Paralanguage

Karena terlalu banyak mengatakan “eee… eee…” ketika diwawancarai sebuah media, Wagub Sandiaga Uno dibully netizen. Padahal, hampir semua orang ketika berbahasa tutur dengan orang lain yang tidak familiar, kemungkinan juga akan mengalaminya.

Perlu dicamkan, hanya komunikator yang bener-bener jago atau presenter berita yang membaca teleprompter yang bisa berbicara tanpa “eee… eee…”.

“Eee.. eee…” dalam ilmu komunikasi disebut vocal segregates. Selain “Eee… eee…”, vocal segregates yang umum adalah “uh”, “mmmm”, dan “ngggg”.

Kebiasaan orang Indonesia, vocal segregates bahkan sering berupa kata, semisal “apa” dan “istilahnya”. Kalau orang bule, biasanya “you know, you know”.

Kadang-kadang kita sering dengar orang ngomong dalam kesempatan formal, misalnya: “Maksud pertemuan ini… yaitu… eee… supaya, apa, untuk mempererat kembali… istilahnya… hubungan silaturahmi antara, apa, eee… sesama, istilahnya, alumni gerakan 69 dan 234.”

Dalam satu kalimat itu saja, kita bisa temukan sejumlah vocal segregates. Dan itu sebenarnya hal yang wajar dalam proses komunikasi. Sama sekali tidak menunjukkan kedunguan atau kepandaian seseorang. Ada banyak penulis dan pemikir hebat yang kalau berbicara, kalimatnya penuh dengan “eee… eee”.

Vocal segregates berfungsi mengindikasikan formalitas, pemahaman, dan ketidaktentuan situasi (uncertainty). Dengan vocal segregates, seorang komunikator punya waktu untuk mengolah informasi di dalam kepalanya atau membangun jembatan untuk menemukan kata yang tepat sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Komunikator yang sudah terlatih kadang menyamarkan vocal segregates-nya dalam bentuk “silent pauses”.

Berbeda dengan kata verbal “pakai” yang dihilangkan Buni Yani pada transkrip pidato Ahok di Pulau Seribu, vocal segregates “eee… eee…” ini digolongkan dalam mode komunikasi non-verbal.
Selain vocal segregates, ada juga namanya voice qualifiers (intensitas kata, pitch, extent), vocal characteristics (teriakan, desahan, suara bergetar, termasuk cengengesan), dan voice qualities (lip control, articulation control, resonansi, tempo, dll).

Kesemua aspek itu, setidaknya oleh George Trager and Henry Lee Smith (1951), digolongkan dalam Paralinguistics atau Paralanguage. Sederhananya, paralanguage adalah fitur-fitur yang kadang menyertai ucapan dan berkontribusi pada sistem komunikasi namun tidak dikenal sebagai bagian sistem bahasa.

Bagi para pekerja media (terutama media cetak), penting untuk memahami paralanguage ini ketika mentranskrip atau #verbatim hasil wawancara dengan seseorang. Di koran, vocal segregates sudah pasti dibabat habis karena menyita spasi. Sebaliknya sering ditemukan kata tambahan dalam tanda kurung untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin tidak sempat terucapkan atau terucapkan tapi selip di lidah sang komunikator.

Nah, terkait kalimat Wagub Sandiaga tentang solusi mengatasi kemacetan yang susah dimengerti dan viral itu, kira-kira menurut saya sebagai tukang #verbatim, jadinya seperti ini.

“Kalau (bagi mereka) yang punya uang, mungkin bisa membantu untuk meringankan kemacetan di Jakarta itu dengan secara simbolis mengurangi [menambah

Fauzan Mukrim: