The Things You Won’t Regret

Tidak sampai satu bulan ke depan, saya akan semakin merasa bertambah tua 😀 Anak pertama kami akan menginjak usia 17, sudah layak memiliki KTP dan sudah boleh belajar menyetir. 17 tahun yang epik, belum tiba pada pencapaian yang luar biasa tapi sudah luar biasa memberi saya banyak pengalaman dan pelajaran. Punya banyak anak adalah satu dari sekian impian saya, impian besar seorang bocah perempuan kuper yang dulunya selalu kesepian karena harus bermain sendiri dan bicara sering pada mainannya. Gambaran ideal tentang persaudaraan selalu memenuhi benak saya, bahwa suatu hari saya akan melihat dan mengalaminya di rumah saya sendiri.

Impian itu sudah terwujud, Maha Baik Allah 🙂 Dilengkapkan dengan kehadiran 1 anak perempuan dan 3 anak laki-laki yang selalu meninggalkan jejak-jejak mereka di seputar rumah, entahkah itu berupa kepingan lego yang berceceran, buku-buku berserakan, potongan kertas, bungkus permen, remah-remah kue, kabel charger yang dirusak ujungnya, remote tv dipreteli…

Selamat tinggal sepi, selamat datang hari-hari penuh adrenalin haha… Setiap tahun berganti, tantangan yang harus dihadapi juga meningkat ke level yang berbeda. Masa-masa mengganti popok dan bangun tengah malam menyusui bayi kini boleh jadi bahan tertawaan saat rumpi dengan sesama mamah-mamah muda.

Tidak ada lagi urusan kejar-kejaran saat jam mandi tiba atau harus keliling kompleks dua kali pagi dan sore sambil bawa-bawa piring makan si kecil yang malas banget mengunyah :)) Kini mereka yang dulu harus digendong kemana-mana, sudah pandai pergi bersama temannya dan kalau boleh mami harap jangan tanya akan ke mana dan mau bikin apa. Yang dulu sering langsung menjerit panik saat ibunya melambaikan tangan, kini kadang ‘nyelonong’ begitu saja seakan tak menyadari kehadiran si ibu yang sudah menunggu di pintu hendak memberi ciuman. Yang ponselnya kini diberi password padahal rasanya belum berapa lama berlalu saat mereka masih anak-anak kecil yang lucu dan polos yang mempercayakan segala sesuatunya hanya pada ibu.

Jangan baper, Mak 😀 Bukankah sebagian besar yang kita alami ini adalah refleksi dari siapa dan bagaimana kita yang dulu? Ketika anak berbohong, refleks jadi ingat dosa-dosa kecil yang kita lakukan ke orang tua dulu. Bilangnya pergi belajar kelompok, padahal nongkrong di bioskop. Nilai ulangan jelek, kalau bisa diumpetin di sudut mana, ditumpuk banyak buku, hingga nanti kalau ketahuan sudah terlalu basi untuk dibahas.

Saat si kakak mulai berani membantah, tensi otomatis naik, harga diri sebagai orang tua terasa terusik, tapi kok sebenarnya lebih mirip kena tampar di pipi sendiri ya? Ingat dulu pernah ada masanya suka membantah si Mamak, owh jadi begini toh pahitnya kalau dibantah anak sendiri :’)

Seiring waktu, si kakak meninggalkan kecomelannya, kemeja mesti licin, rambut kaku akibat tren pomade, wangi parfum tercium memenuhi kamar, dan si kakak menolak diantar jemput, menghindar tiap diajak dalam kegiatan keluarga, tanda-tanda pubertas terlihat jelas tapi si ibu malah khawatir dan berpikir aneh-aneh: ini mungkin tanda-tanda pergaulan yang salah jalan : seperti yang ramai diperdebatkan orang di media sosial 😀

Bukan karena kebanyakan ibu adalah perempuan yang penuh prasangka, tapi begitulah jika lelah fisik dipadukan dengan banyak pikiran plus seringnya ‘tersesat’ membaca berita-berita hoax dan broadcast tak jelas 😀

BACA:  Jadi "Anak Desa" di Scientia Square Park

Di luar semua itu, kalaulah mau dipahami baik-baik, secerewet-cerewetnya seorang Ibu, se-‘nggak asiknya’ aturan-aturan yang ia buat, se-paranoid apapun ia terlihat menghadapi dunia dan isinya yang semakin aneh ini, kesemuanya itu semata-mata karena ia ingin anak-anaknya terlindungi.

