Pengantar:
Per hari ini, The River Post akan menyajikan rubrik seni dan sastra berupa cerpen, puisi, resensi buku, film, dan inovasi seni lainnya. Hadir setiap hari Minggu di jam yang tidak disangka-sangka. Selamat menikmati….
Salam,
Redaktur Budaya (dan Politik, Hukum, Internasional, Nasional, dan lain sebagainya :-))
==============
Tengah malam belum tiba. Kesenyapan tanpa semerbak kemenyan sedikit memilukan buatku. Sekarang Selasa Kliwon. Hari yang legit untuk berkasih sayang. Aku mengelus jenggotku yang telah menyapu lantai candi. Aku merasakan getaran halus yang merambat ke setiap helai uban yang menggantung dari dagu. Ini pertanda sebuah rombongan akan datang.
Kulongok penjual mie ayam yang termangu di pinggir pendapa depan candi. Gerobak biru kusamnya masih mengepulkan asap. Tak satu pun pelanggan muncul. Mungkin di desa sebelah sedang ada hajatan, nanggap orkes, sehingga para lelaki yang biasa jagongan di depan pendapa, sibuk berjoget bersama.
Sebentar lagi candi ini akan dipenuhi lelembut. Jika tak segera kuusir penjual mie ayam itu, bisa saja ia menjadi sasaran kejahilan tamu-tamuku. Kujentikkan jempolku ke arah lampu gantung di gerbang candi. Seketika lampu neon itu berpendar-pendar tak normal, bergantian warna terangnya menjadi putih dan kuning redup. Si penjual mie ayam segera menyadari dan sontak mendorong gerobaknya, lari pontang panting.
Kasihan. Harusnya kutiupkan saja angin dingin di bawah tengkuknya.
“Kami datang, Mbah!” seru demit tambun, dengan dada berbulu lebat, menghampiriku yang sedang duduk-duduk di batur candi.
Aku mendongak, senyumku mengembang. “Monggo pinarak Ki Sanak, jangan sungkan-sungkan, masuklah!”
Para kerabat yang tak pernah sekali pun kutemui, berseliweran hadir. Mereka berbondong-bondong mengerumuniku, mengenalkan diri masing masing. Mereka datang dari beberapa penjuru Porong. Pelukan mereka mantap, badan mereka perkasa, kutaksir setidaknya mereka terpaut seratus tahun lebih muda dariku. Kemudian mereka melayang, duduk bersila di depan candi. Pantat mereka tidak bisa anteng, meski duduk bersila, gerakan mereka naik turun karena sedari tadi gatal mencium atap candi.
“Ada apa gerangan, Wahai Para Sederek? Mengapa kunjungan kalian sangat mendadak?” tanyaku, keheranan.
“Ah, Mbah Pari. Maafkan kami yang baru pertama kali ini sempat menengokmu. Padahal jarak kediaman kita selemparan batu saja jauhnya,” jawab Cak Ringin, penghuni Lapangan Beringin, berbasa-basi.
Aku mengangguk-angguk. Terakhir aku berkumpul bersama makhluk sebangsaku tujuh tahun yang lalu. Aku dan kerabatku berselisih paham atas tumbal yang selayaknya kami terima sebagai wujud pengorbanan Korban Lumpur Lapindo. Saat itu Lurah Kedungbendo putus asa. Ia mengadakan sayembara penutupan luapan lumpur dengan iming-iming rumah tipe 36. Berbagai macam dukun datang dari pelosok negeri ini. Semua gagal dengan usahanya masing masing.
Aku berada di kubu yang tak sepakat untuk menerima aneka tumbal itu. Hingga akhirnya tumbal kambing, angsa, kepala kerbau dan banyak sesajen lainnya sia-sia, dan seringkali malah disantap warga. Aku bersikeras menolak rayuan para dukun ini, karena menurut penerawanganku, kekuatan kami—andai seluruh dedemit yang hidup di Porong dikumpulkan—masih terlalu lemah untuk menghentikan semburan lumpur panas.
“Janganlah bersyaksangka pada kami, Mbah.. Engkau sesepuh yang paling kami hormati di Porong. Kami tak mungkin melupakanmu, titisan pengawal garda depan Prabu Brawijaya, Bhre Pamotan,” ujar Ki Kosek, demit Watukosek yang seolah-olah mampu membaca pikiranku.
“Ya, ya, aku tahu. Aku hanya merasa kesepian setelah kepergian Nyi Sumur dan wafatnya penjaga candi ini. Serasa hidupku dipaku di sini. Aku tak mungkin terbang menemui kalian,” gumamku tak jelas. Gelombang kesedihan menggulungku. Ribuan kenangan dengan istriku yang menjadi penghuni Candi Sumur—yang akhirnya bosan dan pergi entah kemana—ditambah ratusan hari pertemanan dengan Wagimin, sang juru kunci, kini kembali membayangiku.
Para tamuku menunduk, sedih. Rerumputan bergoyang lemah. Mereka membentuk setengah lingkaran, mengheningkan cipta sejenak.
“Ah, sudahlah. Lupakan nestapa kemarin. Kalian tak perlu merasa bersalah lantas menghiburku. Aku tetap menyanak kalian semua. Jadi, mari kisahkan padaku apa yang terjadi di luar sana, Dulur. Pasti banyak perubahan bukan?” tanyaku, mencoba mengalihkan suasana.
“Perubahan yang tidak menggembirakan, Mbah,” ucap Ki Miring, wajahnya tertekuk muram. “Lumpur panas masih belum berhenti, Mbah. Sudah tujuh tahun ini Porong dikutuk. Para korban dari pihak manusia tak tentu arah nasibnya. Mereka diusir oleh truk-truk dan mesin-mesin berat pembuat tanggul. Lumpur telah menjadi kerajaan yang dibentengi tanggul kerikil dan sirtu. Apa yang bisa kuperbuat, Mbah? Selain menjaga Tugu Kuning dari kebiadaban manusia. Tapi lambat laun Tugu Kuning kian melesak ke tanah, ditelan jagat. Sebentar lagi aku harus pindah rumah.”
Aku mengelus jenggot Ki Miring yang dikepang, sebagai tanda belasungkawa bangsa kami. Aku tahu cinta Ki Miring sangat luar biasa besar untuk Desa Siring. Aku pun pernah mendengar desas-desus bahwa ia menjaga Tugu Kuning tak semata-mata karena itu rumahnya, tapi karena monumen itu telah menjadi saksi bisu atas kisah Ki Miring yang jatuh cinta pada Marsinah, anak manusia yang berani, yang naas dibantai oleh manusia yang lain.
“Benar, Mbah. Ulah mereka layaknya kumpeni! SD tempat saya tinggal sekarang keadaannya sudah sangat mengenaskan,” kini giliran Cak Rejo, demit penjaga SD Jatirejo di sebelah barat jalan raya, berkeluh kesah.
“Ada apa, Cak? Sekolahmu opo o?” tanyaku.
“Ditutup Mbah! Kami kehilangan banyak murid. Anak-anak tak berdosa itu harus mengungsi jauh dari sekolah mereka. Satu-persatu gurunya menunggu dipanggil dinas, dipindahkan begitu saja. Sekarang gedung sekolah kosong, ditumbuhi semak belukar. Seperti rumah hantu!”
“Lha yo kepenak tho, Cak? Tambah angker, tambah sekti ilmune sampeyan,” celetuk Ki Nyambik dari Kesambi.
Seketika tawa para tamuku menggema, mengacaukan arah angin malam, terperangkap dalam area candi.
“Yo opo iso tambah sakti, Mbik? Iku gedung pendidikan! Nggak ono maneh arek-arek cilik sing semangat sinau nang kelas-kelas. Ilmuku kesedot lumpur ndek seberang dalan!”
“Iyo ta, Cak? Wes sampeyan buktikno? Moso’ seh?” timpal Cak Pindi, penghuni Pasar Porong yang telah rata oleh tanah.
Sekali lagi tawa pecah. Aku terkekeh hingga berderai-derai airmataku. Ki Kosek bahkan terpingkal-pingkal sambil menampar-nampar dinding candi. Cak Rejo sepertinya kerabatku yang paling sering dijadikan bahan guyonan. Air mukanya selalu memancing tawa.
Setelah tawa surut, para tamu yang lain berebutan menceritakan kesengsaraannya sekaligus kesaksiannya melihat penderitaan korban lumpur. Sesekali kisah mereka diselingi pisuhan yang tak senonoh untuk para pribumi yang menjajah Porong. Demit Amot sampai perlu membersit hidung dengan jenggot keemasannya. Segera lendir hijau menetes-netes dari sela-sela rambut yang tumbuh di dagunya.
“Saya kangen kemakmuran Jawa dahulu, yang seperti leluhur kita sabdakan. Andai saja, Majapahit masih berkuasa… Porong masihlah tanah yang subur, lumbung Nusantara yang tersohor hingga ke Negeri Champa,” kenang Amot. Keluarganya dulu adalah penjaga muara Kali Porong. Mereka biasa menjelma menjadi Bajul Keroman.
