Tentang Seorang Lelaki

Kelak, ingatkan aku untuk selalu mengulang menceritakan ini padamu. Karena aku tak akan pernah bosan, dan –aku yakin– kamu juga tak akan bosan. River, ini kisah tentang seorang lelaki pemberani, yang aku harap akan kamu tiru semangatnya seperti halnya aku berusaha melakukannya. Kisah tentangnya aku mulai dari lembaran sebuah buku, di mana dia menulis:

“seorang lelaki harus berani mengusir ketakutan
ketakutan untuk berbuat salah
ketakutan untuk berbicara salah
dan seorang perempuan harus berani memiliki jiwa lelaki
berani mendampingi gelisah lelaki
berani untuk tidak takut kehilangan lelaki”

Suatu kali dia pernah mengayuh sepedanya melintasi sejumlah negara di Asia. Setiap kali bertemu orang yang heran melihatnya mengendarai sepeda dengan satu tangan, dia selalu menjawab, “satu tangan oleh saya, satu ‘tangan’ lagi oleh Tuhan.”

Iya, River, tak seperti kita, lelaki yang aku ceritakan padamu ini hanya memiliki satu tangan yang kasat mata. Sebuah kecelakaan di masa kecilnya telah membuat lengan sebelah kirinya diamputasi sebatas siku. Tapi satu tangan yang hilang itu tak membatasinya. Dia bahkan pernah menjadi juara badminton.

Lelaki yang aku ceritakan padamu ini juga telah menulis banyak buku, termasuk sepuluh seri kisah perjalanan yang fenomenal. Aku menyebutnya kitab para pejalan. Buku-buku itulah yang membuatku menjadi pejalan. Aku membawa buku-bukunya ketika meninggalkan rumah pertama kali 14 tahun lalu. Dan hingga kemarin, aku mendengar ada seorang anak muda lagi terkena “kutukan” buku itu. Seorang remaja dari Karanganyar menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya untuk bertemu dengan sang penulis. Bayangkan, Nak, seorang anak muda merasa perlu menggerakkan kakinya karena buku yang diterbitkan belasan tahun sebelum dia lahir. Aku membayangkan, mungkin itulah yang dirasakan oleh orang-orang yang membaca Ibn Batutah atau Codex Calixtinus, ratusan tahun sebelum kita.

BACA:  Mengapa Saya Golput #2

Singkat cerita, Nak, lelaki yang aku ceritakan padamu ini kini tak lagi berpetualang. Ransel yang pernah dia bawa berkeliling dunia itu sudah dia lelang untuk membantu korban tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu. Dia sudah berhenti berjalan. Suatu kali dia pernah bilang, “berhenti menjadi lelaki. Kini saatnya untuk belajar menjadi suami dan ayah.”

Selesai, dia bilang. Tapi bagiku, dia tak pernah selesai menjadi lelaki. Dia tetap lelaki pemberani.

Tadi pagi, aku melihatnya berada di tengah-tengah keluarganya, merayakan ulangtahun ke-12 anak pertamanya. Di rumahnya yang teduh dan terbuka untuk siapa saja, dia memberi wejangan kepada anak gadisnya yang beranjak dewasa itu. Sama sekali tak ada yang mewah dalam perayaan ulangtahun itu. Hanya ada kue dan beberapa gelas minuman dingin. Yang membuatnya mewah adalah kegembiraan dan kasih sayang di antara mereka.

“Mama hampir meninggal lho waktu melahirkan Bella,” katanya mengingatkan si sulung. “Kepalamu sudah keluar tapi tiba-tiba masuk lagi…”

Aku tersedak. Baru kali ini aku mendengar petuah ulang tahun seperti itu. Tapi aku tak heran. Dia memang jenis lelaki yang tidak gampang kita temui di sembarang tempat. Pikirannya kuantum dan kohesif. Seperti halnya aku dibuat termangu saat dia menanggapi ucapan seorang kawan yang mempersoalkan feng shui rumahnya. Menurut sang kawan, rumah yang ditempatinya itu tak bagus feng shuinya. Rezeki yang datang akan bablas hingga ke belakang.
Lalu apa jawabnya?
“Tak apa-apa,” katanya, ” Biarin bablas ke belakang selama masih ada orang lain yang menerimanya.”
Kamu tahu, Nak, di belakang rumahnya itu dia membangun tempat belajar dan menyediakan ribuan buku untuk dibaca oleh anak-anak di sekitar rumahnya. Sebuah gudang ilmu tak ternilai yang dia bangun dari nol bersama istrinya.

BACA:  Pagliacci dan Badut yang Tidak Bisa Sulap

“Sini peluk ayah, Nak, dulu suka meluk, sekarang jarang…” katanya lagi menggoda putrinya.
“Malu..” kata putrinya merajuk. Aku tersenyum melihatnya.
Aku menduga inilah putri yang pernah dia bikinkan puisi “Mencari Pelangi“.

kini giliranmu menikmati dunia
barangkali akan lebih keras menderita
atau lebih gembira

tapi tak kan kujanjikan kamu
bisa bermain-main air hujan
karena mencari pelangi
adalah siksaan tak terperi

kini giliranmu menikmati hidup
walau yang kuwariskan adalah jejak-jejakku
silahkan kamu mencarinya sendiri
kini giliranmu menikmati semuanya

pesanku: berilah ibumu kado pelangi
karena kami rindu hujan!

Aku takjub pada caranya memelihara cinta. Di sekitar meja tempat kue brownies tanpa lilin itu ditaruh, dia dikelilingi oleh seorang istri dan empat anak yang beruntung.
Juga seorang calon ayah yang sedang menyerap pelajaran.

Calon ayah itu adalah aku, River, yang tak sabar menanti kau lahir. Belasan hari lagi. Yang bisa aku lakukan kini adalah berjalan sejauh mungkin dan mengambil saripati kehidupan dari orang-orang, termasuk dari lelaki yang aku ceritakan padamu ini.

Aku tahu aku tak akan pernah penuh seperti lebah memiliki madu. Aku hanya berharap suatu hari nanti aku bisa bilang padamu: “Ada banyak cinta yang menunggumu di sini, Nak.”

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga