Yue Yue akhirnya pergi, Nak.
Anakku River, suatu hari nanti kamu mungkin akan membaca cerita ini.
Yue Yue sedang bermain di sebuah jalan pasar di Kota Foshan, Provinsi Guangdong, China, ketika sebuah mobil melindasnya. Tapi tak ada yang menghiraukannya. Dua mobil dan 18 orang berlalu begitu saja seolah-olah dia hanya sebongkah kayu yang kena tumpahan kesumba merah. Mereka menyingkir seperti menghindari genangan air. Hingga seorang pemulung yang lewat meletakkan karungnya dan membantunya menyingkir dari jalan. Tapi Yue Yue tak lagi bergerak.
Seminggu lebih bertahan di rumah sakit, Yue Yue akhirnya menyerah. Dokter bilang Yue Yue meninggal karena gagal organ. Beberapa hari ini, dunia berharap Yue Yue masih bisa sembuh, meskipun kata dokter dia tetap akan cacat seandainya masih bisa bertahan.
Nak, aku menonton videonya di Youtube dengan kemarahan dan kesedihan yang berbagi rata. Kalau nanti saat kau besar Youtube masih ada dan kau bisa menontonnya, aku yakin kau pun pasti akan marah dan sedih seperti aku. Sesak dadaku, Nak, melihat anak kecil yang sedikit lebih besar dibanding kamu, terkapar menahan sakit dan terabaikan.
Aku tak suka bertanya ada apa dengan manusia. Aku juga tak ingin bertanya ke mana hati nurani, atau ke mana kemanusiaan. Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba menjadi sangat berat sekarang. Dan jawabannya juga bisa jadi seribu kali lebih berat.
Manusia adalah hal yang ajaib. Akan selalu ada orang semacam Chen Xianmei, sang pemulung, orang ke-19 yang lewat yang akhirnya menolong Yue Yue. Tapi kita sendiri, Nak, adakah jaminan kita bisa jadi orang ke-19 itu? Bisa jadi –dan kemungkinannya besar– ketika dihadapkan kepada kondisi seperti itu, kita pun hanya akan bergerombol dalam kelompok 18 orang itu, dalam golongan selemah-lemahnya pejalan.
Ketika bertugas di Aceh saat tsunami tahun 2004, aku sempat merasa berada dalam golongan selemah-lemahnya pejalan itu. Aku hanya datang melihat, mengumpulkan data, mengambil gambar, membuat berita dan lalu mengirimkannya ke kantor di Jakarta. Mayat-mayat berserakan di sekitar kami. Kami menyusuri reruntuhan dan puing tapi yang bisa kami lakukan hanyalah memberi tanda semacam tiang berbendera kecil setiap kali menemukan mayat, agar para relawan dari Palang Merah, TNI, atau Pandu Keadilan bisa segera tahu dan mengurus mereka. Hanya itu.
Tapi sering juga kami sampai pada titik moral yang benar-benar meletihkan. Suatu kali di Calang, kami kembali menyusuri reruntuhan dan memberi tanda. Kota ini benar-benar luluh lantak dihantam tsunami. 90 persen kota hancur, dan dua per tiga penduduk hilang dibawa air bah.
Seperti biasa setelah seharian berkeliling, kami akan kembali ke posko pada senja atau menjelang malam hari. Tak ada penerangan sehingga hal terbaik yang bisa dilakukan adalah segera mencari tempat aman sebelum benar-benar gelap.
Posko kami saat itu adalah sebuah kapal perang TNI yang merapat membawa bantuan di Pantai Calang. Di situlah kami berkumpul dan menggantungkan kebutuhan logistik. Saat mendiskusikan hasil-hasil temuan kami, ada seorang rekan jurnalis yang tampak lebih banyak diam. Teman-teman bertanya karena dia biasanya banyak bicara. Lalu di bercerita. Rupanya ketika berkeliling tadi dia sempat masuk ke sebuah reruntuhan rumah dan merasa melihat sesosok mayat di bawah puing beton. Seperti kebiasaan awal, dia sudah memberi tanda agar relawan bisa menemukannya. Tapi itu dirasanya sangat tidak cukup.
“Itu kayaknya anak kecil, Bos…” katanya bergetar. Dia merasa tak layak membiarkannya di situ begitu saja.
Hari sudah hampir gelap. Dan kami semua terdiam dalam kecamuk pikiran.
Lalu entah siapa yang memulai, sekitar tujuh atau delapan orang dari kami dibantu oleh beberapa orang pasukan TNI turun dari posko dan kembali menyusuri reruntuhan. Tak butuh waktu lama, puing-puing beton itu bisa disingkirkan. Dalam remang cahaya senja kami akhirnya tahu bahwa tubuh itu adalah milik seorang bocah perempuan. Bersamaan dengan datangnya malam, kami menggali tanah berpasir tak jauh dari pantai dan menguburkannya di situ.
Seorang tentara mengumandangkan adzan dan sebagian dari kami menangis.
Itulah, Nak. Tidak mudah menjadi orang ke-19 itu. Kita mungkin akan berpusar-pusar sebagai orang ke-18 sebelum akhirnya moral menuntun kita menjadi orang ke-19. Kita mungkin akan berdarah-darah berdebat dengan hati nurani sendiri sebelum itu sampai. Kita mungkin akan lebam menghitam tapi yang ingin kita tuju tak juga sampai.
Tidak lama lagi, Nak, mungkin di bulan Oktober ini, Bumi akan menyambut penduduk yang ke-7.000.000.000. Yue Yue yang akhirnya pergi hari ini akan selalu mengingatkan kita pada hal ajaib tentang manusia. Bahwa satu angka dari 7 milyar itu bukanlah sekadar hitungan. Bukan sekadar statistik.
Yue Yue akhirnya pergi, Nak. Meninggalkan kita bertarung dengan diri sendiri.
Selamat jalan, Yue Yue. Di surga tidak ada mobil.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023
mengharukan sekali kakOchan, Indonesia bisa jadi menuju ke sana kak, saat maksud ibadah dengan niat pamer, maka zakat seperti perlombaan. hanya beda kemasan saja, hehe.