Totto-chan dan Desertir PAUD

totto chan

Akhirnya aku lupa, kapan kamu terakhir berangkat ke sekolah. Sudah lama sekali, rupanya. Desertir PAUD. Itulah kamu, Nak. Setiap pagi kita melihat teman-temanmu lewat di depan rumah, diantar orangtua masing-masing dengan baju seragamnya yang merah muda. Dan kamu tak peduli. Kamu sudah cukup senang dengan dua buah lagu yang kamu hapal selama menuntut ilmu beberapa bulan di sekolah untuk anak usia dini itu. Sekolah yang menjadikanmu seolah-olah alumni STPDN karena belajarnya di aula kantor kelurahan.

Guru-gurumu yang kebetulan bertemu di pasar atau di jalan sudah sering menanyakan, “Kenapa River tidak sekolah lagi?”.

Dan selalu kami jawab, “Capek.” Padahal yang sering kamu bilang sebenarnya adalah “Bosan.” Tentu itu hanya jadi bahan tertawaan bagiku dan ibumu. Umurmu baru 3 tahun, dan kami tak yakin konsep bosan yang kamu maksud sama seperti yang kami tahu.

Tidak masalah bagi kami, Nak. Sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) itu bagi kami juga hanya hiburan belaka. Kalau kamu senang, ayo berangkat. Kalau kamu sedang malas bangun, boleh tidur lagi. Ibumu sudah memutuskan berhenti bekerja sejak kamu lahir, mengkhidmatkan dirinya untukmu. Dan itulah sekolah usia dini terbaik bagimu. Sisanya hanya optional.

BACA:  Didiklah Ayahmu Sejak Kau Masih Dalam Kandungan

Oya, aku akan ceritakan untukmu cerita tentang seorang anak kecil bernama Totto-chan. Totto-chan tidak mogok sekolah, tapi dikeluarkan. Totto-chan dianggap nakal, karena ia sering nangkring di jendela kelas pada saat pelajaran berlangsung. Ia juga sering memanggil tukang-tukang jualan yang lewat dan membuat teman-temannya yang lain merasa terganggu. Guru-gurunya pun tak tahan lagi. Totto-chan harus mencari sekolah lain.

Ibu Totto-chan pun lalu memasukkan Totto-chan ke sekolah Tomoe Gakuen. Di sekolah yang kelasnya dibangun dari gerbong kereta api ini, Totto-chan bertemu dengan Pak Sosaku Kobayashi. Totto-chan senang bukan main. Pak Kobayashi memperbolehkan Totto-chan dan teman-temannya belajar sesuka hati. Di kelas gerbong itu, mereka boleh menikmati pemandangan di luar selayaknya orang yang sedang dalam perjalanan.

Para murid juga boleh belajar apa pun sesuai keinginan mereka, tak perlu taat pada roster seperti di sekolah-sekolah lain. Yang mau menggambar, boleh menggambar duluan. Yang mau belajar bahasa, boleh belajar bahasa duluan. Pokoknya bebas. Tapi justru dari kebebasan itu Totto-chan belajar menghargai perbedaan, sembari menikmati persahabatan.

Namun, kegembiraan Totto-chan Tomoe Gakuen tidak lama. Saat itu perang sedang ganas-ganasnya. Tomoe Gakuen hancur terkena bom, dan tak pernah lagi dibangun.

BACA:  Anjing dalam Diri Kita

River, kisah Totto-chan dan sekolahnya ini aku baca di buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi. Tetsuko yang bekerja di UNICEF adalah si Totto-chan di masa lalu. Aslinya buku ini terbit pertama kali di Jepang pada tahun 1981 dengan judul Madogiwa no Totto-chan. Penerbitnya Kodansha Publishers Ltd. Aku tak punya edisi awal ini. Tapi aku punya edisi Indonesia yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2003. Judulnya Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela.

Besok kalau kamu sudah bisa baca, carilah buku itu di rak buku kita, Nak.
Baca baik-baik. Niscaya kamu akan paham bahwa belajar itu selayaknya dengan gembira. Dengan senang. Meskipun untuk itu –bila kamu jadi orangtua– kamu harus membiarkan anak-anakmu desersi dari PAUD. 🙂

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga