Upaya-upaya Menahan Tua

Mari hidup tenang, tak usah meladeni semua issue-issue viral; si mantan yang mendekat ke incumbent, si pangeran cendana kembali ke panggung politik, sebaran hoax kelompok agamis cyber army, dan sebagainya. “Kita sudah berumur, pengen hidup santai saja”. Itu kata seorang kawan di salah satu group sosmed ketika dipancing untuk membahas hal-hal berat ini. Kemudian diskusi meluruh ke tema lain, atau kemudian senyap.

Sejarah konflik antar manusia sejatinya adalah soal ketahanan mengelola wacana perlawanan. Sekira salah satu pihak saja kendor semangatnya atau lelah karena tekanan, maka pihak seberangnya akan mengambil alih kuasa. Ini soal kepentingan yang hendak dilestarikan. Tidak ada soal lain.
Matthias Krenz, anak muda asal Jerman yang baru berusia 28 tahun dari Jerman juga punya agenda perlawanan. Lulusan Biologi yang pernah menetap dan mengembangkan usaha di Ubud Bali ini memilih lawan yang tak main-main; penuaan. Melalui inisiatif yang dia namakan “Human Immortality Project” – Proyek Keabadian Umat, ia hendak melanggengkan kehidupan manusia. Katanya dalam situs Indiegogo, situs untuk melangsir donasi publik, penuaan bukanlah hal yang pasti. Ia bisa dilawan, atau tepatnya dikontrol. Motto inisiatif ini keren adanya; Live forever or die trying. Hidup selamanya atau mati selagi mencoba untuk melawan maut.

Apa yang diperkenalkan Krenz sejatinya bukan upaya baru. Sejak ribuan tahun, para raja dan mereka yang hendak melestarikan kekuasaan, juga kenikmatan hidupnya, berupaya untuk mencari obat mujarab agar bisa hidup selamanya. Namun semua gagal, kecuali beberapa nama yang “konon” mampu hidup sampai saat ini. Mereka yang konon bisa hidup lestari itu, sebutlah misalnya Iblis dan Khidir, hanya disebut dalam kitab-kitab agama, yang tentu saja juga dirimbuni banyak tafsiran. Masyarakat dunia barat yang dijejali dengan pemikiran berbasis empirisme tentu tak percaya soal itu.

BACA:  Ayah, Di mana Waktumu?

Upaya-upaya menahan tua ini rupanya juga diamini oleh Google. Perusahaan adidaya berbasis internet ini punya inisiatif lain yang senafas dengan Krenz. Direktur Rekayasa Google, Ray Kurzweil percaya bahwa sebentar lagi umat manusia akan menuju keabadian. “Tak kurang dari satu dekade lagi, kita akan menapak ke satu titik di mana kita akan hidup kekal selamanya” begitu janjinya seperti dikutip di Harian Express setahun silam. Mulai di tahun 2029, sambungnya, perkembangan teknologi medis akan memperbaharui harapan hidup Anda setiap tahunnya. Kedengarannya keren, betapa sains dan teknologi mulai dipakai untuk meningkatkan taraf hidup umat.

Di Rusia, Dmitry Itskov, seorang pengusaha juga turut mengambil peran untuk mengabadikan kehidupan umat. Lewat program “Inisiatif 2045” nya, ia meluncurkan upaya yang disebutnya akan memudahkan umat menuju keabadian. Tujuan Inisiatif 2045 ini adalah mengembangkan teknologi yang mampu mengalihkan kehidupan personal umat ke bentuk non-biological carrier yang lebih lanjut. Di Wikipedia, ia disebutkan mengembangkan empat prototype Avatar yang pada akhirnya akan melestarikan kehidupan manusia. Tentu saja agak membingungkan ketika ia berangan-angan memindahkan tubuh manusia menjadi semacam robot atau hologram. Tapi upaya membuat manusia menjadi kekal tentu tetap sangat menarik.

Teknologi memperpanjang usia ini tentu bukan photoshop atau kosmetik artis yang seketika mengubah wajah Anda menjadi kinclong dan lebih muda belasan tahun. Tapi ini betul-betul soal menahan laju kematian atau penuaan sel-sel tubuh yang membuat badan semakin ringkih. Jadi Anda tak perlu nanti berpayah-payah berkamuflase mengedit wajah sedemikian rupa agar tetap terlihat segar dan muda meski umur sudah diambang sore.

BACA:  Mantra Maher

Itulah keyakinan para “jihadis” versi barat itu. Mereka berkutat menghabiskan waktu, tenaga dan uangnya untuk menemukan upaya memperpanjang kehidupan manusia, dalam pengertian yang literalis; tak mati-mati. Ini sejalan dengan semakin dihindarinya jalan kekerasan dalam mengatasi konflik di negeri-negeri yang tergolong maju itu. Di dunia timur, keabadian mungkin ditafsirkan dalam bentuk lain.

Di peradaban Timur yang lebih spritualis, hasrat memperpanjang umur sejatinya juga bisa dipandang sebagai konsep yang bernuansa filosofis. Bahwa bukan usia fisik manusia yang panjang hingga melampaui berbagai generasi, tetapi nama atau jasa yang dikenang-kenang hingga ratusan tahun kemudian. Ini yang sering kita ketahui dari beragam cerita tentang pembesar istana atau tokoh terkenal menghasilkan sesuatu karya atau perbuatan yang spektakuler yang tak akan lekang oleh zaman; monumen atau patung raksasa, karya sastra atau seni adiluhung (masterpiece).

==

Kembali ke sosmed, maka saya sangat salut ke teman-teman yang masih punya ketahanan lebih untuk terjun di wacana-wacana pertentangan. Kekerasan verbal atau fisik kadang ikut menyertai diskusi-diskusi riuh ini.
Satu wacana yang viral – kadang tanpa menunggu klarifikasi yang bersangkutan, segera sahut menyahut.
Polarisasi opini yang dibentuk sejak pilpres 2014, antar kubu kampret dan kubu cebong – dua julukan yang sama lucunya, membuat segala sesuatunya menjadi ajang perang.
Bagi yang masih punya semangat ekstra, tentu ini lahan yang asik untuk menjaga “idealism”. Padahal, mungkin di ujung akhir, tidak banyak ada kesepahaman. Alih-alih perubahan isi kepala, konflik malah semakin tajam terasah. Social media menjadi horor bagi silaturahim. Ini berlaku bagi mereka yang memang hidupnya penuh dengan semagat kejuangan meneruskan konflik.

BACA:  Martin Aleida dan Para Korban Ketidakadilan

Ini seperti anakronis, di belahan dunia lain orang-orang ramai mendamaikan dan bersama-sama mencari cara agar hidup berkepanjangan. Sementara, di dunia maya, di sekitar kita banyak orang yang mendoakan lawan diskusinya segera modar atau hilang dari layar monitornya.

Tapi itu semua pilihan. Kehidupan Anda adalah milik Anda sendiri.

Muhammad Ruslailang
Latest posts by Muhammad Ruslailang (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga