Tahan Banting

Kemarin, seharian aku merasa sebagai ayah yang tolol. Dimulainya pagi-pagi, Nak. Waktu aku dan ibumu mengajakmu jalan-jalan agar kamu mau makan. Sebenarnya hanya kami yang jalan, karena kamu duduk nangkring di atas sepedamu. Sepeda merk Family warna biru muda. Mirip sepedaku dulu waktu kecil, yang aku pakai sampai patah karena tak kuat lagi menanggung beban.

Mendorongmu muter-muter di sekitar rumah, kita sempat singgah di depan rumah orang karena kamu ingin melihat ikan dalam akuarium yang sengaja ditaro di depan rumah tetangga itu. Setelah itu ibumu membeli mangga dari tukang buah yang lewat, sekilo sepuluh ribu lima ratus rupiah. Kamu masih anteng meski masih tetap menolak sendok mendekati mulutmu.

Lalu kamu mulai merengek, Nak, minta turun dari sepeda. Karena kamu masih harus makan, kami tidak membiarkanmu turun. Aku menggendongmu dan membawamu jalan. Ibumu mengikuti sambil mendorong sepeda. Tiba di belokan dekat warung tempatku sering beli air galon, kamu makin merengek minta diturunkan dari gendongan.

“Ya udah, Ipaw mau apa?” kataku sambil menurunkanmu. Dan mulailah ketololan itu. Aku menurunkanmu agak jauh dari pusat pijakan kakiku. Rupanya gaya dorong yang kamu hasilkan ketika minta turun itu masih tersia sebelum berdirimu benar-benar kuat. Bukannya mulai jalan, kamu malah limbung. Aku tak sempat meraihmu lagi. Tahu-tahu kamu sudah nyusruk mencium aspal lorong. Terdengar bunyi buk! yang membuat hatiku bertambah pedih. Tangismu pun pecah di sepagi itu. Ibumu segera meraihmu, membawamu menjauh untuk menenangkanmu, meninggalkanku di belakang dengan perasaan bersalah.

BACA:  Mengapa Saya Golput #1

Tak ada yang luka, hanya sedikit memar di bagian kening dan atas bibir sebelah kiri. Sampai kamu mulai tenang dan siap lari-lari lagi, tidak demikian denganku, Nak. Perasaan bersalah itu tak kunjung hilang. Kejadian itu bukan pertama kalinya. Sudah beberapa kali kamu jatuh ketika berada dalam pengawasanku.

Dulu pernah, waktu masih masa-masamu pakai stroller. Aku mengajakmu nongkrong di depan pagar rumah besar milik Jenderal di depan rumah kita. Strollermu aku taro di samping, terkunci. Angin semilir. Aku hanya sekilas menoleh melihat sekumpulan anak kecil yang sedang bermain di ujung lorong dan tiba-tiba angin berhembus agak kencang. Tahu-tahu strollermu sudah jungkir. Bannya di atas. dan kamu masih ada dalam stroller itu….

Sepedih-pedihnya, aku belajar lagi satu hal. Mungkin seperti inilah yang dirasakan bapakku dulu. Pernah suatu ketika, aku ikut Bapak berkunjung ke rumah kerabat. Umurku kira-kira 6 atau 7 tahun. Rumah kerabat di Jalan Dakwah Makasar ini berada di pinggir jalan raya. Ada selokan besar di antaranya. Waktu itu malam hari dan aku asyik bermain dengan sepupu-sepupu sesama anak kecil. Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu aku sudah berada di antara cairan hitam pekat. Sisa pembuangan warga kota melumeri sekujur tubuhku seperti musuh Megaloman. Full body! Yang aku ingat, aku menangis kencang begitu bisa bernafas lega lagi tak lama setelah tangan Bapak menarikku naik dari selokan.

BACA:  Mata Kelapa, Mata Celana

Aku tak berpikir menyalahkan bapak waktu itu. Dan semoga kau pun tak menyalahkanku, Nak.
Kalaupun ketika kau beranjak besar nanti ada hal yang mungkin akan membuat kita saling menyalahkan, mudah-mudahan itu karena kita saling menyayangi.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga