Tentang Purna Tugas

Tulisan ini sepenuhnya terinspirasi dari status seorang editor RIvpo di FB, yang ia rilis 31 Agustus kemarin. Status yang membuat mata saya menggenang. Apalagi kalau bukan tentang ibundanya yang di hari itu resmi telah tunai tugasnya sebagai pegawai instansi pemerintah.

Purna tugas bagi seseorang yang lebih dari separoh hidupnya telah dihabiskan untuk berdharma bakti adalah sebuah akhir dan awal. Akhir dari sebuah perjalanan dan awal untuk episode perjalanan lain. Di masa-masa transisi ini, penghargaan dan penerimaan yang diberikan keluarga, terutama, akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologisnya. Penghargaan dan penerimaan, akan mengurangi dampak buruk selepas purna tugas, seperti post power syndrome misalnya, lalu merasa sudah tidak dibutuhkan lagi, merasa tak berarti lagi, dan lain sebagainya. Ini yang agaknya belum atau masih terlewat dilakukan oleh keluarga-keluarga di Indonesia, yah semacam saya ini.

Sama seperti saat Ibu mertua saya menyelesaikan tugas beliau sebagai guru SLB di tahun 2014 kemarin, saya tak hadir di sampingnya. Jauhnya jarak memang harusnya tak jadi alasan untuk ‘hadir’ secara jiwa. Ucapan selamat yang dulu saya kirimkan lewat pesan singkat pun rasanya hanya menambah sesaknya dada beliau. Karena setelah hari itu, tak ada lagi pagi-pagi yang tergesa demi sampai sekolah lebih awal. Tak ada lagi anak-anak istimewa yang mengerjapkan mata dan menyunggingkan senyum saat beliau menerangkan apa itu surga dan semua keindahannya.

BACA:  Pengunjung Boleh Coret-coret Tembok di Kantor Facebook Indonesia

Dan demi membaca status tersebut, saya pun teringat dengan sebuah drama Korea 20 episode dengan tajuk “Reply 1988” yang tayang sejak November 2015 sampai Januari 2016 ini memang secara garis besar sama dengan 2 Reply Series sebelumnya lainnya (Reply 1997 dan Reply 1994), yaitu cerita tentang kejadian masa lalu, flash back. Lalu apa kaitan drakor ini dengan status FB si editor Rivpo itu?

Di episode ke 19, ada sebuah scene yang sangat menyentuh di mana di situ dikisahkan ayah dari tokoh utama wanita (Sung Deok-sun) yaitu Sung Dong-il, harus pensiun. Kenapa ada kata harus? Ya, karena kondisi Bank tempat Sung Dong-il bekerja sedang tidak bagus dan berencana mulai mengurangi karyawannya, terutama yang senior. Dan jika mereka secara suka rela mengajukan berhenti, maka jumlah tunjangan yang diberikan akan lebih besar. Dan mengingat hutang keluarga yang sudah sekian lama tak kunjung lunas, Ayah Deok-sun memutuskan mengajukan pensiun.

Dan hari itu pun tiba. Hari di mana Sung Dong-il akan menerima surat pensiun dalam sebuah upacara di kantornya. Pagi yang dingin itu pun dibuka dengan dua buket bunga yang dipersiapkan oleh tetangga mereka.

Selamat ya, kamu sudah bekerja sangat keras selama ini. Kami akan menunggu kalian pulang dan menyiapkan penyambutan yang hangat untukmu” kata seorang tetangga.

BACA:  Martin Aleida dan Para Korban Ketidakadilan

Kalimat itu tentu adalah sebuah penghargaan yang disampaikan sebagai perwakilan masyarakat. Dan kalimat penghargaan itu, menjadi kalimat penghiburan yang melegakan bagi yang hendak pensiun. Ya, dia masih diterima dan dihargai kerjanya selama ini.

Namun, karena anak-anak Manager Dong-il merasa kecewa dengan acara perpisahan yang dilakukan di kantor ayahnya, yang meskipun sudah bekerja selama 26 tahun tapi cuma dikasih bunga dan tanpa plakat, maka mereka pun menyiapkan sebuah “Plakat  Terimakasih”. Dan inilah secuplik tulisan yang dipahatkan di plakat itu.

Untuk Ayah kami, Manager Sung Dong-il.

Ayah sudah bekerja dengan sangat baik selama 26 tahun ini. Oleh karena itu, kami ingin berterimakasih kepada Ayah untuk semua hal yang sudah Ayah lakukan.

Kami mungkin tak akan bisa memanggilmu lagi dengan sebutan Manager. Tetapi, yang tidak akan pernah berubah adalah, Sung Dong-il tetap suami Ibu dan Ayah bagi kami. Ayah yang sangat kami banggakan.

Sebagai anak-anaknya, kami ingin mohon maaf jika selama ini belum bisa membahagiakan dan membuat Ayah bangga. Dan juga, maafkan kami yang tak pandai berkata “Kami mencintai mu” terlebih dahulu. Maafkan kami yang tidak memahami betapa berat tugas yang kau emban sebagai seorang Ayah. Maafkan kami Ayah….

Meskipun begitu, kau tetap bagai pohon yang selalu memberi kesejukan dan naungan untuk kami anak-anakmu. Dan untuk itu semua, kami ingin mengucapkan terimakasih Ayah….

Meski tak sepanjang itu, tapi ungkapan hati yang serupa juga dituliskan editor web ini untuk Ibundanya:

BACA:  Suara-suara Menakjubkan dari Kolam

Terima kasih, Mak.

Sebutlah sesuatu yang lebih besar daripada matahari, itulah engkau bagi kami.

Pusat semesta kami”.

Aeni Pranowo
Latest posts by Aeni Pranowo (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga