Tidak Tahu Bedanya Simpati dan Empati, Bisa Berujung Keretakan Rumah Tangga

Kita sering mendengar orang mengucapkan kata simpati dan empati.
Misalnya: “Saya bersimpati atas peristiwa yang menimpamu.”
“Coba dong, berempatilah sedikit! Bayangkan kalau kamu yang mengalaminya?”

Namun sebenarnya apa arti kata simpati dan empati itu? Dan apa pula perbedaannya?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan simpati sebagai: 1. rasa kasih; rasa setuju (kepada); rasa suka; 2. keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dan sebagainya) orang lain.
Sedangkan empati adalah istilah psikologi yang berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Penjelasan yang cukup panjang tapi sebenarnya masih membingungkan. Lalu bedanya apa?

Menurut Onong Uchjana Effendy dalam buku Dinamika Komunikasi, empati (emphaty) adalah kemampuan memproyeksikan diri kepada orang lain. Dengan lain perkataan, empati adalah kemampuan menghayati perasaan orang lain atau merasakan sesuatu yang dirasakan orang lain.

Dalam sebuah artikel berjudul “Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik” yang dimuat di Jurnal Komunika, dosen Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ade Masturi, mengutip penjelasan Roberts Brooks dan Sam Goldstein di buku The Power of Resilience.
Bahwa empati didefinisikan sebagai kemampuan atau kecakapan untuk mengidentifikasi atau memahami–dengan cara seolah mengalami sendiri–perasaan, pikiran, atau sikap orang lain. Empati dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan seperti ”berjalan dengan memakai sepatu orang lain” atau ”memandang dunia melalui mata orang lain”.

BACA:  Siap Bertarung, Presiden Jokowi Berlatih Memanah. Ini Hasil Bidikannya!

Intinya, berkomunikasi dengan empati -bukan hanya simpati, adalah kunci penting komunikasi yang efektif.

Daniel Goleman menggambarkan empati sebagai sebuah ciri penting dari kecerdasan emosional dan itu dapat dipelajari. Empati tidak berarti bahwa seseorang setuju dengan orang lain, tetapi semata menunjukkan bahwa seseorang menghargai dan mendukung sudut pandang orang itu.

Sementara menurut De Vito, empati memungkinkan Anda untuk memahami secara emosional dan intelektual mengenai sesuatu yang sedang dialami orang lain. Empati tidak akan terlalu bermakna jika Anda tidak mampu mengomunikasikan pemahaman empatik ini kembali kepada orang lain tersebut.
Pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat membandingkan pengertian itu dengan simpati. Menurut Jalaluddin, ketika bersimpati, kita menempatkan diri secara imajinatif pada posisi orang lain. Sementara dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Kita justru ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain. Berempati artinya membayangkan diri pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan empati, seseorang berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya.

Kalau masih bingung juga, ilustrasi ini mungkin bisa menjelaskan perbedaannya, sekaligus menunjukkan mengapa empati lebih penting daripada sekadar simpati. Kisah ini adalah pengalaman pribadi Milton J. Bennet yang ceritakan dalam bukunya Overcoming the Golden Rule: Sympathy and Emphaty (1979). Versi ini diterjemahkan oleh Jalaluddin Rakhmat di buku Psikologi Komunikasi (Rosda Karya-Bandung, 1999).

BACA:  Cara Membuat Sop Ubi dan Menikmatinya Seperti Nigella Lawson

Aku dan istriku telah menemukan bahwa perbedaan simpati dengan empati sangat menentukan dalam komunikasi yang menyangkut hubungan (interpersonal). Sebagai contoh adalah pengalaman kami dalam berhubungan satu sama lain ketika sakit. Bila sakit, aku ingin ditinggalkan sendirian (mungkin lebih baik menanggung derita dengan tabah). Bila istriku sakit, ia ingin diperhatikan betul (mungkin makin lebih menyenanginya).
Ketika kami baru menikah, aku ungkapkan simpatiku pada istriku dengan meninggalkannya sendirian. Tentu saja, ia akan bersimpati padaku, ketika aku sakit, dengan menanyakan apa perasaanku kira-kira 10 menit sekali.
Setelah bertahun-tahun kebingungan mengapa kami jengkel ketika kami sakit, kami menemukan bahwa kami mempunyai ekspektasi yang berbeda bagaimana sepatutnya yang sakit dilayani. Kami sekarang berusaha berempati, dan bukan bersimpati, dengan membayangkan pengalaman orang lain ketika sakit, kami memperlakukan orang lain berbeda dari cara kami memperlakukan diri kami.”

Leave a Reply

Silakan dibaca juga