Jakarta masih banjir. Iya, Anda benar. Dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama masih muncul dengan marah-marah menuding setiap biang kerok ketidakberesan aliran air limbah ibukota.
Toh, Ahok tetap jadi idola warga DKI. Ia tak menuai kemarahan warga, mereka melihat sang gubernur benar-benar bekerja. Perangkat pemerintah yang dipimpinnya terlihat di mana-mana, hadir di setiap sudut kesemrawutan ibukota, menjawab dengan sigap keluhan warga.
Ahok harus sukses mengelola Jakarta. Bukan semata-mata karena di seberang kantornya ada istana yang dihuni presiden bekas tandemnya, yang kepergiannya diantar dengan harapan untuk nanti mempercepat pembenahan kota Jakarta. Bukan juga demi memenuhi ambisi Ahok untuk tetap bertahan di balaikota pada periode jabatan berikutnya. Lebih luas dari itu, Ahok adalah representasi kaum Tionghoa dalam peta perpolitikan Indonesia.
Ahok adalah ikan percobaan yang berenang di akuarium demokrasi negeri ini. Jika tetap sehat sentosa, gesit penuh perbawa, menggeliat dengan lincah, maka ikan-ikan lain akan menyusul untuk ikut berenang di dalamnya. Pabila ia gagal, maka dalam masa yang panjang ke depan, tak sulit orang-orang seperti Ahok disapih dari kompetisi puncak pertarungan politik, bahkan sebelum tokohnya muncul di permukaan. Ahok adalah pertaruhan nasib politisi Tionghoa di kancah politik nasional.
Jalan itu memang lama tertutup, terutama karena absennya keturunan Tionghoa dalam waktu yang lama di arena birokrasi, militer dan politik kita. Mungkin ada yang terselip satu dua wajah, tapi saking langkanya, seorang keturunan Tionghoa yang jadi tentara, polisi pegawai negeri atau kepala daerah akan laris dimunculkan oleh koran dan televisi. Birokrasi, militer dan politik selama ini bukanlah dunia warga Tionghoa. Mereka hanya hadir dan menguasai perekonomian kita.
Berhasil tidaknya Ahok sedikit banyak juga akan berpengaruh ke tingkat kepemimpinan nasional. Saya percaya pada Pemilihan Presiden 2019 nanti, Presiden Jokowi masih akan melenggang ke masa jabatan berikutnya. Tapi saat itu, pesaingnya tidak lagi semata-mata datang dari Jawa, militer dan politisi lawas seperti Prabowo, Sri Sultan Hamengkubuwono X atau Ahmad Heryawan.
Beberapa tahun terakhir setidaknya ada tiga tokoh Tionghoa yang terlihat aktif membangun pondasi dan mulai memancang tiang dan tangga menuju tampuk kepemimpinan nasional. Mereka didukung modal yang besar, jaringan yang kuat, dan tentu saja kemampuan mengelola isu untuk tetap berkisar di antara para bintang.
Yang pertama tentu lelaki pemilik semua zaman, yang selalu bersinar di setiap era, Setya Novanto. Ia sudah berada tak jauh dari target itu ketika ia sukses menduduki jabatan Ketua DPR RI, jabatan dengan mobil dinas berpelat nomor RI 6 — orang penting nomer enam di Republik Indonesia.
Tapi ia kemudian terjungkal oleh skandal Papa Minta Saham. Kini, Setya Novanto kembali mencoba memanjat tangga impiannya lewat jabatan lain sebagai calon kuat Ketua Umum Partai Golkar.
Tokoh kedua malah sudah tak sabar menyembunyikan niatnya. Di sejumlah tempat di Jakarta, ia telah tampil di papan reklame raksasa bersama sang istri dengan pose pemimpin negara yang bijaksana. Dialah pengusaha bos Grup MNC berusia 50 tahun, Hary Tanoesoedibjo.
Ia pernah mendeklarasikan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto saat masih jadi salah satu pemimpin Partai Hanura. Sebelumnya, ia juga aktif di Partai Nasdem, organisasi masyarakat yang kemudian menjelma jadi partai. Dan sekarang, Hary Tanoe memilih jalan sendiri dengan mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sekaligus menjadi Ketua Umum. Tak lama setelah menduduki jabatan puncak partai, ia menyatakan diri sebagai kandidat presiden untuk suksesi 2019.
Tokoh ketiga masih bergerak malu-malu, membungkus rapat-rapat niatnya dengan jor-joran di kegiatan amal. Dialah bos Mayapada, Dato’ Tahir. Hampir setiap momen hidup lelaki 63 tahun ini muncul dalam bentuk iklan pariwara besar di koran-koran: menerima gelar profesor, ulang tahun, ucapan terima kasih sejawat dan lain-lain.
Ia orang terkaya nomer duabelas di Indonesia. Menantu bos Lippo, Muchtar Riyadi ini menggelontorkan triliunan rupiah untuk kegiatan sosial dan filantropi lainnya, dari bis-bis untuk jalanan Jakarta, beasiswa olahraga sampai kesehatan. Ia juga pernah berebut kendali dengan pengusaha Kiki Barki atas paguyuban pengusaha Tionghoa Indonesia. Saat ini, Tahir mendaulat dirinya sebagai pemimpin tertinggi pengusaha keturunan di Indonesia.
Selain mereka saya tak melihat kandidat dari kalangan Tionghoa Indonesia lainnya, yang terang-terangan atau yang masih malu-malu kucing. Mungkin mereka tak benar-benar akan tercantum di kertas-kertas suara kelak di pemilihan presiden berikut, tapi mereka hadir untuk memberi wacana: orang-orang Tionghoa juga adalah pemilik sah negeri ini dan layak bertarung merebut tahta puncak kekuasaan.
Karena itulah, Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tak boleh gagal memimpin ibukota. Dan saya mendukungnya. Dia gubernur saya.
— GILI TRAWANGAN, 28 Februari 2016
- Jagat Raya dari Kursi Roda - 08/01/2017
- Iwan - 27/04/2016
- Air Mata Tintin - 27/03/2016