Tak Ada Revolusi di Rak Buku Kita

Hildita Che

Saat kamu dan ibumu tertidur di kamar dan aku sedang menyuntuki buku lima ribuan yang sore sebelumnya sama-sama kita beli, sempat terpikir kapan kiranya waktu yang tepat untuk memperkenalkan padamu ide-ide ini. Hanya sebatas ide, Nak. Karena kelak kamu akan tahu aku bukanlah orang yang taat praksis. Pada banyak kesempatan, aku sering mengkhianati pemikiranku sendiri. Aku bukan orang yang cukup tangguh untuk hal ini. Andaikata pilkada, aku adalah semacam massa mengambang.

Aku ceritakan ini padamu karena revolusi sedang mendapat cobaan. Satu lagi revolusioner di zamannya tumbang. Muammar Khadafi terduduk tanpa daya, menyeka darah yang mengucur dari dahinya. Di tengah kerumunan orang yang membencinya, dia masih sempat memperhatikan telapak tangannya, sekadar memastikan itu benar-benar darah. Kita tahu, Nak, tak lama setelah itu dia tewas dengan luka tembak di perut dan kepalanya. Dia lalu dilemparkan begitu saja ke atas matras di sebuah ruang berpendingin bekas toko daging, menjadi tontonan dan bahan tertawaan.

Orang-orang yang mengerti bahasa Arab bilang, konon Khadafi sempat bertanya kepada pasukan pemberontak yang menangkapnya. “Apa salah saya? Apa yang saya perbuat kepada kalian?”

Begitulah. Hampir setengah abad berkuasa, Khadafi lengah pada dendam yang menumpuk di sekitarnya. Sorak-sorai dan puja-puji yang diterimanya 42 tahun lalu atas keberaniannya membebaskan Libya dari monarki, perlahan-lahan terlupakan. Nyaris tak ada lagi yang mengenangnya sebagai penggerak Revolusi Al-Fatah, seorang revolusioner.
Dia menjadi tak lebih dari seseorang yang semakin menguatkan nubuat bahwa “revolusi selalu memakan anak-anaknya sendiri”.

BACA:  Menjadi Cerdas di Dunia Maya

Tak seperti kawanku Dian Sukma yang pernah berkunjung ke tenda Khadafi di Libya, atau kawanku Brutus yang punya DVD King of Kings seharga 500 ribu itu, aku tak tahu banyak tentang Khadafi. Yang aku ingat waktu aku kecil, bapakku sering bercerita tentang Khadafi. Termasuk kisah-kisah lucu semisal Khadafi yang punya kembaran dan yang lebih sering muncul berpidato adalah kembarannya ini. Atau perihal pangkat Kolonel-nya, bahwa Khadafi sebenarnya berpangkat jenderal dan Kolonel itu adalah nama depannya. Karena Jenderal Kolonel tidak enak didengar maka yang dia pakai cuma Kolonel-nya saja.

Apapunlah itu, Nak. Yang pasti Khadafi kini telah sejajar dengan Saddam di dereten revolusioner yang tumbang. Mungkin karena lalai, mungkin karena bebal.

Suatu kali, dalam kegenitan cita-cita perubahan di kampus, seorang guru pernah menasehatiku. Kata beliau, revolusi adalah itikad baik sehingga butuh keberanian maksimal. Beliau mencontohkan para nabi dan rasul sebagai revolusioner sejati. Perjuangan para kekasih Allah ini selalu dimulai dengan upaya untuk membebaskan khalayak dari penindasan. Musa, Isa, Muhammad adalah pengobar revolusi agung. Tak ada keraguan atas itikad baik mereka untuk menghapus kedzaliman di tanah yang dipijak.

Itikad baik inilah yang mungkin dilupakan oleh Khadafi sehingga mengaburkan tujuan cita-citanya. Dia bersalinrupa dari seorang pembebas menjadi penindas. Hal semacam inilah yang mungkin dilihat oleh Che Guevara sehingga ia meninggalkan Fidel Castro dan memilih kembali bertempur di Bolivia hingga ajal menjemputnya.

BACA:  Didiagnosa Disleksia, Gadis Kecil Ini Membaca 1151 Buku Selama...

Memelihara cita-cita adalah hal yang sulitnya minta ampun. Seandainya Guevara atau Soe Hok Gie berumur panjang, tidak ada jaminan juga mereka akan tetap konsisten di perjuangannya. Banyak hal yang bisa membuat orang berubah.
Ada kawan yang mengaku betapa jijik dia mendengar kata “aktivis” atau “mantan aktivis”. Aku bisa memaklumi kejijikannya karena sekarang banyak aktivis yang berselingkuh dengan penindas yang dulu mereka lawan. Waktu dan kepentingan telah membuat mereka berubah seolah-olah Ksatria Baja Hitam.

Masih soal kejijikan kawanku itu, aku sih tak ada masalah, toh aku juga bukan aktivis. Meski kadang ada juga rasa malu hati karena pernah punya cita-cita untuk memperbaiki tata dunia. Padahal kamu lihat, Nak, tata rambutku saja berantakan.

Jadi, ini sesungguhnya cerita tentang apa, Ayah? Mungkin kamu bertanya begitu.

Bukan tentang apa-apa, Nak. Aku cuma mau kasih tahu, di rak buku yang sering kau bongkar itu, suatu hari nanti akan kau temukan ide-ide yang beterbangan. Kau boleh bersepakat atau bertentangan dengan salah satunya. Ada buku tentang Che Guevara, Sayyid Qutb, Paulo Freire, atau Subcomandante Marcos. Mereka itu para revolusioner. Tapi masihkah mereka relevan di zamanmu? Di zaman ketika apapun bisa di-komodifikasi?

Saat kau besar nanti, mungkin kau akan lebih tertarik pada iPad 28 atau Android 36.0, tapi cobalah sekali-kali kau bongkar lagi rak buku itu, Nak. Seperti saat ini kau sering membongkarnya bila kau bosan dengan mainan-mainanmu. Lalu setiap kau telah berangkat tidur, ibumu akan memunguti satu-satu buku yang kau hamburkan itu dan mengembalikannya ke rak.

BACA:  Mengapa Bahasa Indonesia Penting?

Tak seperti ide revolusi, River, begitulah ibumu mengatur cintanya agar tetap di tempatnya.

caption foto: Hildita digandeng ayahnya, Che Guevara, dan Comrade Antonio Nuneez Jimenez (1960). Sumber: A Revolution in Pictures: Fidel’s Cuba, by Osvaldo & Roberto Salas

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga