Temanku yang Tidur di Selokan

temanku yang tidur di selokan

Nak, aku sudah pernah cerita padamu kan, kenapa kita harus menjauhi minuman keras. Alasannya sederhana, karena pemabuk tidak pernah ada dalam trah keluarga kita. Namun seandainya pun alasan itu tidak –atau bahkan terlalu– sederhana bagimu, izinkanlah aku menceritakan kisah ini. Kisah yang terjadi jauh sebelum kamu lahir. Itulah saat aku berkelindan dengan masa mudaku yang tidak melulu berisi kisah ceria.

Aku sering bilang padamu kan, Nak, selain apa yang agama yang larang, akan aku bebaskan dirimu memilih jalan. Tapi siapalah kita ini, Nak. Usaha kita untuk menjadi pemeluk teguh seringkali terkalahkan dengan gampang oleh hal-hal sepele. Maka menurutku penting untuk saling mengingatkan.

Percayalah. Ini pun akan penting bagimu. Masamu kelak bisa jadi masa di mana orang begitu mudah melibas batas. Masa di mana hangover di pagi hari tak menyisakan sedikit pun penyesalan melainkan hanya gerutu menunggu kapan pening di kepala hilang. Kamu tahu, Nak, sekalipun mabuk itu terlarang dalam keluarga besar kita, toh aku juga harus mengakui bahwa aku pun tak sebersih yang kau pikirkan. Alkohol pernah masuk dalam darahku, melalui obat batuk pasaran dan satu sloki Baileys yang ditawarkan oleh seorang kawan yang aku kira karamel. Itu saja. Tapi tak pernah seingatku aku membeli untuk sengaja menghilangkan kesadaran. Masa itu, Nak, aku punya banyak masalah yang bahkan dalam keadaan sadar sekalipun susah untuk aku selesaikan, apatah lagi dalam keadaan mabuk. Sesederhana itulah alasanku mengapa aku tidak menjadi peminum.

Lagipula, ada banyak kejadian yang membuatku berjanji tidak akan menyentuh minuman keras.

BACA:  Hari yang Berat

Pernah pada suatu malam, aku dan teman-temanku berkumpul. Umurku saat itu 18 tahun, baru lulus SMA dan menganggur karena tak tahu jalan menuju universitas. Aku tak punya banyak pilihan selain bergabung dengan anak-anak muda di sekitar tempat tinggalku, nongkrong di pinggir jalan dekat selokan.

Aku ingat saat itu malam lebaran. Sebagai anak muda kampung, kami pun bersenang-senang. Dan bagi sebagian dari kami, itu artinya harus ada minuman penghilang ingatan. Lupakan Heineken atau Wild Turkey, itu terlalu mahal bagi kami. Topi Miring, Cap Tikus, atau bahkan tuak lokal, cukuplah bagi kami. Begitulah kami berteman. Yang mau mabuk silakan minum, yang tidak silakan menjadi penonton. Aku ada di golongan penonton.

Kawanku Soib –sebutlah namanya begitu– yang menjadi pemimpin golongan peminum. Dia bertugas membagi minuman agar semua rekannya bisa mencapai taraf kehilangan kesadaran yang sejajar. Maksudnya, semua harus sama mabuknya. Tak ada yang boleh tertawa lebih keras dari yang lainnya. Soib selalu bisa memimpin dan memutuskan kapan harus menambah atau berhenti, sehingga pada akhirnya nanti semua peminum ini bisa pulang dengan selamat ke rumah masing-masing.

Tapi malam itu, aku tidak tahu betul bagaimana kelanjutannya. Karena besok lebaran, aku harus pulang membantu ibuku memasak penganan lebaran. Besoknya kami akan kedatangan banyak tamu yang singgah untuk sekedar bersalaman setelah shalat Id. Dan pagi itu, usai shalat Id, ada keramaian yang agak lain di jalan pulang. Beberapa orang singgah dan berkurumun. Aku terperangah. Itu tempat tadi malam kami berkumpul bersenang-senang. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi karena aku pulang duluan tadi malam.

BACA:  Bottle’s Neck Sadness

Lalu aku pun turut menyibak kerumunan. Tetua-tetua kampung juga sudah bergabung di situ, memandangi seorang anak muda tertidur di tepi selokan dengan botol-botol berserakan di sekitarnya. Itu Soib, dan tadi malam seseorang pasti lupa mengantarnya pulang. Dia terlalu mabuk untuk pulang sendiri dan akhirnya tertidur di tempat itu.

Aku membayangkan, betapa hancur hati ibuku seandainya aku yang didapati orang-orang tertidur di atas selokan itu. Menurutku, tak ada yang lebih berbahaya dari itu. Itulah salah satu sebab yang menghindarkanku dari menjadi pemabuk.

Ada banyak cerita, Nak, tapi aku simpan untukmu saja nanti. Kamu akan dengar cerita tentang kami yang bermain bola di pinggir pantai dan tiba-tiba salah seorang temanku saking mabuknya tiba-tiba membuka semua baju dan celananya, telanjang bulat dan berpikir dirinya bola. Untung saat itu malam temaram sehingga tak banyak orang yang melihat betapa hebatnya alkohol bisa membuat seseorang jadi tampak bodoh seketika.

Atau kisah dua orang sahabat kami di acara makan bersama.

“Hari gini masih pakai jerigen? Botol dong…” kata salah satu teman kami. Dan teman yang membawa tuak dalam jerigen itu tiba-tiba tersinggung luar biasa. Begitulah etanol bisa membuat sebuah lelucon biasa tiba-tiba jadi berbahaya dan memicu perang. Dua-duanya dalam keadaan setengah sadar. Dan dua badik tiba-tiba ikut terhunus. Satu kawanku terluka di bagian perut, dan satu orang lainnya harus diungsikan ke Kalimantan oleh orangtuanya malam itu juga karena polisi terlanjur datang.

BACA:  Integritas di Tempat Kerja

Jadi, Nak, kalau ada sekelompok orang yang menggalang kekuatan untuk melawan peredaran minuman keras yang tidak terkontrol, kita wajib untuk memaklumi. Sudah banyak kerusakan-kerusakan yang kita lihat bisa disebabkan oleh minuman keras. Mudah-mudahan pemerintah turut bekerja keras dalam hal ini, sehingga kita tak perlu lagi mendengar ada anak muda yang berpikir dirinya bola, dua sahabat yang saling tikam, atau anak-anak manja yang pulang dugem di pagi hari dan menabrakkan mobilnya dengan sembarangan di tiang listrik atau ke orang yang berdiri di pinggir jalan.

Dan tentu saja, Nak, ini penting, agar tidak ada lagi orangtua yang hancur hatinya karena anaknya tidur di selokan.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga