Tante Anna dan Tante Helen – Dont Pay It’s Free

foto: Ni Nyoman Anna - Don't pay, It's Free!

River, minggu lalu aku mengajakmu bertemu teman lama Ayah. Namanya Ni Nyoman Anna, tapi aku lebih sering memanggilnya Anna. Anna gadis Bali yang besar dan kuliah di Makassar. Kami dulu satu kampus tapi beda jurusan. Aku di jurusan Komunikasi, dia di Hubungan Internasional. Sebenarnya, waktu di kampus itu kami malah tidak terlalu akrab. Mungkin karena ideologi aktivisme kami yang jarang beririsan. Aku mahasiswa malas nyaris drop-out, sedangkan Anna bersama teman-temannya terlalu sering berbicara isu-isu internasional yang tidak aku pahami.

Lalu lama kami tidak bersua. Kabar terakhir yang aku dengar, dia melanjutkan sekolah post-graduate ke Inggris, lalu menikah dan punya anak. Menghilang lama dari radarku, Anna rupanya sudah kembali ke Makassar, dan melakukan banyak hal. Kenapa aku akhirnya menulis tentang ini, karena aku mengagumi apa yang Anna kerjakan.

Minggu lalu itu, kita bertemu di sebuah kedai kopi di Pejaten Village. Anna yang bekerja di sebuah NGO internasional, sedang ada tugas di Jakarta. Beruntung Anna punya waktu luang sehingga kami bisa ngobrol ngalur ngidul. Sekalian juga aku ajak kamu dan ibumu. Sebagai sesama ibu muda, mereka berdua cepat akrab. Tante Anna ini juga punya anak balita seumuran kamu. Namanya Arung.

Besoknya, aku lihat ibumu mengumpulkan beberapa baju bekas dan sepatumu yang sudah tidak muat lagi. Anna mau pulang ke Makassar, dan kami akan menitipkan barang-barang itu.
Kenapa juga Anna mau bersusah payah membawa barang-barang bekas kita ke Makassar, begini ceritanya.

Rupanya Anna sedang mengerjakan sebuah proyek amal di Makassar, proyek sederhana yang menurutku luar biasa. Namanya Don’t Pay, It’s Free!. Don’t Pay, It’s Free! adalah semacam ajang bertukar barang gratisan. Siapa pun yang punya barang-barang layak pakai dan bersedia berbagi, bisa ikut acara ini. Barang apa saja, misalnya gelas, piring, baju bayi, alat-alat dapur, dan lain sebagainya. Menurut Anna, sharing barang gratis semacam ini adalah salah satu cara untuk menyelamatkan Bumi dari dampak buruk lingkungan.

BACA:  Sarjana
foto: Ni Nyoman Anna - Don't pay, It's Free!
img: Ni Nyoman Anna – Don’t pay, It’s Free!

Komunitas Don’t Pay, It’s Free! ini terbuka bagi siapa saja yang mempunyai misi yang sama untuk mengurangi sampah dan konsumerisme serta menjalin relasi sosial tanpa didasarkan pada nilai uang.

Tujuannya adalah mempromosikan gerakan sosial yang mengedapankan pada kecintaan pada lingkungan dengan mendaur ulang barang-barang yang sudah tidak terpakai namun masih layak, dengan membagikannya secara gratis kepada orang-orang yang membutuhkan. Semangatnya adalah “Berikan yang masih baik, ambil yang diperlukan saja.

Ide memulai gerakan Don’t Pay, It’s Free ini diperoleh Anna saat masih menuntut ilmu di Brighton, Inggris.
“Di kampusku, Institut of Development Studies (IDS), ada satu ruangan yang khusus menampung barang-barang bekas tapi masih bagus milik mahasiswa yang sebelumnya sudah lulus. Rata-rata kan mereka dari luar Inggris, jadi biasanya mereka meninggalkan barang-barangnya seperti gelas, piring, buku, folder, atau bahkan selimut dan bantal,” cerita Tante Anna.

Barang-barang layak pakai itu memang sengaja ditinggalkan daripada dibawa pulang atau dibuang. Ongkos membawa pulang bisa lebih mahal, dan di Inggris juga tidak boleh sembarangan membuang barang.

“Nah, para mahasiswa baru macam saya sangat tertolong dgn ‘warisan’ mereka ini. Daripada beli lagi, jadi bisa lebih hemat. Yang diambil juga yang kita perlukan saja. Begitu saya pulang juga, saya membawa barang-barang yang saya punya ke kampus untuk di-share lagi atau diberikan ke teman-teman dari Indonesia yg baru datang.”

Tante Anna juga cerita waktu baru saja melahirkan Arung. Di klinik-klinik untuk Ibu dan Anak di sana, ada sudut khusus untukmenyimpan baju-baju bayi dan toddler yang bisa diambil secara cuma-cuma. Ada kelompok ibu-ibu yang mengatur dan saling barter.

“Lumayanlah. Baju-baju, celana, sepatu, mainan Arung hasil freecycle semua, soalnya memang cepat sekali besarnya dan pakaian bayi kalau dibeli baru mahal sekali,” kata Tante Anna lagi.

BACA:  Ayah yang Tak Pernah Keren

Pengalaman bertukar barang freecycle itu rupanya sangat membekas bagi Tante Anna dan akhirnya diterapkannya saat kembali ke Makassar.

Tanggal 7 September 2012, Anna mulai menggelar pasar gratis pertamanya ini di area Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Hasanuddin. Sambutannya cukup ramai. Banyak yang datang membawa barang untuk disumbangkan. Tante Anna dan kawan-kawannya sengaja mengadakannya di area kampus agar idenya bisa direplikasi dan diteruskan oleh mahasiswa-mahasiswa yang masih muda.

img: Ni Nyoman Anna - Dont Pay Its Free
img: Ni Nyoman Anna – Dont Pay Its Free

Sekarang, siapa saja bisa ikut terlibat. Rencananya tanggal 4 Oktober besok, Tante Anna akan membuka lapak gratisan ini lagi di area lain, masih di sekitar kampus Unhas. Kalau ada yang berminat, bisa langsung datang men-drop barang yang ingin disumbangkan.

Terpelajar dan tercerahkan. Inilah kesanku mengenai sosok Anna. Ada banyak orang yang ilmunya sudah tinggi, tapi hatinya tidak membumi. Mereka lupa pada tanggung jawab sosial sebagai orang yang paham dan tahu. Anna, menurutku, ada di sisi yang lain.

Apa yang dilakukan Anna ini, River, mengingatkanku pada seseorang bernama Helen Rey Heller. Kisahnya pertama kali aku lihat melalui liputan VOA tanggal 23 April 2012.

Di dekat tempat tinggal Helen di Portland, Oregon, Amerika Serikat, ada sebuah tempat bernama Rose Haven. Tempat ini adalah semacam rumah singgah bagi perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma penyiksaan, juga bagi mereka yang tidak memiliki tempat berteduh.
Rose Haven menyediakan makanan gratis, pakaian, layanan klinik, penyuluhan, hingga pelatihan keterampilan. Rose Haven setiap hari ramai didatangi orang-orang yang ingin mengisi perut dan menghangatkan tubuh.

Di tengah budaya yang materialistis dan komsumtif, Rose Haven bisa tetap berjalan salah satunya karena peran para relawan yang bekerja tanpa pamrih. Helen Rey Heller ada di antara mereka. Direktur Rose Haven, Suster Cathie Boerboom, mengaku sangat terbantu oleh para relawan yang umumnya adalah perempuan ini.

BACA:  Bukan Bobo

Helen hidup bahagia bersama suami dan tiga anaknya. Helen bergabung dengan Rose Haven setelah keluar dari pekerjaannya pada tahun 2000. Di komunitas saling berbagi ini, Helen bekerja menyediakan makanan, minuman, atau selimut hangat bagi para pengunjung Rose Haven. Semua pekerjaan itu dilakukannya dengan gembira. Bekerja suka rela bagi Helen Rey Heller menjadi jalan untuk untuk memberikan kembali –atau meneruskan– kepada lingkungannya, semua kebahagiaan dan rezeki yang telah diperoleh keluarganya selama ini.

Tak berhenti sampai di sini, Helen terus mengembangkan niat baiknya hingga ke kampung halamannya di Manado. Di Manado, Helen mendirikan rumah singgah untuk anak-anak yang kurang mampu. Helen juga aktif di lembaga yang menentang human trafficking.

Nak, kisah Tante Helen, Tante Anna, atau siapapun orang baik di dunia ini akan selalu aku taruh di halaman depan cerita-cerita pengantar tidurmu. Ada seorang teman yang berpesan, “Di rumahmu, jangan sampai materi menjadi pertimbangan utama.”

Kita sedang membangun rumah, Nak. Dan ini sudah pasti berat. Semoga kisah-kisah semacam ini bisa membantu meringankan.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga