Surat untuk Seorang Pemuda di Masjid Amerika

Beberapa hari sebelum Ramadhan, akhirnya saya bisa bertemu anak muda ini. Hanya beberapa jam menjelang ia berangkat.

“Saya tidak terlalu ingat kau, Dek. Saya cuma ingat Bosnia dan Dilla,” kataku kepadanya.
Dia masih balita saat saya berguru dan berkhidmat pada ayahnya. Bosnia dan Dilla adalah nama panggilan kakaknya. Dia sendiri bernama Chechnya. Nama lengkapnya Azizul Hakim Mansyur. Putra ketiga almarhum Dr. Mansyur Semma.

“Ibu menangis lihat videonya, Kak. Apalagi di situ ada suaranya Ayah. Sudah lama kami tidak mendengar suara Ayah…” katanya dengan suara tercekat.

Saya mengerti perasaannya. Ayahnya wafat saat ia masih kecil. Ingatannya tentang ayahnya pun mungkin tak banyak.

Berkaca pada diriku, saya pun pernah sangat rindunya pada suara bapakku, sampai-sampai di setiap kota yang saya datangi, saya singgah di mesjid-mesjid, mencari imam shalat yang suaranya mirip bapakku. Ada satu yang saya temui di sebuah mesjid di Maluku. Dan saya berlinang air mata seperti anak kecil ketika itu.

Sehingga, ketika mendengar keluarga almarhum Pak Mansyur mencari rekaman berita tentang beliau yang pernah tayang di TV tempatku pernah bekerja, saya berusaha keras membantu mencarikan. Saat itu kami memberitakannya karena Pak Mansyur berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dalam keadaan buta. Sebenarnya, tak lama setelah tayangan itu muncul di TV, Pak Mansyur menelponku meminta dikirimkan copy tayangnya. Saya sempat mengiyakan, dan segera lupa… hingga beliau wafat.

Berusaha melunasi utang itu, saya berjanji pada diri sendiri akan mengirimkan kepada keluarganya. Sayangnya arsip kami tak terlalu rapih. Copy tayangnya tak bisa ditemukan. Untungnya, saya berhasil melacak master shoot (tape rekaman liputan) yang dikerjakan oleh sahabat saya Ahmad Syamsuddin dan Utrich Farzah. Copy video itulah yang saya kirimkan ke Chechnya beberapa hari sebelumnya via Google Drive.

Meski tak akan pernah bisa membalas budi baik Pak Mansyur, setidaknya saya cukup senang bisa melunasi sedikit “utang” saya pada beliau.

Anak muda ini bilang ia senang sekali melihat dan mendengar suara ayahnya di video itu.

“Pak Mansyur juga pasti senang seandainya bisa melihatmu sekarang,” kata saya saat kami akan berpisah.
“Iya, Kak…”
“Jam berapa pesawatmu?”
“Jam 5, Kak…”

BACA:  Meski Hewan, Mereka Tidak Saling Memotong Pembicaraan

Saya menepuk punggungnya pelan. “Baik-baik di negeri orang ya.”

Sore itu, ia akan menempuh perjalanan jauh. Dari Cengkareng, ia akan transit di Dubai sebelum lanjut ke Bandara JFK.
Imam Shamsi Ali, imam masjid di Islamic Centre di New York, mengajak pemuda penghafal Quran ini untuk menjadi imam selama bulan Ramadhan di beberapa masjid di Amerika.

Lalu, lama saya tak mendengar kabarnya lagi. Hingga sebuah pesannya datang kemarin, di hari ke-15 Ramadhan.

Ia bercerita baru saja mengimami shalat di Masjid Al-Falah, Philadelphia. Salah satu surat yang dibacanya adalah Surat ‘Abasa, dan membuat air matanya menetes. Ia ingat ayahnya. Menurut Chehnya, di saat-saat terakhir hidup Pak Mansyur, beliau ingin sekali menghafal Surat ‘Abasa. Menurut ahli tafsir, Surah ‘Abasa diturunkan sebagai “teguran” bagi Rasulullah karena beliau sempat bermuka masam kepada Abdullah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang tuna netra.

Pada saat kami bertemu dulu, saya sempat bertanya pada Chechnya, apa yang paling dia ingat dari cara Pak Mansyur membesarkannya. Waktu itu dia berjanji akan bercerita bila ada kesempatan. Dan melalui pesan panjang mirip surat yang ia kirimkan via aplikasi Whatsapp, pertanyaanku sedikit terjawab.

Dia menulis:

Sampai saat ini saya belum mendapatkan foto kenangan kami berdua. Mungkin karena dulu teknologi belum secanggih seperti saat ini.

Tidak sedikit suka-duka yang saya alami ketika menemani Ayah. Pernah kami dikira pengemis ketika akan memasuki sebuah  hotel tempat beliau membawakan materi. Mungkin pakaian kami yang terlalu sederhana, atau karena ayahku yang seorang tuna netra. Entah.

Pernah juga saya menemani beliau naik angkutan kota menuju kampus. Belum juga kaki kami menapak di angkot, sopir angkot langsung tancap gas. Ternyata menurut sebagian orang, tuna netra dianggap sebagai pembawa sial.

Dengan berbagai ujian Allah, Ayah tetap tegar. Ayah pernah berkata, “Setidaknya aku bisa menunjukkan kepada diriku, keluargaku, dan orang-orang di sekitarku, terutama kepada saudara-saudaraku yang memiliki kekurangan fisik, bahwa menjadi tuna netra bukanlah akhir dari segala-galanya. Hidup harus tetap berjalan dan bermanfaat bagi orang lain.”

Membaca pesan itu, saya pun merasakan ada sesuatu yang menghangat di sudut mataku. Susah untuk tidak mengatakan betapa Pak Mansyur telah menorehkan banyak ajaran baik bagi kami murid-muridnya.

BACA:  Rahasia Bahagia di Usia 100 Tahun

Saya ingat saat Pak Mansyur menghampiriku yang sedang nongkrong di pelataran Baruga –gedung auditorium tempat kami sehari-hari menunggu kuliah. Di tangannya ada amplop coklat besar, yang ketika isinya dia keluarkan saya tahu itu foto rontgen.

“Ini batu ginjal saya,” katanya menunjuk selarik titik putih di negatif foto itu.

“Saya disuruh opname oleh dokter,” katanya lagi, yang disebutnya sebagai “perawatan ringan”. Dan beberapa hari kemudian beliau masuk rumah sakit. Saya tidak sempat menjenguknya di hari-hari awal perawatannya, tapi tiba-tiba saya mendengar Pak Mansyur kehilangan penglihatannya. Saya kaget. Demi Allah! Matanya baik-baik saja pada saat terakhir kami bertemu!

Kemungkinan beliau mengalami infeksi nasokomial, penyakit yang justru diperoleh pasien ketika dirawat di rumah sakit. Di kemudian hari, beberapa kali ngobrol dengan beliau, tak pernah sekalipun secara eksplisit dia menyebut kejadian yang menimpanya sebagai malpraktek.

Dalam masa perawatan karena ginjal di RS. Wahidin di Makassar itu, matanya tiba-tiba merah. Entah kenapa.
“Saat itu oleh mahasiswa kedokteran yang praktik dan dipandu satu dokter penanggung jawab, mata saya diberi sendothropi, kemudian diperiksa menggunakan kaca pembesar. Tapi setelah itu, bukannya mata saya sembuh, tapi malah tambah perih dan merah. Belakangan ketahuan kalau ternyata obat tetes yang diberikan ke mata saya sudah kedaluwarsa. Seminggu kemudian penglihatan saya gelap. Akhirnya setelah berobat ke sana kemari hingga ke Jakarta, dokter akhirnya memvonis mata saya buta total,” katanya saat diwawancarai KOMPAS.

Dalam rubrik profil di KOMPAS edisi 12 Desember 2006 itu, Pak Mansyur diwawancarai setelah beberapa hari sebelumnya berhasil memperoleh gelar Doktor dalam bidang ilmu sosial. Beliau berhasil mempertahankan desertasinya di depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin.

Momen itu menjadi istimewa karena studi S-3 itu dilakoninya dalam keadaan buta total yang menderanya sejak tahun 2001. Desertasinya yang berjudul “Negara dan Korupsi dalam Pandangan Mochtar Lubis” itu dikerjakannya dalam situasi serba prihatin. Pak Mansyur menganalisa pandangan Mochtar Lubis dalam editorial harian Indonesia Raya dengan pendekatan antropologi politik dan antropologi jurnalistik.

BACA:  Hal-hal Kecil yang (Bisa Jadi) Tak Kecil Akibatnya

Untuk mengerjakan penelitian dan mengejar narasumbernya yang kebanyakan berada di Jakarta, Pak Mansyur harus berjibaku dengan ritme Jakarta yang keras. Dalam keadaan buta, Pak Mansyur dituntun putranya, Bosnia, naik turun bis kota dan kereta api. Sering dia terjatuh karena terlambat naik atau bis tiba-tiba sudah melaju padahal beliau belum benar-benar turun.
Pernah juga beliau dan anaknya diusir karena dikira peminta-minta sumbangan, dan dibiarkan menunggu berjam-jam di pintu pagar di depan rumah narasumbernya.

Kisah itu diceritakan Pak Mansyur sambil tertawa-tawa ketika saya mengunjunginya di rumah tempatnya menginap di Jakarta. Baginya, hidup memang senantiasa indah. Dalam keadaan terang ataupun gelap.

Saya menuliskan kembali cerita ini untuk Chechnya, bocah kecil di masa lalu yang kini sudah besar dan memimpin shalat di sebuah masjid di benua yang jauh.

“Menjelang Ayah wafat, saya sudah belajar di pesantren. Saya hanya punya tiga hari bersamanya, waktu yang sangat sedikit, sebelum beliau menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Kadang saya sesali, tapi begitulah takdir punya jalan,” kata Chechnya.

Chech, saya mau bilang padamu. Kamu mungkin tidak punya banyak waktu bersama ayahmu di saat-saat terakhirnya. Tapi, percayalah, hal-hal yang diajarkan oleh ayahmu kepada orang lain –termasuk kami murid-muridnya– pada akhirnya akan sampai kepadamu juga.

Karena begitulah seharusnya hal-hal baik bekerja.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga