Bapak, Akan Kuceritakan Tentang Lelaki Itu dan Masjid Kita!

Artikel ke 36 dari 42 artikel dalam Topik : Lomba Menggunjing Tetangga 2016

Aku tak banyak di rumah pada ramadan tahun ini, Pak! Lebih sering di luar, dengan jumlah job side yang tak terkira. Kepulanganku hanya di akhir pekan, dan bisa terhitung kuantitas buka puasa dan sahur bersama Ibu. Seharusnya aku tak menerima tawaran itu, Ibu kesepian. Tapi selalunya begitu, kesibukan adalah cara terbaik untuk membunuh waktu, dan sejak kapan aku mulai mengikuti alur seperti itu. Pernah pada suatu ketika tak mampu lagi kusembunyikan gelinangan air mata saat seorang bocah menyampaikan tausiyah tentang hebatnya berbakti kepada orang tua dimana aku sebagai jurinya. Pun kusambut dengan applaus begitu bocah tersebut mengakhiri tausiyahnya dengan salam. Seperti ada yang istimewa. Karena selalunya memang begitu, orang tua dan anak adalah kisah yang tak akan pernah selesai dan tak ada habisnya. Seperti kisah di antara kita, Pak! Meskipun telah hitungan tahun kepulanganmu, masih tetap ada jejak kehadiran lewat orang-orang yang mengenalmu di masa dulu. Bercerita apa saja, tentang zaman remaja kalian pun hal-hal yang lebih sering mengundang tawa untuk dibayangkan.

Kehidupan masih berjalan setelah kepulanganmu. Silih berganti orang-orang tiba dan pulang di dunia ini. Pun rumah yang kita tempati bersama dulu tak lebih hanya sekedar rumah persinggahan begitu kami, anak-anakmu pulang dari perjalanan yang melelahkan di luar sana. Hanya rumah persinggahan, dan sebaik-baik rumah persinggahan. Karena paling lama seminggu, setelahnya itu kami akan kembali pada kehidupan yang selalu dianggap krusial oleh manusia di abad ini, pekerjaan. Juga tentang kekasihmu, Pak! Perempuan yang kau nikahi dengan perjuangan yang begitu menggetarkan (lain kali akan kuceritakan ) tak lagi muda namun masih saja sama cantiknya, sama bawelnya. Selalu saja ada hal sepele yang membuat kepala ini pusing mendengar setiap ceramahnya : resiko tidur sehabis subuh, tidak bersih-bersih, pembalut dibuang sembarangan. Tapi selalunya, tak ada kasih sayang tulus yang mampu menggantikan kehangatan hatinya untuk kami, anak-anakmu. Dan ramadan tahun ini, dia begitu kesepian.

Ibu lebih sering kutemui duduk mengaji setelah sholat Maghrib. Setelahnya itu, aku akan datang bercerita tentang aktivitasku di luar sana, sambil menunggu waktu Isya. Selalunya kuceritakan dengan antusias tentang masjid-masjid yang sering kutempati sholat tarawih, tentu tak lupa dengan qiro’at para imamnya yang bergetar sampai hati. Masjid Nurul Tijarah di pusat eks. sentral lama mempunyai imam dengan suara yang benar-benar membuat air mata menitik setiap memimpin sholat. Juga di Masjid Makmur yang letaknya di Jalan Ahmad Yani punya imam dengan qiro’at seperti berada di tanah suci. Ada Masjid Darul Rasyid, Saliweng Benteng yang suasana para jamaah masjidnya begitu kekeluargaan. Belum lagi hidangan buka puasa yang berbeda setiap harinya dari satu panggilan ke panggilan yang lain. Ibu pun akan antusias mendengar, bersamaan dengan rasa bersalah pada diriku yang seakan-akan menganggap bahwa dunia Ibu tak lebih dari sekedar rumah dan masjid di seberang jalan, yang selalu ditempatinya sholat berjamaah.. Pun saat giliranku bertanya, bagaimana ramainya masjid kita? Ibu akan menjawab dengan datar termasuk satu hal itu : imam tarawihnya yang itu-itu saja—mengantuk. Masjid kita. Masjid satu-satunya di kompleks perumahan kami yang dibangun saat aku masih SD. Masih lekang diingatan, bagaimana rapat kali pertama direncanakannya pembangunan masjid yang kemudian belakangan punya nama Masjid Nurul Ikhlas. Bapak yang ditunjuk menjadi ketua panitia menjadikan masjid itu sebagai rumah keduanya pada tahun-tahun kemudian. Bapak begitu mencintai masjid itu, setelah pensiun wujud Bapak akan lebih banyak ditemui di sana. Jika kemudian ada tamu yang bertanya, dimana Bapak? Maka jawabnya tetap saja selalu berakhir sama, masjid di seberang jalan. Hingga Bapak berpulang, kronologisnya pun tak jauh-jauh dari masjid itu (juga, lain kali akan kuceritakan).

BACA:  Dari Pojok Bekasi ke Luar Negeri

Sebenarnya yang akan kuceritakan tentang Puang Kelo. Lelaki yang kemudian turut andil memakmurkan masjid begitu Bapak berpulang. Banyak hal yang bisa kuceritakan tentangnya, selain rumah kami hanya diperantarai sepetak tanah kosong, anak-anaknya juga teman sepermainanku di waktu kecil. Pun Puang Kelo adalah teman cerita Bapak di waktu lampau. Entah atas penunjukan seperti apa, sepulangnya Bapak, Puang Kelo yang kemudian lebih sering menggantikan aktivitas Bapak di masjid hingga hari ini. Di masjid kami yang sebenarnya lebih tepat disebut mushollah, sejak awal berdirinya tidak pernah mempunyai imam yang pasti. Hanya yang kemudian rajin ke masjid disebut sebagai pengurus masjid sekaligus imam jika kemudian ada yang bertanya. Dan tersebutlah Puang Kelo yang satu-satunya manusia tak pernah melewatkan sholat fardhunya di sana—kecuali dalam kondisi darurat, tentunya. Usia yang tak lagi muda tak menyurutkan semangatnya untuk tetap senantiasa adzan pada setiap waktu sholat telah tiba dan juga memimpin sholat. Bahkan pernah sekali kulihat, sepeda onthelnya yang hingga hari ini masih setia digunakan kemana pun pergi dikendarai ibarat dengan kecepatan 100  untuk mengejar waktu sholat di Masjid yang terbilang lambat waktu itu. Tak diragukan lagi, kesetiaannya dan Masjid Nurul Ikhlas adalah ikatan yang masih setia dijaga pegangannya. Kepulanganku yang terakhir, kutemui wajahnya sudah jauh dari kokoh, pun tubuhnya sudah ringkih termakan usia, tapi semangatnya masih sama untuk memimpin sholat tarawih. Tak dinafikkan lagi, usia tua dan qiro’at, jelas akan begitu jauh dari harapan. Biasanya akan kutemukan wajah-wajah jamaah tarawih yang kuyu begitu Puang Kelo kembali memimpin sholat tarawih. Begitu selesai rakaat kedelapan yang tersisa hanya  segelintir jamaah, itu pun yang sudah terbilang sepuh. Pernah sekali bahkan dua kali kutanya pada Ibu, kenapa tidak diganti saja. Dan Ibu yang jelas tak punya alasan banyak untuk menjawab pertanyaan itu.

Seketika aku teringat dengan sebuah kisah tentang tukang adzan yang pernah dikisahkan Jalaluddin Rumi, Pak! Bahwa disebuah kota yang mempunyai sebuah mesjid amat megah, hidup berdampinganlah penganut agama Islam dengan penganut agama lain. Hanya saja, muazzin di masjid itu mempunyai suara yang amat jelek. Teman-temannya banyak yang menasehati untuk berhenti saja mengumandangkan adzan karena suaranya terdengar begitu buruk. Justru nantinya akan membuat orang untuk tidak datang sholat. Namun sang muazzin bersikukuh bahwa apa yang diyakini adalah sebuah kebaikan yang diyakini oleh agama dan ia tak mau berhenti. Hingga pada suatu ketika datanglah seorang pemuka agama lain ke mesjid dengan wajah berseri-seri dengan membawa hadiah dan hidangan yang banyak. Ia lalu bertanya kepada orang di masjid, “Mana orang yang mengumandangkan adzan itu, aku ingin memberinya hadiah.” Spontan orang pun bingung dan bertanya-tanya kenapa orang yang bersuara buruk itu mendapatkan hadiah yang berlimpah. Kata pemuka agama itu, “ Saya punya seorang putri yang sangat tertarik untuk masuk Islam. Keinginannya telah begitu kuat dan aku pun tak mampu lagi membujuknya. Itu membuatku sangat berduka dan tidak bisa tidur. Hingga suatu ketika pada saat ia mendengar adzan dan bertanya padaku suara apa itu, aku pun menjawabnya bahwa itu adalah suara adzan yang dikumandangkan orang muslim untuk memanggil umat umat muslim yang lainnya beribadah. Anakku pun menjawab bahwa suara itu sangat buruk sekali seperti suara keledai dan dia tidak ingin masuk Islam. Mendengar itu aku bergembira dan malamnya aku bisa tidur dengan nyenyak dan berjanji untuk besoknya akan mencari tukang adzan yang telah melegakan hatiku.”

BACA:  Cerita dari Rappocini, Tentang Semangat Memaslahatkan Masyarakat

Kisah itu begitu memprihatinkan batinku,  karena selalu saja kukaitkan dengan Puang Kelo. Bagaimana Islam bisa menjadi sesuatu yang menentramkan jika hal krusial seperti imam masjidnya saja terkhusus di kampung kami tak begitu dianggap penting. Bagaimana orang-orang di kampung juga bisa merasakan damainya suara-suara imam yang dibayar mahal di kota-kota di luar sana. Begitu pemikiran seorang manusia sombong yang merasa sudah mempunyai ilmu sepertiku. Masjid-masjid seharusnya mengalokasikan dana untuk memilih imam masjid yang paling banter bagus makhrajul hurufnya, dan setidaknya tidak membuat pikiran melayang-melayang begitu surah Alfatihah telah dilafalkan. Kusampaikan hal itu pada kakak, setidaknya mewakili penyampaian aspirasiku dari kaum intelek ini. Pun juga hasilnya sama, diskusi alot yang berbuntut pada kesibukan yang lain.

Masjid kita. Masjid Nurul Ikhlas. Masjid dimana mata dan kaki kecilku waktu itu menjadi saksi bagaimana peletakan batu pertamanya. Riuh gemuruh suara anak-anak di awal-awal berdirinya dengan dibentuknya TPA (taman Pengajian Alquran) yang mengikutkan kami pada Festival Anak Sholeh di Athira Bukaka Bone waktu itu. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya kesepian. Anak-anak di masaku telah banyak ke luar pulau, tergantikan dengan anak-anak sekarang yang entah seperti apa keberadaan dan dunianya. Hanya adzan yang sesekali jadi tanda kalau masjid itu masih ada. Pada kepulanganku kembali di sisa-sisa terakhir ramadan, Ibu bercerita hebat, seantusias cerita-ceritaku kepadanya.

“Semalam, pukul dua kami para jamaah perempuan berbondong-bondong ke rumah Puang Kelo.”

“Kenapa?” Kutanggapi penuh penasaran.

“Masa sudah jam seperti itu, Puang Kelo belum juga ke masjid, biasanya dia yang selalu paling pertama datang dan sudah menunggu di pintu masjid.” Karena setelah pertengahan ramadan hingga akhir, sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sini untuk sholat tasbih pada jam seperti itu.

“Loh, memangnya tidak ada yang bisa ganti?”

“Tidak ada yang mau, itu susahnya.”

“Memangnya Puang Kelo kemana?”

“Syukurnya hanya kebablasan tidur setelah seharian tadi ke sawah, “Karena ramadan tahun ini memang bersamaan dengan musim panen di kampung kami. “Tadinya kami khawatir puang Kelo kurang sehat.”

Aku terpekur. Pun juga Ibu. Entah barangkali memikirkan hal yang sama. Tentang Puang Kelo, satu-satunya orang yang masih bisa diharapkan seenak jidat seperti itu, dibangunkan setiap saat terlebih pada waktu-waktu meletihkannya . Tak banyak orang yang mampu melakukan hal demikian. Kata Ibu lagi, Puang Kelo hanya mengatakan ‘tunggu’ dan tak lama kemudian keluar dengan sepeda onthelnya menembus malam dingin yang bisa saja meremukkan tulang tuanya demi untuk memimpin sholat tasbih pada waktu itu.

BACA:  Li Partic, Sociopreneur Multiprofesi

Beberapa hari setelah ramadan, dia kembali terlihat dengan sepeda onthelnya memasuki halaman masjid. Tak lama, suaranya terdengar mengumandangkan adzan. Seketika ada gelinangan air yang mulai menganak sungai di mataku, memikirkan hal yang kemungkinan besar kelak akan terjadi, bagaimana kalau Puang Kelo kelak berpulang, siapa lagi penyambung yang akan tetap setia berusaha menghidupkan masjid disaat manusia lainnya sibuk dengan urusan duniawi. Yang bahkan saat bukan suara Puang Kelo yang mengumandangkan adzan, orang-orang juga akan berbondong-bondong dengan pertanyaan : Apakah Puang Kelo sehat-sehat saja?! Yang bahkan saat sakit pun letihnya, orang-orang masih enggan untuk memimpin sholat, jangankan itu … ke masjid saja masih begitu dipertanyakan.

Maka ketika kalian berkunjung ke kampungku, di kompleks pasar Pattiro Bajo, dan melihat seorang lelaki tua yang setia dengan sepeda onthelnya, maka itulah Puang Kelo yang kumaksud. Lelaki yang memberi persepsi lain tentang kisah yang dituturkan Jalaluddin Rumi, juga lelaki yang tak dihebohkan dengan munculnya larangan pengeras suara di mesjid. Suaranya mungkin tidak bagus di usia tuanya tapi dia telah menyelamatkan kami, penduduk di sini, dari azab yang pernah sampai di telinga tentang dosa besar yang menimpa suatu kaum ketika masjid tak diisi setiap waktu sholat telah tiba. Dalam sudut pandangku, yang kini kuakui tidak memiliki apa-apa, baginya sederhana saja, menghidupkan masjid. Dan itu cukup.

Pada hidup yang tergantung dengan banyak persepsi ini, Pak. Aku bertanya pada diriku, sejauh apa kini andilku untuk memakmurkan masjid, menghidupkan masjid. Serta pertanyaan paling menohok itu, seberapa sering aku mengunjungi masjid di luar ramadan? Pun barangkali aku sama halnya dengan yang lain, tukang kritik yang selalunya hanya berujung air liur membentuk pulau Sulawesi pada bantal disetiap adzan subuh dikumandangkan dan masih terlelap hingga pukul 8 pagi.

6 Agustus 2016

Dalam Penantian Rasi Bintang

 

Penulis:

Rani Ar Rayyan

Penikmat teh hangat dan menyukai segala hal tentang pagi

 

–Artikel ini diikutsertakan dalam yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik

Artikel dalam Topik Ini : << Ibu Wahono, Mendayagunakan Sampah PlastikSttt! Ada Relawan Tuhan di Bajang >>

Leave a Reply

Silakan dibaca juga