“Wanita adalah makhluk sejuta kode. Ada jutaan maksud tersirat di setiap senyum, kalimat, dan gerak tubuhnya.”
Pernyataan barusan saya kutip dari sebuah kicauan yang nangkring di linimasa beberapa hari lalu. Merasa ikut “diseret” dalam twit tersebut, saya sukses dibuat penasaran dengan persoalan kode-mengkode seperti ini.
Kalau sudah membicarakan isyarat—sesuatu yang tersirat dan tersembunyi—mau tak mau kita juga membicarakan morse, enigma, dan kode. Semua tentu mafhum makhluk Tuhan mana di muka bumi ini yang dituduh paling getol menggunakan kode. Siapa lagi kalau bukan wanita? Saking masternya dalam dunia perkodean, mereka bahkan sampai dijuluki “makhluk sejuta kode”.
Stereotip wanita sebagai makhluk sejuta kode sebetulnya tidak sepenuhnya keliru, kenyataannya sejak kecil mereka memang dididik dan diarahkan menjadi pribadi yang pasif. Pola pikir dan nalar wanita dibentuk oleh ide-ide patriarkis—bahwa wanita tidak boleh lebih tinggi (atau minimal sejajar) dengan laki-laki, bahwa menyuarakan isi pikiran dengan lugas adalah sesuatu yang dianggap tabu dan menyalahi kodrat feminisnya sebagai makhluk yang harus dipimpin dan dilindungi. Tak ayal, tatapan aneh sering ditujukan pada wanita yang reaktif dan blak-blakan dalam bersikap.
Sadar tidak sadar, hal inilah yang justru memicu persoalan di kemudian hari. Ketika menginginkan sesuatu, wanita akan merasa lebih nyaman berlindung di balik kode agar tetap terkesan diarahkan dan dipilihkan. Walhasil, mereka cenderung berbelit-belit dalam mengutarakan kemauannya.
Di sini laki-laki dituntut untuk peka dan mengerti. Kabar buruknya, sebagai sasaran utama pasal perkodean, laki-laki justru kesulitan menerjemahkan kalimat yang diungkapkan pasangannya. Pada titik inilah sering terjadi kesalahpahaman; si wanita ingin ini, sedang laki-laki dengan segala kelempengan nalarnya tak kunjung peka dikode. Akhirnya, ngambek jadi pelarian.
Duh…
Mestinya kita paham bahwa struktur otak laki-laki dan wanita berbeda, pun demikian dalam hal berkomunikasi. Ketika mengutarakan sesuatu, laki-laki cenderung lugas, menghindari basa-basi, dan langsung pada intinya, sedangkan wanita lebih senang memakai bahasa kias.
Contoh yang paling gampang saja, kata “terserah” bisa diinterpretasikan berbeda oleh keduanya, bagi laki-laki, terserah ya berarti terserah, sesederhana itu. Sedangkan bagi kaum hawa, kata “terserah” bisa bermakna lain. Konon, “terserah” adalah maqam ngambek tertinggi seorang wanita ketika kesal dengan pasangannya.
Ketidaksepakatan inilah yang sering menjadi akar persoalan dalam sebuah hubungan. Tak aneh kalau urusan anak manusia melulu berkutat pada persoalan tuduh-menuduh “wanita susah sekali dipahami,” lalu si wanita, “laki-laki nggak ada peka-pekanya sama sekali.”
Kalau sudah begini, sampai air salaman sama minyak juga nggak bakal kelar urusan.
Saya pribadi sebetulnya agak risih dengan semat “makhluk sejuta kode” yang ditujukan pada kaum hawa. Kan tidak semua wanita demikian? Meski tidak banyak jumlahnya, tetapi masih ada lho wanita lugas yang aktif menyuarakan isi hati dan pikirannya tanpa repot dibungkus morse dan kode.
Mereka bukan tipe wanita aktivis “terserah kamu aja” yang hanya akan membuat bingung pasangannya. Ketimbang bermain kode yang belum tentu dipahami laki-laki, mereka lebih memilih berterus terang. Baginya, iya berarti iya, tidak berarti tidak. Sesimpel itu.
Ide bahwa wanita haram hukumnya sejajar dengan laki-laki adalah pandangan yang belok, keliru, dan sangat tidak kekirian kekinian. Ingatlah bahwa kita hidup di abad 21, abad yang menempatkan semangat kesetaraan gender di atas segala-galanya. Kalau punya unek-unek atau menginginkan sesuatu, kan lebih cakep disampaikan dengan berterus terang?
Jadi, Mbak, sampai kapan mau dijuluki makhluk sejuta kode?