River, kira-kira tiga minggu yang lalu, aku bertugas di gedung pengadilan. Itu gedung pengadilan khusus untuk mereka yang tersangkut kasus korupsi. Pengadilan Tipikor namanya.
Hari itu ramai sekali. Aku dan teman-teman lain sudah menyemut pagi-pagi. Sebagai pemburu berita, kami memang harus selalu datang lebih cepat, bahkan lebih cepat dari petugas pembuka pintu. Memasang tripod dan kamera, mengurut kabel-kabel, dan memastikan koneksi agar apa yang terjadi di ruangan ini bisa disaksikan penonton di luar sana.
Hari itu memang cukup penting dalam sejarah peradilan korupsi di Indonesia. Sidang perdana kasus korupsi seorang perempuan elok. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat ini didakwa menerima pemberian atau janji dari pihak lain senilai puluhan miliar sebagai sogokan atas jasa menggiring anggaran proyek di dua kementerian. Dia hadir di pengadilan dengan blus berwarna putih cerah dan kacamata bergagang tebal. Baju bertuliskan “Tahanan KPK” yang tadi sempat dikenakannya, sudah dilepas sebelum memasuki ruang sidang. Seperti dulu saat masih berstatus saksi, garis wajahnya tetap terlihat tenang dan anggun.
Di belakang, di deretan bangku pengunjung yang dibatasi pagar, seorang pria tua duduk dengan mata basah. Tak lepas pandangannya mengikuti hakim mencecar perempuan yang duduk di kursi pesakitan itu. Perempuan itu putrinya, dan pada sebuah tahun juga pernah menjadi putri seluruh masyarakat Indonesia. Putri Indonesia.
Aku membayangkan pria itu adalah aku, Nak. Pasti pedih sekali melihat anak yang kau sayangi duduk di situ, sebagai orang yang dituduh lancung, melanggar hak orang lain. Semoga dia adalah ayah yang tabah, karena sungguh tak banyak hal yang lebih menyakitkan daripada itu.
Begitulah. Semakin hari, semakin banyak kita dengar hal-hal seperti ini. Tentang orang yang tidak jujur, amanah yang diselewengkan, atau hak orang lain yang tidak ditunaikan. Apalagi di pekerjaanku ini, setiap hari bertemu orang baru dengan bermacam watak dan motif. Tak jarang, perjumpaan dengan orang-orang semacam ini mengoyahkan jarum cara pikirku. Jangan-jangan, memang seperti ini seharusnya. Jangan-jangan, tak ada lagi orang yang jujur di dunia ini. Jangan-jangan, hidup tanpa korupsi itu utopis. Jangan-jangan, kita inilah yang aneh…
Maafkan, Nak, bukan bermaksud berbangga hati. Namun izinkanlah aku untuk selalu mengulang-ulang cerita ini. Cerita lawas yang akan membantumu tumbuh melawan rasa was-was tentang kebenaran dalam duniamu yang kelak berubah.
Kejadiannya sudah puluhan tahun yang lalu. Ada seorang anak kecil, kira-kira masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar saat itu. Sebutlah namanya Uce. Setiap malam, seperti biasa, Uce duduk melantai bersama kakak-kakaknya setelah makan malam selesai. Di tengah mereka ada sang ibu, memeriksa tas sekolah anak-anaknya seperti malam-malam sebelumnya. Adalah kebiasaan sang ibu untuk melakukan hal itu, sekadar memastikan anak-anaknya membawa pulang pelajaran dari sekolahnya, dan bukan hanya lumpur yang melekat di baju seragam.
Ketika memeriksa tas sekolah Uce, Ibu menemukan sebatang pensil yang masih baru. Merasa tidak pernah membelikan pensil seperti itu, Uce pun diinterogasi oleh Ibu.
“Ini punya siapa?” tanya Ibu.
Uce mengaku menemukan pensil itu di bawah bangkunya. Ibu marah. Dan setelah beliau memperingatkan anak-anaknya untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, malam itu juga Ibu menyuruh Uce mengembalikan benda itu ke tempat dia menemukannya.
Sekolah Uce memang tidak terlalu jauh dari rumah, tapi kalau harus berkeliaran malam-malam demi sebatang pensil, sepertinya bukan urusan yang menyenangkan. Tapi Ibu tak mau tahu, baginya sebuah ketidakjujuran tak pantas dibiarkan menunggu pagi.
Dan malam itu juga, ditemani salah seorang abangnya, Uce ke sekolah dan meletakkan kembali pensil itu di bawah bangkunya. Entah di jalan menuju atau pulang, Uce menangis malam itu.
Dalam Islam, ada diajarkan tentang sifat wara’. Wara’ artinya senantiasa berhati-hati terhadap sesuatu yang tidak jelas hukumnya, halal-haramnya. Bila meragukan, tinggalkan. Dan sifat wara’ sang ibu inilah yang terus menjadi pegangan bagi Uce dan saudara-saudaranya menjalani hidup.
Kisah berlanjut. Belasan tahun kemudian, Uce sudah menjadi dokter gigi dan bertugas di sebuah klinik perusahaan minyak di Kalimantan. Pernah suatu ketika, karena ada urusan pribadi, dia terpaksa tidak bisa masuk beberapa hari dalam sebulan. Pihak manajemen klinik yang selama ini puas dengan pekerjaan Uce, sama sekali tak merasa keberatan dan tidak menerapkan pemotongan gaji. Namun, suatu hari Uce menghadap kepada direktur klinik. Sang direktur yang mengira Uce ingin meminta kenaikan gaji, dibuat terkejut karena Uce justru minta gajinya dikurangi.
“Bulan ini hari kerja saya berkurang. Saya tidak berhak untuk gaji sebesar bulan sebelumnya,” katanya.
Begitulah kisah ini senantiasa aku ceritakan kembali kepadamu, Nak. Sekali lagi, tiada maksud apa-apa selain meneruskan hikmah. Uce juga bukan siapa-siapa. Dia hanyalah seorang anak muda yang selalu berusaha menjaga lurus jalannya. Aku mengenal Uce dengan baik. Karena akulah si abang yang menemaninya mengembalikan pensil ke bawah bangkunya. Saat dia menangis malam itu, akulah yang berusaha menenangkannya.
Tak perlu menangis untuk didikan keras namun baik. Kami hanya boleh menangis jika suatu saat kalah melawan keinginan khianat, atau gagal mendidik anak dan terpaksa melihatnya duduk di kursi terdakwa karena mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Jika demikian, aku pasti akan menangis, Nak. Dan semoga itu tidak perlu terjadi.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023
ceritanya Keren mas.
sukses terus
subhanallah ..
keren, menyentuh banget mas..
tapi saya jadi ingin menangis bacanya …
selamat ya, tulisannya juara satu 🙂
selalu membuat terdiam tulisanmu bang ochan
kak, saya pernah dengar cerita ini dari kak ome,dan akhirnya sy dengar dari kita secara langsung via tulisan di blog..:D
sederhana tapi menggetarkan kak..