pada 1999, Riri dan teman-temannya, antara lain Rizal Manthovani, Miza Lesmana dan Nan Triveni Achnas, mendirikan I-Sinema. Mereka bermanifesto untuk membuat film independen – red] dan ucapan sutradara asal Makassar itu terkait “menantang sensor film”. Secara eksplisit, Riri bilang, ia memang sering emosi jika membicarakan soal sensor. Menarik melihat bagaimana Riri yang sudah berkarya untuk industri memandang sensor film dimana tiap filmnya ketika akan ditayangkan secara luas di bioskop akan selalu berhadapan dengan lembaga ini. “Menurut saya, yang namanya Lembaga Sensor Film di Indonesia, kalau kita pikirkan dan coba analisa, selalu membuat kita emosional. Siapapun pembuat film, wajar sekali jika berpikir seperti itu. Karena sebenarnya tidak ada mekanisme yang sesuai dengan semangat baru reformasi di dalamnya. Lembaga sensor adalah satu–satunya lembaga yang masih sangat berpola orde baru: tertutup cara kerjanya, pola pemilihan anggota dan ketuanya tidak terbuka secara publik seperti lembaga– lembaga lain, mengontrol anggarannya juga tertutup. Kita tahu betul bahwa kita bayar ketika membawa film kita untuk disensor, padahal sebenarnya tidak ada aturan untuk itu. Sangat tidak ada pola dan sistem yang mengikuti semangat dan perkembangan dunia baru sekarang. Makanya saya sangat emosional dengan lembaga sensor, bukan terhadap individu– individunya. “
Garin Nugroho juga melihat persoalan sensor lebih dari sekedar menggunting film dari seorang sineas. Menurutnya saat ini kebijakan Lembaga Sensor Film seringkali tak produktif. Ia menganggapnya karena lembaga tersebut kurang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Platform Youtube maupun streaming online seperti Netflix sudah tak bisa dibendung. Karenanya butuh pendekatan berbeda dalam menyikapi tontonan yang ada saat ini. “Contohnya film Senyap. Dilarang putar justru ketika sudah banyak orang yang tahu dan populer. Ketika dilarang justru menimbulkan pertanyaan di masyarakat dan berkembang berbagai macam asumsi. Ini tidak produktif, “ katanya yang dimuat di Tempo edisi 13 Maret 2015.
Yang menggelisahkan sesungguhnya ketika lembaga sensor juga menjangkau pemutaran film secara khusus di festival film yang tentu saja mengedepankan kepentingan artistik, apresiasi dan edukasi. Kita ingat kasus yang menimpa film dokumenter “Black Road” [2005] yang rencananya akan diputar di Jakarta International Film Festival [JIFFest] tahun 2006. Film ini mengikuti perjalanan William Nessen, seorang jurnalis lepas Amerika, selama 4 tahun yang awalnya obyektif melihat kejadian di Aceh hingga akhirnya beralih menjadi pendukung Gerakan Aceh Merdeka. Lembaga Sensor Film tak meloloskan film ini karena dianggap memperburuk citra aparat keamanan Indonesia.
Sementara itu, dokumenter “Prison and Paradise” [2010] karya Daniel Rudi Haryanto menempuh cara berbeda untuk ditolak oleh sensor. Syahdan, film tersebut berpartisipasi di Festival Film Indonesia 2011. Salah satu syarat agar film bisa dinilai di festival ini adalah harus memegang STLS [Surat Tanda Lulus Sensor]. Apesnya, film yang sudah melanglangbuana ke sejumlah festival terkemuka di luar negeri ini tak lulus sensor, membuatnya urung dinominasikan sebagai calon peraih Piala Citra [di tahun yang sama dan juga di kategori yang sama, film saya, “Cerita Dari Tapal Batas” dinominasikan]. “Prison and Paradise” bercerita tentang para pelaku bom Bali seperti Mukhlas, Imam Samudra dan Amrozi melihat tentang jihad, Islam dan cakupannya terhadap peristiwa pengeboman yang dilakukan oleh mereka. Lembaga Sensor Film menilai, “film tersebut sarat dengan dialog-dialog propaganda yang menyesatkan, sehingga memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda Islam Indonesia. Oleh karena itu film dokudrama ini tidak sesuai dengan kriteria penyensoran dan aspek keagamaan sehingga tidak dapat beredar atau diedarkan di wilayah R.I.”
Berhadapan dengan lembaga sensor memang gampang-gampang susah. Saya pernah mengalaminya sendiri di salah satu film saya. Setelah proses pasca produksi selesai, tim saya menyambangi lembaga sensor agar film tersebut mendapatkan STLS yang menjadi syarat sebuah film bisa tayang di bioskop. Saya tak pernah berpikir sedikitpun bahwa film saya kali ini akan mengalami hambatan di lembaga sensor. Namun nyatanya, salah satu adegan didalamnya yang tak pernah saya duga akan direspon demikian oleh anggota lembaga sensor yang terhormat, memungkinkan film saya itu mendapat penggolongan usia 17 tahun keatas. Saya terperanjat dan kaget. Bisa jadi karena saya tak memahami apa yang boleh dan tak boleh karena peraturan terkait sensor sungguh multitafsir, terutama terkait pornografi. Untungnya di lembaga sensor sekarang selalu ada proses dialog antara mereka dan pembuat filmnya. Saya dan sutradara tentu saja keberatan jika harus memotong adegan tersebut, namun akhirnya kami menempuh jalan yang menyenangkan kedua belah pihak: saya harus mem-blur sedikit anggota tubuh karakter perempuan yang sedikit terlihat di adegan tersebut. Hasilnya, film saya pun lolos sensor untuk usia 13 tahun keatas sebagaimana yang kami inginkan.
Buat saya pribadi, sensor sesungguhnya sudah tak relevan. Yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini adalah sistem klasifikasi film. Dengan demikian ada tanggung jawab dari sejumlah stakeholder berkepentingan, termasuk pihak bioskop. Dalam hal ini, pihak bioskop wajib melakukan seleksi ketat atas penonton. Agar kita tak perlu lagi melihat sekelompok remaja ABG menyaksikan horor berbalut sensualitas di bioskop yang sesungguhnya belum layak ditontonnya. Dari pihak keluarga sendiri pun juga punya tanggung jawab untuk menyeleksi film yang akan ditonton bersama-sama misalnya. Sehingga kita tak perlu kaget lagi ketika pasangan suami istri membawa anaknya yang masih berusia 10 tahun menonton film yang dipenuhi dengan adegan kekerasan. Orangtua mestinya tahu bahwa tontonan seperti itu bisa disaksikan oleh mereka yang sudah berusia 21 tahun keatas misalnya. Dengan sistem klasifikasi, kita bisa menyaksikan “Prenjak [in the Year of Monkey]” secara utuh tanpa potongan ketika berhadapan dengan nasibnya untuk diakses secara luas oleh masyarakat di bioskop.
Saya berdebar ketika menyaksikan “Prenjak [in the year of Monkey]” via streaming online sebagaimana saya juga berdebar menanti bagaimana reaksi publik ketika film itu diputar untuk umum [di bioskop via festival film] di tanah kelahirannya sendiri, sekiranya pembuatnya menghendaki.
- 5 Film Paling Favorit di Paruh Akhir 2016 - 31/12/2016
- 5 Film Paling Favorit di Paruh Pertama 2016 - 11/07/2016
- Jika Reza Bisa Jadi Habibie, Kenapa DiCaprio Tak Bisa Jadi Rumi? - 11/06/2016