Tentang Kartu Suara, Cawan Petri, dan Paradoks Demokrasi (Lanjutan Obrolan dengan Kajitow Elkayeni)

Pengantar Redaksi:

Tanggal 14 Februari lalu, Iqbal Aji Daryono menulis di Detik.Com satu artikel berjudul “Yang Kearab-araban, Yang Keeropa-eropaan”. Kemudian, sehari setelahnya, Kajitow Elkayeni menulis sanggahan atas tulisan Iqbal tersebut di Seword.Com, dengan tulisan berjudul “Agama Islam Sekte Arab”. 

Berikut adalah tulisan Iqbal Aji Daryono sebagai kelanjutan diskusi tersebut.

====

 

Foto: Kaleb Nimz/ unsplash.com

 

“Menjadi penengah memang tidak mudah. Alih-alih mendamaikan, terkadang, justru penengah yang diserang oleh kedua-belah pihak yang bertikai. … Berada di tengah memang serba-salah Tuan Iqbal, terima nasib saja jika nanti sekaligus dicap plin-plan!”

Dari keseluruhan tulisan Kajitow Elkayeni di Seword pekan lalu yang berjudul “Agama Islam Sekte Arab”, deretan kalimat di atas itulah yang paling menarik minat saya.

Segala hal tentang budaya, produk-produk budaya, dan sikap-sikap kebudayaan, selalu memicu beragam tafsir dan dialektika tanpa henti. Obrolan dan perdebatan tentangnya jadi hal yang biasa saja, dan memang semestinya harus begitu. Tapi anggapan tentang sikap saya yang moderat, di tengah, dan berusaha menjadi penengah, justru merupakan asumsi yang kurang cermat dan perlu saya luruskan.

Begini. Saya tidak yakin kapan segalanya bermula. Namun menguatnya cara pandang biner dalam melihat fenomena sosial bisa kita amati saat era medsos sudah mencapai titik terpanasnya. Di negeri kita, momentum Pilpres 2014 yang membelah umat manusia Indonesia menjadi dua kubu yang saling berhadapan, agaknya punya kontribusi sangat signifikan dalam membentuk kebiasaan cara pandang semacam ini.

Dari situ, sadar ataupun tidak, kita jadi terbiasa menggunakan nalar politik dalam melihat nyaris segala hal. Realitas-realitas sosial bermunculan, dan kita secara refleks mencernanya dengan logika politik. Persis di situlah titik masalah yang memburamkan kacamata Mas Kajitow.

Bila diibaratkan, realitas politik itu mirip kartu suara yang kita hadapi di dalam bilik TPS. Kita menggelarnya, memandanginya, dan ternyata hanya menemukan pilihan calon pemimpin yang sangat terbatas. Sementara, ada banyak sekali kriteria yang ngendon di kepala kita terkait sosok pemimpin ideal. Malang, semua kriteria itu tak mungkin berkumpul di satu orang. Setiap calon membawa paket karakter masing-masing, dan kita mustahil bersikap eklektik dengan mengambil yang baik-baik saja di antara ketiganya, sambil membuang yang buruk-buruk.

Biar enak dipahami, ambillah ibarat di DKI kemarin. Ada seorang pemilih pemula, sebutlah namanya Mawar. Mawar berpikir, “Ah aku mau gubernur yang ganteng, lembut bertutur kata, gesit kerjanya, menguasai lapangan, dan pinter moshing. Oh iya, gubernurku harus lucu lah, males banget kalo dianya garing teruuus…”

Mawar pun mengamati para calon gubernur yang ditawarkan. Ternyata cuma ada tiga, yaitu Agus, Ahok, dan Anies. Anies ganteng dan indah tutur katanya, tapi dia belum terbukti gesit bekerja, apalagi pinter moshing. Ahok gesit bekerja dan menguasai lapangan, tapi dia nggak pinter moshing, dan kata-katanya kasar. Agus pinter moshing, tapi masih kalah ganteng dan kalah aduhai tutur katanya dibanding Anies, dan kegesitan kerjanya juga wallahualam. Dan… ketiga orang itu semuanya nggak ada yang lucu!

Apakah lantas artinya Mawar tak datang ke TPS, dan golput? Ternyata enggak. Mawar tetap ke TPS, memilih satu calon yang menurut Mawar karakternya paling ia butuhkan, lantas berfokus pada kelebihannya, sambil ikhlas menerima kekurangan-kekurangannya (eaaa co cwiiit!).

Sikap semacam Mawar itulah yang namanya memahami realitas politik, lalu berpihak. (Itu analogi paling simpel saja, sebab kerap terjadi situasi yang lebih rumit dalam realitas politik). Saya setuju, dalam menghadapi realitas politik kita memang harus berpihak. Dengan keberpihakan kita, kita mendukung siapa pun yang menurut kita lebih layak didukung ketimbang yang lain. Pilihannya memang kerapkali sulit, bukan antara baik dan buruk, tapi antara baik dan lebih baik lagi, atau antara buruk dan lebih buruk lagi. Itulah realitas politik.

Makanya, terkait saya sendiri, ketika beberapa kali saya dibilang sebagai jokower tobat atau mantan jokower, ya saya nggak terima hoahahaha! Lho, meski beberapa kali saya mengkritik dan sinis kepada Mas Joko, saya ini tetap pendukungnya. Saya tetap jokower, dan ogah beneran kalau negeri ini dijalankan oleh para pedagang agama di seberang Mas Joko. Perkara sinisnya saya beberapa kali kepada Mas Joko, itu hal yang lumrah, karena dia toh manusia biasa dan tidak bisa 100% memenuhi selera saya. Seperti itulah cara saya menghadapi realitas politik.

BACA:  Iwan

Lain realitas politik, lain pula realitas sosial, Mas Kajitow. Dalam realitas sosial, analogi paling cocok adalah meja laboratorium. Di meja laboratorium, kita menghadapi beberapa gelas cairan zat ini-itu, dan deretan cawan-cawan petri. Kita bisa mencampur cairan A, B, dan C dalam cawan pertama. Lalu di cawan kedua kita mencampur cairan B, C, dan F. Cawan ketiga bisa kita isi dengan 100% cairan A, 50% cairan B, dan 30% cairan C. Peluang variasi campuran itu bisa sangat beragam, hingga cawan ke-15 atau bahkan ke-97.  

Kenapa kita bisa menjalankan analogi begitu untuk menghadapi realitas sosial, Mas? Sebab sikap kita atas realitas sosial tidak dibatasi oleh pilihan yang terpersonifikasi dalam tubuh satu-dua orang, sebagaimana dalam realitas politik.

Saya ambil contoh, dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Harap dipahami dulu baik-baik, bahwa sebelum kasus itu ditarik menjadi komoditas politik, ia adalah fenomena sosial. Lalu simaklah sikap Buya Syafii Maarif. Di satu sisi, Buya berpendapat bahwa Ahok memang orang dengan lisan yang buruk, kata-kata yang kasar. Bahkan Buya menulis dengan serius tentang bahaya Sembilan Naga di belakang Ahok. Namun, dalam kasus Kepulauan Seribu, Buya melihat dan menegaskan bahwa kalimat Ahok sama sekali bukan penistaan agama.

Kalau Buya Syafii mau memakai logika politik, beliau tinggal ikut saja. Mau pro-Ahok, atau anti-Ahok. Kalau mau ikut kubu pro, gampang banget, Buya tinggal mendukung Ahok mati-matian, right or wrong is my Ahok, kekuatan Sembilan Naga itu hoax, dan lisan kasar Ahok adalah berkah bagi Indonesia. Kalau mau ikut yang anti, juga sama gampangnya. Tinggal sebut saja Ahok mulut jamban penista agama, musuh Islam, antek komunis, antek asing dan aseng, antek Dajjal, dan blablabla lainnya. Simpel. Nggak pakai mikir.

Tapi kita tahu, Buya tidak begitu.

Apakah artinya Buya plin-plan? Enggak, lah. Itu justru upaya Buya dalam menjalankan tanggung jawab intelektual. Buya menghadapi kasus Kepulauan Seribu itu sebagai realitas sosial, mencernanya dengan kejernihan berpikir, lalu mendudukkan masalah sesuai porsi yang semestinya. Begitu.

Saya ambil contoh lain yang tidak nyerempet politik, biar lebih terang lagi. Ini tentang passion saya sendiri, yakni soal rokok hehehe. Kalau mau berlogika pro dan anti-rokok, itu juga gampang. Yang anti-rokok bilang bahwa rokok membunuh umat manusia, setiap perokok adalah pelaku dosa besar kemubaziran, setiap perokok adalah musuh lingkungan. Maka rokok harus dimusnahkan dari muka bumi, dan tak perlu para perokok diberi ruang-ruang merokok di tempat publik. Nah, di sisi seberangnya, para pro-rokok akan mengatakan bahwa bahaya rokok itu mitos semua, rokok sebenarnya menyehatkan, dan merokok di mana pun boleh saja tanpa batasan ini-itu.

Bertahun-tahun saya mencerna ini, hingga kemudian saya mengambil pandangan personal bahwa rokok memang tidak baik untuk kesehatan fisik, namun bahayanya tidak seheboh yang digembar-gemborkan oleh kampanye ini dan itu. Saya juga sepakat, bahwa demi kemaslahatan hidup bermasyarakat, ruang merokok harus dibatasi, tidak boleh di sembarang tempat apalagi di kendaraan umum. Syaratnya, bersama itu harus disediakan fasilitas smoking area yang layak, yang manusiawi, dan dengan jumlah yang mencukupi, sehingga kami-kami para perokok bisa menikmati aktivitas legal ini dengan nyaman sekaligus tidak mengganggu orang lain yang bukan perokok.

Nah, apakah artinya saya plin-plan dan tidak berpihak? O, tunggu dulu. Kalau mau memakai logika politik, pertentangan antara pro dan antirokok tak akan pernah selesai, kehidupan bersama tak akan pernah bisa berjalan menyenangkan. Yang ada hanya aku atau kamu yang mati. Itu saja.

BACA:  Mulan Menyelamatkan Bumi

Sikap saya itu pun bukan usaha menengahi dan mendamaikan kedua kubu. Tidak, saya tidak ada urusannya dengan perdamaian mereka hahaha. Lebih pas jika dikatakan saya membangun kubu yang lain, alias menyodorkan cawan petri ketiga dengan adonan yang berbeda. Cawan keempat, kelima, keenam, sangat bisa ditambahkan, karena memang pilihan sikap kita bisa jauh lebih banyak ketimbang jumlah paslon cagub.     

Dalam menghadapi realitas sosial yang menimbulkan pertentangan, saya selalu mengingat nasihat Mas Iman Budhi Santosa, penyair gaek cum pakar kejawen itu. “Wong Jawa iku ora mburu benere dhewe, ananging golek kepiye apike.” Orang Jawa itu tidak ngotot-ngototan berebut siapa yang paling benar. Namun sama-sama mencari: sekarang sebaiknya bagaimana.

Namun ya gitu deh, sikap “golek kepiye apike” itu cuma bisa dijalankan dalam menghadapi realitas sosial, bukan realitas politik. Kalau jalan tengah dipakai untuk menghadapi realitas politik, yang ada malah cuma sikap-sikap nggak jelas macam para aktivis gitu. Mengkritik calon X habis-habisan, tapi pura-pura nggak dengar waktu ditanyai “Lalu sebaiknya kita pilih yang mana, Mas?”. Lah, padahal masayarakat butuh diberi rekomendasi konkret, karena mau tak mau mereka tetap harus mencoblos salah satu agar suaranya bisa sah.

Sebaliknya, jika realitas sosial dihadapi dengan logika politik, alias logika kubu-kubuan dengan pilihan kubu yang sangat terbatas (sebagaimana yang dijalankan Mas Kajitow), itu bukan cuma naif. Lebih jauh lagi, itu berbahaya bagi kelangsungan kehidupan bersama.

Dalam pandangan saya, soal yang kita obrolkan yakni tentang perilaku ke-arab-araban, itu pun realitas sosial, Mas Kaji. Kita tidak perlu harus ngotot ke salah satu kubu, berpihak ke pendukung gaya-gaya sok Arab, ataupun menolaknya keras-keras, dengan alasan mereka memaksakan pandangan bahwa Arab sama dengan Islam.

Ada satu yang mengganjal ketika saya membaca pandangan sampeyan, bahwa orang-orang berjubah itu memaksakan tafsir mereka. Mas Kaji mengatakan, “Orang boleh berjubah, berjilbab, berjenggot, berjidat hitam, tapi mereka tidak boleh MEMAKSA orang lain untuk berprilaku serupa.”

O, ya? Betulkah memaksakan? Memaksakan tafsir, ataukah meyakini salah satu versi tafsir? Itu beda sekali lho, Mas Kaji.

Saya ragu, apakah benar orang-orang itu memaksa orang lain. Saya sendiri tidak pernah merasa mereka memaksa saya, teman-teman saya, ataupun orang-orang terdekat di lingkungan saya. Bahwa mereka meyakini jubah dan panggilan akhi-antum sebagai cermin kesempurnaan keislaman, saya kira itu hak mereka. Keyakinan adalah keyakinan. Dan sebagaimana kata Gus Dur, keyakinan tidak dapat dihakimi.

Gus Dur menyampaikan lagi (ah, Gus Dur lagi, Amien Rais-nya kapan dong wkwk) satu kalimat jernih dengan spirit yang sama, saat diwawancarai Lexy Rambadetta tentang pelarangan komunisme. “We have to differenciate between ideology, and institution. If they (the military) ban the PKI, that’s up to them, and that’s all they can do. But banning ideology, is nothing. That is impossible to do.”

Klir sekali, kan? Keyakinan, pikiran, ideologi, adalah hal-hal yang tak dapat dilarang-larang. Kenapa? Karena memang tidak mungkin dilarang. Polisi, tentara, hansip, tidak bisa masuk ke otak manusia lalu memborgol pikirannya. Yang bisa dilarang hanyalah tindakan.

Orang yang berkeliling dari pintu ke pintu lalu mengajak ini-itu sesuai keyakinan mereka, itu kan cara kerjanya bisa dibandingkan dengan sales vacuum cleaner gitu, lah. Mereka mempersuasi kita, memengaruhi pikiran-pikiran kita, agar kita “membeli dagangan” mereka. Apa yang mereka lakukan bukanlah pemaksaan. Baru bisa kita sebut memaksa ketika mereka datang, menggedor pintu kita, lalu memiting tangan kita sambil memakaikan surban di kepala kita, sementara kita meronta-ronta.

Saya beberapa kali menemui mereka. Yang dari Jamaah Tabligh, maupun Saksi Jehovah. Semua saya ajak ngobrol santai, dan enak-enak saja tuh. Bahkan sempat juga saya menasihati teman-teman dari Jamaah Tabligh, “Mas, apa nggak lebih baik antum datang maksimal dua orang saja? Kalau berbondong-bondong banyak orang begini, yang antum datangi bakalan merasa tertekan, bukannya tertarik. Apalagi ada beberapa teman antum yang tidak mau duduk dan malah memilih berdiri di luar pintu begitu.”

BACA:  Semua Mulia

Mereka manggut-manggut, menerima masukan saya, dan ternyata tidak ada di antara mereka yang mencekik saya, atau menyeret saya ke masjid untuk mendengarkan pengajian mereka hahaha. Lalu di mana memaksanya?

Adapun tentang keyakinan mereka (bukan spesifik Jamaah Tabligh lho kalau ini) bahwa orang yang tidak mengikuti versi tafsir yang mereka anut bakalan masuk neraka, itu hak-hak mereka juga. Toh, setiap agama dan keyakinan memang berdiri di atas tumpukan klaim kebenaran dan klaim keselamatan. Buat yang muslim, yang tidak syahadat tak akan selamat. Bagi yang Kristen, yang tidak mengikuti Yesus tak akan selamat. Ya begitulah agama.

Tapi klaim-klaim kebenaran pun bagian dari kebebasan berpikir, sepanjang tidak ditindaklanjuti dengan pemaksaan, atau kekerasan fisik maupun verbal. Dan demokrasi—jika kita masih percaya padanya—menjunjung tinggi kebebasan berpikir. Nah, di sinilah demokrasi menjumpai paradoksnya: ia mendukung kebebasan berpikir, bahkan bagi pikiran yang membenci kebebasan berpikir itu sendiri.

Lucu, memang. Namun sekalinya orang yang mengaku mendukung demokrasi kok bersikap menolak suatu bentuk kebebasan berpikir dan kebebasan mengekspresikan keyakinan, maka sejatinya dia tak lagi demokratis.

Mungkin kita bisa sedikit belajar dengan apa yang terjadi di Amerika hari-hari ini. Trump, presiden baru mereka, bersikap memusuhi Islam. Sebagai respons, masyarakat non-Islam (yang kafir di mata umat Islam) memberikan dukungan kepada umat Islam dengan, misalnya, ikut-ikutan berjilbab. Itu semua adalah simbol bahwa masyarakat sipil Amerika menolak diskriminasi, stereotip, labelling, dan lebih jauh lagi sebagai wujud dukungan atas kemerdekaan berkeyakinan, dan pengakuan bahwa iman personal berikut segala manifestasinya (termasuk jilbab bahkan burqa) merupakan hak yang wajib diberi ruang.

Saya kira poin-poin saya sudah jelas, Mas Kajitow. Tulisan ini sudah terlalu panjang, tapi saya eman-eman mau memangkasnya hahaha. Adapun tentang sikap kita yang sebenarnya keeropa-eropaan, bantahan dari sampeyan juga sangat tidak tuntas. Saya menyebut kemeja, setelan jas, kaos, jins, belum lagi sistem pendidikan, sistem administrasi, peradilan, hingga tata cara makan, sebagai bentuk-bentuk warisan Eropa yang kita amalkan secara kaffah. Namun Mas Kaji cuma membahas jins dan kaos oblong saja (produk budaya yang konon sudah milik dunia itu) untuk membantah fakta betapa diam-diam kita ini sangat keeropa-eropaan.

Teori-teori pop culture pun, sebagaimana segala jenis teori lainnya, bukan merupakan kebenaran tunggal yang mesti diposisikan sebagaimana teman-teman kita memposisikan “salah satu versi tafsir dari Al-Maidah 51”. Kita masih bisa menggugat, betulkah kaos Angkatan Laut Amerika, yang mencapai puncak ledakan popularitasnya karena dipakai Marlon Brando aktor Amerika, dalam sebuah film Amerika, benar-benar bisa lepas 100% dari DNA ke-Amerika-annya.

Tapi itu kita obrolkan kapan-kapan saja, Mas Kaji. Saya mau menyisiri jenggot saya dulu.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga