Tangan Belang

Sarung Tangan Bikers

Kemarin aku akhirnya menepikan motor, mampir di penjual masker dan sarung tangan. Penjualnya ibu-ibu ditemani oleh –aku duga– suaminya yang sepertinya agak sakit. Duduk di dipan bambu, bertumpu pada kedua tangan sehingga membuat pundaknya menjadi lebih tinggi dari pangkal lehernya. Postur tipikal orang yang bermasalah dengan pernapasan.

Aku memberinya senyum. Dan dia menunjuk tulisan di dada sebelah kiri bajuku.

“Dulu banyak yang masuk juga,” katanya.

Aku agak bingung apa yang bapak itu maksud. Aku melihat ke ibu-ibu penjual yang sedang mencarikan sarung tangan yang ukurannya paling besar untukku. Agak susah memang mencari yang cocok. Kalau ukurannya besar biasanya agak mahal.

“Bapak dulu kerja di koran,” si ibu akhirnya memaklumi kebingunganku.

Aku cuma bilang “Ooo” pendek. Mungkin maksud ibu itu dulu suaminya itu kerja di agen koran dan media tempatku menumpang cari makan saat ini juga sering dia jual.

Aku menduga yang dia maksud adalah tabloid cetak yang namanya mirip, salah satu yang dibreidel bersama Tempo oleh pemerintah Orde Baru.

Aku akhirnya memutuskan beli sarung tangan dan masker, Nak. 3 bulan lebih naik motor, aku mulai menyerah. Kalau malam sampai di rumah sering batuk-batuk. Nggak parah sih, tapi lumayan juga. Selama ini aku pakai scarf yang dililitkan. Tapi rasanya kurang praktis. Soalnya itu memang bukan scarf buat penyaring udara. Itu scarf motif camo yang sering dipakai militer. Temanku yang tempo hari beli di eBay.

Aku beli masker yang murah meriah saja. 10 ribuan. Jauh lebih hemat dibanding yang disposable. Sempat kepikiran mau beli yang seperti punya polisi anti huru-hara, tapi rasanya aneh. kayak alien. Di kantor sih ada. Kemarin dipakai teman-teman liputan waktu Sinabung meletus.

BACA:  Bottle’s Neck Sadness

Adapun sarung tangannya — nama kerennya glove ya?– juga yang murah. 15 ribuan. Ini terpaksa aku beli karena lenganku sudah mulai mirip papan catur. Jelek-jelek begini, aku aslinya putih juga. Kenyataan hidup yang bikin aku jadi hitam. Sering dihajar matahari begini, jadilah aku belang-belang kayak zebra. Bagian lengan yang ketutupan seragam atau jaket, terjaga keputihannya (bah, istilah apa ini!) sedang bagian tangan termasuk jari-jari jadi lebih gelap seperti Paris Hilton habis tanning.

Jalanan Jakarta ini, Nak, eh, Tangerang juga ding, tidak hanya menguji kehalusan kulitmu, tapi juga kesabaranmu. Tak pernah ada sehari tanpa mendengar serapah di jalan ini. Tapi itu mereka, Nak, aku belum minat bergabung ke kelompok itu. Sejak awal pakai motor, aku sudah bertekad akan menjadi pemotor yang sesuai anjuran P4. Aku bertekad tidak akan mengklakson orang kecuali untuk keperluan yg diatur Undang-undang Lalu Lintas.

Aku selalu kagum pada ritus keberagamaan orang-orang kota. “Fardhu kifayah” selalu berusaha diupgrade menjadi “fardhu ain”. membunyikan klakson di lampu merah, misalnya. Sebenarnya dengan satu atau dua orang yg melakukannya –yaitu untuk mengingatkan pengendara di depan bahwa lampu sudah hijau– maka gugur kewajiban individu lain untuk melakukannya. tapi fardhu kifayah (kewajiban kolektif) ini dijadikan fardhu ain (kewajiban individual), akhirnya semua orang merasa wajib membunyikan klakson…

BACA:  Oleh-oleh Ayah

Aku juga selalu berusaha mendahulukan pejalan kaki. Di persimpangan tanpa lampu merah, aku selalu mendahulukan kendaraan lain, dari arah manapun mereka datang. Aku juga selalu, lagi-lagi, b-e-r-u-s-a-h-a tidak melanggar lampu merah. Kata temanku, orang yang suka mencuri-curi di lampu merah (belum hijau sudah jalan, sudah merah masih dilanggar), adalah orang yang berpotensi korupsi bila dia ada kesempatan. Kalau berhenti di belakang Zebra Cross, aku tidak berani menjamin patuh. Mobil-mobil jarang yang mau memberimu kesempatan untuk berhenti di tempat yang benar. Seperti di Jogja atau Bandung yang menyediakan area khusus untuk pengendara motor sehingga mereka tak perlu maju sampai ke depan.

Di sini, di jalanan kota ini juga, aku melihat betapa manusia bisa menjadi sedemikian egois dan jahat. Ada mobil yang kesulitan belok atau memutar arah, bukannya dipandu atau diarahkan, malah diklaksonin kencang-kencang, seolah-olah ia mau tinggal berkemah di situ.

Apa yang membuat kita sedemikian terburu-buru? Kemarin aku tak henti menyesali diri, karena tak singgah membantu seorang anak kecil yang kesulitan menyeberang di Kebayoran Baru. Dia sudah melambai-lambai tapi pengendara tak ada yang memberinya jalan.

Ada yang bilang, kota ini yang membuat kita menjadi jahat. Bisa jadi. Tapi kita harus yakin kepada kualitas diri. Kita tidak selemah itu.

Jalanan ini tidak ada apa-apanya. Aku percaya, jika jalanan ini membuatku jahat, maka aku akan lebih jahat lagi di tempat lain.

BACA:  Tak Perlu Menangis

Bisa saja kita membeli sarung tangan Fox atau AGV yang harganya setengah harga motor matic supaya tangan tidak belang. Tapi tak tahu apa yang bisa kita pakai supaya hati tidak belang.

Aku bukan orang yang sangat sabar, Nak. Sesekali aku juga marah, berteriak, tapi aku biarkan hanya bergema di dalam. Itulah gunanya kaca helm. Melindungi matamu dari debu dan mencegah orang lain terluka oleh sebab sesuatu yang belang di hatimu.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga