Kadang dipeluk, kadang diduduki. Tapi lebih sering termos itu dia letakkan di sampingnya. Dan selama jam istirahat main itu dia akan duduk bersandar dekat pintu, pada tembok kelas yang sebagian semennya sudah terkelupas. Dia dengan senang hati menunggu teman-teman yang kehausan menghampirinya. Lalu dia akan membuka termosnya, dan memperlihatkan potongan-potongan es dalam berbagai bentuk.
Harganya Rp.25 sampai Rp.50, dan kami boleh pilih sesuka hati. Paling banyak es yang berbentuk batangan lonjong, seperti es loli atau mambo yang dijual di kota. Itulah es yang paling laku. Uang hasil penjualan dia taruh di tempat khusus. Bila pegangan pada penutup termos diputar, di bawahnya akan terlihat sebuah rongga. Di situlah dia menyimpan uang.
Dia sendiri nyaris tidak pernah ikut bermain bersama kami. Dia hanya akan meninggalkan termosnya bila teman-teman tak sengaja menendang bola ke arahnya. Dia akan mengembalikan bola itu ke lapangan sambil tersenyum dan berlagak seolah dia penjaga gawang. Dalam beberapa waktu yang sial, pernah sandalnya putus saat mencoba menendang bola kembali ke lapangan. Dan teman-teman menertawainya. Begitulah dia. Kami mengenalnya sebagai penjual es Bu Guru. Es-es dalam termos itu memang milik Bu Guru.
Sekolah kami kecil saja. Muridnya pun tak banyak. Satu kelas hanya berisi 20-an orang. Ini memang hanya sebuah sekolah dasar negeri di kampung yang tak tercantum dalam peta. Beberapa kakak kelas sering berkelakar, bahkan Depdikbud pun tak tahu sekolah ini ada. Muridnya anak-anak buruh tani, pembuat batu bata, beberapa orang anak guru dan anak PNS seperti aku. Kami datang ke sekolah bersepatu atau bersandal jepit. Setiap hari, kami bergantian mengambil air di sumur di belakang sekolah untuk menyiram lantai tanah agar debunya tidak beterbangan saat kami belajar.
Namun, meski begitu, prestasi sekolahku ini lumayan. Setiap tahun SD kami langganan juara cerdas cermat dan galah-asin di kota kecamatan. Cerdas-cermat adalah semacam kuis yang menguji pengetahuan pesertanya tentang pelajaran sekolah dan pengetahuan umum, sedangkan galah-asin itu semacam permainan petak-umpet –yang bagusnya– kita tidak perlu ngumpet.
Dengan segala keterbatasan itu, kami semua bisa belajar dengan baik. Guru-guru datang mengendarai motor, naik becak, atau berjalan kaki. Jam 7 pagi kami mengikuti upacara, atau senam pagi dan SKJ pada hari-hari selain Senin. Setelah itu belajar 4 atau 5 bidang studi yang diselingi dua kali waktu istirahat. Semua normal belaka, seperti di sekolah lain. Bedanya, di sekolah lain mungkin tak ada guru yang menjual es dan seorang murid yang harus menjaganya di waktu jam istirahat.
Dulu aku pikir semua guru adalah orang kaya, atau setidaknya tidak miskin. Dan entah kenapa juga aku terjebak mengasosiasi orang yang menjual es adalah orang miskin. Mungkin karena kami pernah punya tetangga yang berjualan es mambo, dan di mataku hidupnya tampak melarat.
Hingga pada suatu hari, aku menemani seorang teman yang ditugaskan mengambil sesuatu ke rumah Bu Guru ini. Aku lupa apa, mungkin buku pelajaran atau buku absensi yang tertinggal. Tempat tinggalnya rumah petak sederhana di dalam gang. Di situ kami disambut oleh seorang anak kecil, dan beberapa termos es.
Dan pulang dari situ, aku tidak lagi melihat dia sebagai seorang guru, melainkan seorang ibu yang berjuang. Tiba-tiba aku merasa melihat dia setiap malam terbungkuk-bungkuk mengisi plastik-plastik pembungkus es sebelum memasukkannya ke dalam kulkas. Aku merasa melihat dia setiap pagi berjalan kaki dari rumahnya ke sekolah, berbaju dinas menenteng sendiri dua termos es yang akan dijualnya. Aku merasa melihat dia –dalam malam-malamnya yang lelah setelah mengajar– menghitung berapa hasil penjualannya hari itu dan anak-anaknya yang masih kecil mengelilinginya penuh rasa ingin tahu apakah itu cukup untuk membeli mainan impian.
==
Pada suatu hari, sekolah kami kedatangan tamu. Mereka membawa bingkisan untuk dibagi-bagi. Lalu dikumpulkanlah kami semua, dan diberi tahu bahwa tidak semuanya bisa menerima bingkisan. Bingkisan itu hanya untuk murid-murid tertentu. Tak lama setelah itu beberapa orang temanku dan murid lain dari SD Inpres yang satu lokasi dengan sekolah kami, mulai berbaris. Lalu Kepala Sekolah mengumumkan siapa saja di antara mereka yang orang tuanya miskin atau yatim piatu. Temanku yang penjual es Bu Guru itu, untuk sementara waktu meninggalkan termosnya, dan ikut juga berbaris.
Aku tidak pernah tahu apa isi bingkisan hadiah itu. Terbungkus rapi dengan kertas kado dan tampak cukup besar dalam pegangan anak-anak kecil usia SD. Kami yang tidak kebagian hadiah tidak berani bertanya. Aku berharap di dalamnya ada sepatu. Aku pernah mendengar, temanku penjaga termos Bu Guru itu mendapat upah beberapa ratus rupiah dari Bu Guru setiap kali membantu menjualkan es di waktu istirahat.
Mungkin dia ingin membeli sepatu. Dan jika bingkisan itu berisi sepatu, setidaknya uang yang ditabungnya selama ini tidak perlu terpakai dan bisa digunakan untuk keperluan lain. Mungkin untuk membeli baju seragam baru atau permen untuk adik-adiknya.
Sebagai anak kecil, pernah aku berpikir, tega sekali Bu Guru ini menyuruh temanku untuk berjualan es. Dia tidak bisa bermain bersama kami di jam istirahat karena itu. Namun bertahun-tahun kemudian setelah kejadian itu, dalam kesempatan terpisah aku bertemu dengan mereka. Dan terbukalah sesuatu yang selama itu tidak bisa aku pahami. Melalui termos es, itulah cara Bu Guru menyelamatkan temanku.
—
dengan ingatan yang pendek, aku menulis postingan ini. Tentang seorang guru dan temanku yang namanya tidak aku sebut kecuali dengan takzim. Diikutsertakan dalam Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar “Guruku Pahlawanku”.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023