“Sudahlah, Ki. Tak usah kau sesali. Inilah zaman kalabendu. Kerusakan alam di mana-mana. Mari kita pikirkan suatu jalan mufakat. Jangan sampai kampung kita tercinta ini dikuasai manusia-manusia rakus. Ingatlah, bagaimana leluhur mewarisi kita tanah yang makmur, kaya mineral untuk kesejahteraan pribumi, bukan untuk antek-antek kumpeni,” kata Ki Cangkring bijak.
“Ya, jangan sampai tanah ini jatuh ke tangan perusak. Kabarnya, tahun depan, bangsa manusia akan menyelenggarakan pemilu. Si Dagu Maju, pemilik Lapindo itu katanya mau nyalon, Mbah!” seru Cak Wunut, memanasi.
“Oleh karena itu, maksud kedatangan sederek sedaya niki badhe nyuwun pangestu saking Mbah Pari,” ucap Ringin, takzim.
“Nggih Mbah, kita harus siap-siap. Gagalkan Dagu Maju kuasai nusantara, usir antek-anteknya dari tanah kita, Mbah!” yang lain mulai tersulut.
“Kalau perlu kita himpun pasukan, kita kirim perwakilan-perwakilan untuk minta bantuan ke semua kerajaan demit yang ada. Kita undang romo, simbah, abdi, eyang, datuk, tengku untuk menggulingkan keserakahan Si Dagu Maju!” usul Ki Kosek dengan mata merah menyala.
“Tunggu…! Bagaimana kalau kita jebol titik-titik rawan tanggul lumpur jelang pemilu. Kita ledakkan barang satu dua pipa gas seperti dulu. Kita kirim pesan langsung pada Si Dagu Maju untuk takluk dengan kobaran api dari pipa gas. Sepakat, Sadulur?” Cak Keno kini mempertontonkan jenggot yang terbakar.
Keributan terjadi, para tamuku ini sibuk menyusun rencana pembalasan. Aku hanya menyimak. Kubiarkan mereka mengutarakan suaranya. Tak baik memendam larutan emosi kerabatku. Sudah cukup lama mereka menghadapi tekanan dari alam yang mengutuk ulah manusia-manusia serakah.
“Mbah, mengapa diam saja? Bicaralah! Kami semua menunggu petuahmu.” Ki Kosek membuyarkan suara-suara yang bersahutan. Tubuh-tubuh yang melayang, berputar putar, sekarang berangsur-angsur anteng kembali.
“Kalian masih ingat ramalan Gusti Prabu Jayabaya?” tanyaku, kalem.
“Jangan bilang Mbah akan menyuruh kita diam saja, menunggu datangnya Satrio Piningit!” sahut Cak Rejo cepat.
“Mbah, kita jangan berharap banyak pada orang yang dipingit. Walau desas desusnya Satrio itu sedang digodok Ki Ageng Cetho di kawah Candradimuko,” timpal Ki Miring.
“Aku bukan menyuruh kalian diam, Wahai Dulur! Aku hanya mengingatkan, sebenarnya ini perang antar manusia. Bukan tugas kita untuk ikut mencampuri bencana yang ditimbulkan mereka.”
“Sungguh bijak Mbah,” suara lembut perempuan seketika mematikan suasana. Kami semua menoleh, lampu penerangan di depan gerbang padam. Sesosok wanita berkebaya berhias untaian kelopak kenanga, menghampiri kami dengan anggun. Ia berjalan kaki, hanya untuk menunjukkan betisnya yang bersinar melalui langkah-langkah luwes yang tertahan jarik bercorak batik Jetis. Sungguh, ia tak berminat melayang.
“Selamat datang Nyai Gulo Juwet,” bisik Cak Rejo, seketika panas-dingin.
“Mengapa kalian tidak mengundangku turut serta, Wahai Dulur?”
“Kami tidak yakin engkau minat dengan obrolan lelaki,” kilah Cak Pindi.
“Aku selalu menaruh minat pada lelaki,” ia mengedipkan bulu matanya yang lentik berwarna lembayung. “Terakhir, saking bosannya, aku menggaet sopir truk tengah malam. Ia mabuk kepayang, menabrakkan truknya ke bangunan di tepi jalan raya. Jadi, mari kita kembali ke obrolan yang belum selesai.”
Aku terkekeh. Hanya aku yang menanggapi selera humornya dengan normal. Para kerabatku yang lain mungkin tengah asyik membayangkan dirinya digoda demit secantik Gulo Juwet. “Hanya engkau, Nyi, yang tampaknya membenarkan petuahku.”
“Yah, lagipula mengapa kita harus repot-repot memikirkan kesejahteraan rakyat Porong? Semua ini hanya permainan. Rakyat pun masih terkubu-kubu. Manusia-manusia yang menderita itu masih sibuk dengan urusan perut masing-masing. Mengapa kita harus bersatu untuk melawan? Apakah ini benar-benar menjadi perkara kita?”
“Tapi Nyi, ini saat yang tepat sebelum Si Dagu Maju mampu menarik hati rakyat di daerah lain untuk memilihnya,” ujar Cak Wunut, tampak cemas.
“Oh, biarkan aku yang mengatur jika kalian mempercayai pesonaku. Aku bisa pergi ke barat, menghasut Si Dagu Maju agar batal mencalonkan diri menjadi presiden. Lagipula, aku penasaran akan setampan apa Satrio Piningit. Kita harus memberinya kesempatan beraksi.”
“Bukan kami tidak mempercayaimu, kami pun tidak bermaksud sedemikian rupa membela rakyat Porong, kami hanya tak sudi tanah ini dimiliki Si Dagu Maju!” seru Cak Ringin, dongkol.
“Jika kita tidak siap-siap sejak sekarang, yang kutakutkan, bagaimana jika Satrio Piningit tidak muncul tahun depan? Apa jadinya nasib Porong? Terlebih lagi nasib Nusantara,” tanya Cak Wunut memperkeruh suasana.
“Hm, setidaknya kita harus memastikan keberadaannya. Jika ia tak seperti apa yang dikatakan Jangka Jayabaya, marilah kita susun kekuatan,” ujar Ki Amot.
Aku termenung sejenak. Mungkin mereka ada benarnya juga. Sudah saatnya aku mengerahkan energi terakhirku, sisa-sisa semedi selama ini. Sebenarnya, aku tak pernah peduli dengan siapa pun yang akan memimpin negeri ini. Namun kiranya apa yang akan dilakukan Si Dagu Maju esok jika ia berhasil menguasai Nusantara? Mungkin sudah saatnya tatanan jagat kembali. Manusia harusnya tetap tunduk terhadap alam, layaknya leluhur mereka di masa Jawadwipa. Aku berdiri lalu mengibas-ngibaskan jenggotku. Para tamuku kini balik terdiam, menungguku berbicara.
“Hampir subuh, Dulur. Aku meminta kalian untuk tetap tenang.”
Kulihat tatapan tatapan kecewa dari mata mereka. “Kuminta Ki Kosek dan Ki Cangkring menemani perjalananku sebentar lagi,” tambahku.
“Hendak kemana, Mbah?” tanya Ki Kosek.
“Kita akan keliling, munggah gunung, nyebrang segara.”
“Apa gerangan yang hendak kau cari, Mbah?” tanya Ki Miring, penasaran.
“Aku mencari sisa-sisa leluhur kita. Pertapa-pertapa dari dinasti yang lebih tua dari Kahuripan.”
“Kau tidak mencari Satrio Piningit, Mbah? Aku bisa ikut serta,” celutuk Nyi Gulo Juwet penuh harap.
“Tidak. Biarkan jagat raya yang berkehendak, apakah ramalan itu berlaku atau tidak.”
“Jadi? Setelah bertemu kerabat jauh, lalu apa yang akan terjadi?” tanya Cak Rejo mewakili kebingungan para tamuku yang lain.
Sejenak aku terdiam, menimbang-nimbang rencanaku. Mungkin bagi sebagian tamuku, keputusan ini akan dianggap sangat gegabah.
“Dulur, kita akan coba bersama-sama bangunkan Antaboga,” bisikku, tajam.
Seketika kulihat para tamuku merinding, jenggot mereka menjadi kaku, seperti jejarum menembus tanah. Nyai Gulo Juwet bahkan kini melayang-layang rendah, resah. Jelas, ini bukan rencana yang mereka harapkan. Membangunkan naga purba raksasa dari kedalaman perut bumi bukan soal yang enteng. Jika itu terjadi, jika ia keluar dari persemayamannya melalui lubang lumpur, aku pun belum bisa menerka perang dan bencana apa yang akan terjadi.
Jogja. 1912-2113
Untuk tanah yang terendam
- [CERPEN]Kunjungan Para Ki Sanak - 29/05/2016
- A-Z untuk Dagangan #AADC2 - 03/05/2016