Kesannya galak, sok disiplin, ke belakang-belakang ini mirip mamah Dedeh kalau berceramah soal pentingnya akhlak dan agama, tapi sebenarnya ibu itu hanyalah perempuan yang sangat penyayang yang kedalaman hatinya sungguh tak terukur. Ia tegas tapi kadang rela membiarkan dirinya terlihat lemah ketika harus berkompromi dengan perasaannya sendiri. Contohnya, kadang kalau anak lagi bandel, saya beri hukuman nggak dapat uang jajan 3 hari. Jangankan 3 hari, besoknya pas akan berangkat ke sekolah, sambil pura-pura lupa sama omongan sendiri, saya selipkan uang ke kantong baju si kecil. Dan si papi nanti akan berkomentar begini, kamu tuh labil, ya? Pantes anaknya nggak kapok, secara tahu ibunya ndak konsisten :’D

Ah, si mamah labil ini cuma khawatir, nanti kalau si adek lapar bagaimana? :'(

Seorang Ayah mungkin susah mengerti mengapa perempuan yang dinikahinya sedemikian sering meributkan soal kedisiplinan dan keteraturan, lalu hanya butuh hitungan menit perempuan ini bisa berkompromi dan setuju gencatan senjata apalagi kalau yang dihadapi adalah anak bungsu haha..

Ketika anak minta dibelikan sesuatu lalu ia spontan berujar pelit, ‘Mahal!’, padahal setelahnya diam-diam si ibu menyisihkan uang belanjanya untuk bisa membelikan barang itu demi melihat senyum di wajah anaknya.

Jika anak sakit, tak jarang saking terbawa perasaannya tak sadar meminta dalam hati agar ia bisa menggantikan rasa sakit yang diderita si anak, padahal jika si ibu yang sakit justru kekacauan yang lebih besar akan melanda rumah tangga 😀 Itulah mungkin mengapa, di banyak rumah dapat ditemukan seorang ibu yang ke pasar, memasak, menyiapkan makanan seorang diri, tapi makan paling akhir setelah seisi penghuni rumah selesai makan, yang kadang menyisakan menu yang paling tidak populer, atau seringnya malah si Ibu mau tak mau harus makan dari piring si adek yang masih bersisa. Dan setelah semua anggota keluarga bubar, si ibu pun tertinggal di dapur sendirian mengerjakan cucian piring sementara yang lain sudah sibuk rebutan remote tv di ruang keluarga 😀

Intinya, kebahagiaan seisi rumah adalah kebahagiaan seorang ibu, meski kadang bayarannya adalah lelah fisik yang berlebihan, harapan bercampur kekhawatiran yang saling terbelit seperti benang kusut, penampilan diri yang terabaikan, daster-daster lusuh dan menipis jadi pakaian kebesaran yang paling nyaman haha… Salut dan toss untuk perempuan-perempuan yang akhirnya mampu memberi lebih banyak daripada meminta 🙂 Yang sanggup menggeser prioritas pribadi semacam hura-hura dengan teman demi menemani anak di rumah mengerjakan peer. Atau yang menekan banyak keinginan diri -seperti istilah teman saya-, demi kemaslahatan rumah tangga 😀

Manakala saya lelah, manakala tanpa sengaja terlontar keluhan yang tercemari oleh ketidakrelaan, manakala impian-impian masa muda dulu terbayang-bayang dan jika dihubung-hubungkan dengan kenyataan saat ini, saya dengan mudahnya menemukan kambing hitam dari penyebab impian-impian saya yang kandas.

BACA:  Itu Apa?

Manakala dunia serasa tidak berpihak pada perempuan yang kegiatan sehari-harinya ‘cuma’ terpusat di wilayah dapur dan urusan sapu, cuci, seterika, antar jemput anak sekolah.

Manakala galau menulari diri sehabis melihat persaingan yang tidak sehat tapi tampak sangat nyata antara teman-teman yang ibu pekerja dan ibu yang menghabiskan seluruh waktunya untuk keluarga. Yang masing-masing sibuk mengukur siapa yang paling baik, benar dan banyak pahalanya, saya coba bertanya baik-baik pada diri sendiri.

Apakah saya pernah dengan terpaksa memilih pilihan ini?

Apakah saya benar merasa repot harus membesarkan anak dengan tangan sendiri?

Apakah saya sebenarnya butuh dibantu asisten rumah tangga atau supir pribadi alih-alih saya sok kuat mengerjakan segala sesuatunya sendiri?

Apakah benar saya tidak bahagia karena ‘cuma’ menjadi perempuan yang melayani orang-orang yang saya kasihi?

Apakah karena saya tak punya waktu ‘hang out’ bersama teman lantas hidup saya mendadak kurang keren?

Apakah karena pilihan orang lain yang hidupnya terlihat begitu enak yang berbeda dengan pilihan saya, lantas saya boleh menyimpulkan bahwa saya perempuan yang tidak beruntung?

Jawabannya tidak, tidak dan tidak. Saya ingin begini, seperti ini, saya memilih peran ini dan semestinya saya mampu karena saya menginginkannya.

Keluhan hanya pelampiasan keletihan seorang manusia yang sangat manusiawi tapi tidak harus mengendap menjadi penyesalan. Hidup dan pilihan orang lain pun, sebagaimanapun sempurna kelihatannya, harusnya bisa menjadi cermin belajar bukan mata pisau yang melukai hati dan kehidupan sendiri.

Lalu ingatan yang kuat tentang apa yang sudah saya terima dari ibu saya sendiri, perempuan yang tidak melahirkan saya tapi membesarkan saya dengan tangannya sejak saya masih bayi, membuat segalanya pelan-pelan menjadi terang kembali. Saya kuat sebab ibu telah memberi bekal yang saya butuhkan lebih dari cukup.

Setiap ibu memiliki keunikan yang berbeda, perangai yang tak sama tapi insha Allah mereka datang untuk mengajarkanmu tentang cinta yang meniadakan semua syarat.

Ibu saya tak berpendidikan tinggi, tak pernah mampu membahas agama secara detail dan bagaimana sebaiknya mencapai kesuksesan dunia akhirat secara berimbang, tapi beliau telah mencukupkan apa yang saya butuhkan sebagai anak dengan kehadirannya, perbuatan-perbuatan kecilnya yang jika dikenang kini mampu melelehkan air mata, kesetiaannya pada hidup yang tak selalu mudah, sabar dan diamnya walaupun ia kerap diabaikan dan tak didengarkan, bahkan bisikannya di telinga saya tiap kali saya akan jatuh tertidur sewaktu kecil dulu; tuo malampe’ sunge’nu, Nak… (Semoga panjang umur, Nak).

Beliau bukan perempuan yang di rahimnya saya pernah hidup, tapi tengoklah saya telah tiba di hari ini mungkin bukan sebagai siapa-siapa tapi cukup bertahan dengan rasa syukur yang melimpah. Saya takkan pernah bisa menjadi seperti beliau betapapun saya ingin, tapi saya bisa menjadi ibu dengan versi saya sendiri dengan kekurangan ini-itu yang kadang membuat frustasi, tapi tetap mencoba semangat berjuang dengan teladan yang beliau tinggalkan. Dan semestinya semua ibu bisa dengan apapun yang mereka punya, dengan cara apapun yang mereka mampu.

Mungkin butuh bertahun-tahun dari hari ini, ketika orang-orang yang kita sayangi ‘melihat’ dan ‘mengakui’ setiap hal kecil yang kita lakukan dengan tekun. Peluk hangat untuk semua perempuan di luar sana, yang tengah bertarung memenangkan peperangannya sendiri.

BACA:  Ini Antar Kita Saja

Entahkah itu ibu yang harus terpisah jarak dan waktu dengan keluarga dan anak-anaknya karena kondisi ekonomi. Entahkah yang diberi ujian kesabaran dengan anak-anak yang lahir berkebutuhan khusus, sebagian lagi yang dituntut untuk bisa ‘sangat perkasa’ sebab si ayah tak punya cukup waktu mendampingi dan memenuhi perannya dalam rumah tangga karena sibuk menjunjung karir sehingga si ibu harus jungkir balik memikirkan cara mengisi ketidakhadiran si ayah supaya anak-anak tetap tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia. Yang mungkin telah ditinggalkan oleh pasangannya, entah hidup ataupun dalam keadaan mati, tetapi tetap sekuat tenaga memelihara dan mengusahakan harapan yang terbaik untuk anak-anaknya. Yang tanpa lelah menjaga kesetiaan dan hatinya meski cobaan membebani dengan sedemikian berat dan memilih menangis ataupun menyerah sebagai pilihan terakhir yang akan dilakukannya.

Suatu hari, mungkin berbelas tahun dari hari ini… Ada sore yang romantis, secangkir teh hangat dan beberapa keping kue manis tersaji di sampingmu, satu per satu anakmu datang mengecup keningmu bergantian, mengelus lembut punggung tanganmu yang dipenuhi keriput. Dan kau masih sanggup membaca mata mereka yang nyata dipenuhi rindu, bergantian mereka bercerita tentang hidup mereka yang berlimpah kebaikan, pasangan hidup yang pengertian, anak-anak yang lucu dan cerdas, pekerjaan yang menyenangkan, hanya demi memukaumu, demi membuatmu percaya itu semua terjadi karena kau ada.

Ah, mungkin satu atau dua dari mereka kelak tak sehebat kakak-kakaknya, tapi kau selalu ingat, apapun mereka, bagaimanapun mereka, betapapun mereka mungkin tak mampu mencapai segala impian yang kau pernah inginkan terjadi pada mereka, mereka tak perlu takut sebab kau mengukur segalanya hanya dengan kasih sayang.

Kau seorang ibu, yang memaafkan terlalu sering, yang mengerti sekian banyak dan akan menerima segala kemungkinan terburuk sekalipun sepanjang kau bisa melihat mereka di matamu.

Hatimu terlalu luas dan dalam, kau yang entah bagaimana selalu punya kemampuan melarutkan kesedihan dan kekecewaan menjadi harapan.

Kau yang lebih dekat dari siapapun kepada Tuhan yang Maha Memelihara, itu mungkin sebabnya doamu selalu akan menjadi catatan yang didahulukan. Itu mungkin mengapa dalam kitab suci disebutkan kebahagiaanmu akan berbalas surga.

Ya, hari itu akan tiba. Hari di mana kau sudah melakukan yang terbaik yang kau bisa sebagai seorang ibu, hal-hal yang tak akan pernah kau sesali 🙂

Mimi Hilzah
Latest posts by Mimi Hilzah (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga