Tamasya ke Masa Kanak-kanak

Pada pekan yang sibuk, seorang kawan lama yang baik mengirimkan beberapa buku. Ia benar-benar kawan yang baik, mengingat kawannya yang lain dengan cara yang istimewa. Betapa seringnya ia mengirim buku tanpa pernah saya minta untuk melakukan itu. Dan, betapa seringnya saya kegirangan karena mendapat asupan gratis. Dan, sepertinya saya selalu lupa mengucapkan terima kasih. Demikianlah cara ia mengingatku, katanya dalam sebuah pesan singkat. Duh, lalu kawan macam apakah saya ini?

Intensitas kirimannya kok rasanya lebih sering dibanding kiriman pesan singkatnya untuk sekadar berkata “Hai”. Banyak kawan yang rutin mengirim pesan, bergosip ria, berdebat, dan lain-lainnya tatkala mereka sedang mengingat saya. Saya termasuk di antaranya, saat teringat kawan, maka yang terpikir adalah segera membuka media sosial dan ber-hahahihi atau ber-wekaweka sepuasnya. Tapi Inayah, kawan baik itu, memilih cara yang tak lazim. Mengingat dengan buku.

Terakhir, ia mengirimkan lebih banyak lagi buku dan sebuah flashdisk berisi film animasi yang menurutnya sangat absurd. Kalau tak salah, film itu pun pernah ia rekomendasikan (atau kirimkan?) ke kawannya yang lain. Kawannya mengaku tak suka dengan keabsurdan film animasi itu. Saya pun lalu menontonnya karena ingin tahu seberapa absurdkah film itu? Inayah memang ahlinya jika membahas film. Saya harus duduk jauh di belakangnya untuk menyimak dan memahaminya. Seleranya pun tergolong aneh. Semakin absurd semakin seru.

BACA:  Masih Ada Tuhan di Kalijodo

Saat menerima buku dan flashdisk tersebut, saya berpikir, barangkali Inayah sedang ingin mengajak saya tamasya ke masa kanak-kanak. Barangkali ia tahu bahwa saya sedang hidup di dunia orang dewasa dan lupa pada kebahagian tak terukur di masa kanak-kanak, meski itu sekadar menonton sebuah film animasi. Jangan-jangan Inayah memang seorang cenayang -sebagaimana yang kami tuduhkan selama ini- yang mampu membaca kemuraman kami.

Betapa tidak, di tangan saya telah tiba enam buku lucu karya Morris Gleitzman, seorang penulis cerita anak-anak dari Australia. Kita butuh tersenyum dan meringankan cara berpikir. Kita butuh tertawa untuk memahami perkara-perkara yang mengelilingi siapa pun kita ini, persis putaran jarum jam yang tidak pernah mati dan berhenti. Kalau baterainya mati, lain lagi dong masalahnya. Wekawekaweka….

Kita butuh tamasya ke masa kanak-kanak, kira-kira itu yang ingin disampaikan Inayah pada saya. Mungkin.

Jika tamasya ke masa kanak-kanak bisa lebih sering, saya pikir –mengikuti gaya Ro di Blabber Mouth- dunia bisa lebih ringan dari berat badannya saat ini. Dunia mengandung banyak perkara. Kepala kita menanggung banyak kemuraman.

Jika mengingat teman dilakukan dengan cara mengirimkannya asupan buku gratis, saya pikir warung makan atau kafe akan sepi pengunjung traktiran.
 

BACA:  Iwan
Dalasari Pera
Latest posts by Dalasari Pera (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga