Someone’s Grandpa

River, kamu tidak punya kakek. Kakekmu dari pihak ayah wafat tahun 2006, dan kakekmu dari pihak ibu wafat jauh sebelumnya. Sekarang cuma ada foto-foto yang bisa kamu lihat, juga beberapa cerita dari kami yang mudah-mudahan tidak bosan kamu dengarkan.

Dan sekarang, aku tidak bercerita tentang kakekmu. Aku ingin bercerita tentang kakek orang lain.

Beliau seumuran bapakku. Tapi tampak lebih sehat dibanding umurnya. Aku percaya bahwa hidup yang keras bisa menempa seseorang dengan dua pilihan akhir. Terbunuh atau menjadi lebih kuat. Dan kakek yang aku ceritakan ini berhasil memilih yang terakhir. Hidupnya memang keras, dan itu membuatnya kuat.

Lepas SMA, ayahnya sakit dan ibunya tak punya pekerjaan. Berbekal kotak selebar badannya, dia menjajakan perhiasan imitasi di depan pasar Tanah Abang. Begitu setiap hari dia bekerja mencari makan.

Hidupnya berubah setelah pada suatu hari seorang berseragam hijau menendang kotak jualannya. Ada penertiban. Dagangannya hancur, berserakan bercampur lumpur.

Dalam kesedihan dan kemarahan, dia menengadah ke langit. Menggugat Tuhan.
“Maksud-Mu apa? Saya ini miskin. Bapak saya sakit. Dan Kau kirimkan orang-orang ini menghancurkan nafkah saya!” teriaknya.
Anehnya, di kerumunan itu, dia melihat orang-orang yang membantu memunguti barang dagangannya, membersihkan dan mengembalikannya ke kotak.

Berhari-hari setelah itu, dia tidak lagi bekerja. Modalnya habis. Namun dia selalu teringat pada orang-orang yang membantunya memunguti barang dagangannya. Sepatu lars dan orang-orang kecil. Kejadian itu membuatnya berpikir, kekuasaan bisa menjadikan seseorang menjadi sedemikian buruk namun orang-orang baik akan selalu ada.

Saat termangu di depan rumahnya, seorang gelandangan lewat. Tubuhnya sehat tapi bajunya compang camping. Meski demikian, sang gelandangan ini sama sekali tak mengemis.
Sesuatu menggerakkannya masuk ke dalam rumah, mengambil satu pasang dari tiga pasang pakaian yang dipunyainya, membungkusnya dan menyerahkannya kepada gelandangan itu. Tak ada obrolan apa-apa di antara mereka. Ucapan terima kasih pun tidak.

BACA:  Monster yang Lain dalam Dirimu

Sepeninggal gelandangan itu, sebuah surat panggilan tiba-tiba datang. Anak muda pengangguran ini dipanggil oleh sebuah kantor bank internasional yang baru membuka kantor di Jakarta. Bersamaan dengan panggilan itu, bank ini mensyaratkan surat keterangan sehat dari dokter yang jadwal pemeriksaannya sudah ditetapkan.

Dan bersamaan dengan hari pemeriksaan itu, ayahnya yang sudah lama sakit akhirnya meninggal. Lengkap sudah kesedihannya.

“Kami sangat miskin. Saking miskinnya, Bapak tidak bisa disemayamkan di dalam rumah karena rumah kami sangat kecil,” katanya bercerita.

Di ruang periksa, dokter melihat anak muda ini remuk oleh sakit dan kesedihan.
“Kamu kenapa?” tanya dokter itu.
“Bapak saya meninggal,” katanya.
“Bapak kamu meninggal dan kamu ada di sini?”
“Saya butuh pekerjaan, Dok..”
Dia menangis nyaris putus asa.
Dokter lalu menuliskan di surat keterangan: sakit tapi bisa diobati.

Surat keterangan itulah yang kemudian mengantarkannya memasuki sebuah gedung di Jalan Thamrin 57. Itu sekitar tahun 1967.

Di kantor ini dia mendapat pekerjaan sebagai pesuruh. Tugasnya adalah menjaga gudang stationery.
Suatu hari, ketika pegawai-pegawai baru sedang menjalani training, dia ikut berdiri di depan pintu ruangan, mencatat apa yang didengarkannya. Sebagai pegawai non-klerikal, dia tidak boleh ikut training.
Tiba-tiba, entah iba entah apa, seorang pengawas yang melihatnya menegurnya. “Hei, ngapain kamu di situ. Masuk!”

BACA:  Lestari Masih Ingin Pergi

Begitulah cerita ini berawal. Orang yang aku ceritakan padamu ini, Nak, akhirnya keluar dari kantor bank ini belasan tahun kemudian. Sebagai Vice President. Inilah jabatan tertinggi yang bisa dipegang oleh orang pribumi di bank internasional ini.

From Zero to Hero. Begitulah orang biasa menyebutnya. Tapi dia malah jengah dengan sebutan itu.

Sabtu kemarin, Nak, aku mengajakmu dan ibumu ke rumah kakek ini. Kita disambut dengan baik. Banyak cerita yang keluar dari mulutnya. Diajaknya juga aku melihat album foto.
Dan kamu, Nak, asyik bermain dengan Ana. Ana adalah salah seorang dari 37 anak yang tinggal di rumahnya. Ana umurnya sekitar 3 tahun, dia dibawa ke rumah kakek ini setelah ditinggalkan seseorang di depan sebuah toko pakaian.

Di rumah ini, semua memanggilnya Papa, kecuali 4 cucu yang memang lahir dari anak kandungnya. 37 anak itu berasal dari berbagai latar belakang. Mulai dari nobody’s child seperti Ana, anak dari ayah Korea yang tak mau bertanggungjawab, hingga anak terbelakang mental yang ditinggalkan di atas bus. Semua diasuh dan disayanginya seperti anak sendiri.

“Bukan asal mau berbeda, tapi saya lebih suka menjadi From Zero to Zero. Ini tujuan semua orang, bukan? Alangkah indahnya bila kita bisa meninggalkan dunia ini tanpa beban. Makanya saya tidak pernah tertarik menjadi politikus atau apapun. Saya sudah cukup bahagia dengan ini semua. Menjadi Nol…” katanya.

Dan aku percaya kepada ketulusannya, seperti tulusnya doa yang dia ajarkan kepada anak-anak itu.
“Ya Allah, ampuni dan sayangilah kedua orangtuaku…” begitu mereka mengulang doa selepas shalat magrib itu. Ada 15 anak laki-laki dan selebihnya perempuan yang makmum di belakangku. Anak yang ditinggalkan di atas bus Mayasari itu juga membaca doa yang sama.
Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa

BACA:  Lagu Baru Tulus dan Urat Lehermu, Dik...

Dan tak terasa air mataku menetes, Nak. Semoga kelak kau pun mendoakanku dengan tulus, dan memaafkan kesalahan-kesalahanku karena selalu membawamu ke jalan semacam ini. 
Jalan yang orang lain tak selalu bisa mengerti.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga