Menurutku Tere adalah salah satu penyanyi cewek terbaik di Indonesia. Setidaknya dulu, sebelum dia jadi politisi. Aku pertama kali tahu Tere waktu dia muncul bersama PAS Band di film Ada Apa dengan Cinta. Gila! Keren banget dia nyanyi lagu “Kesepian Kita” bersama Yukie.
Ingatkah kawan kita pernah berpeluh cacian
Digerayangi dan geliati kesepian…
…
Tapi kita juga pernah duduk bermahkota
Pucuk-pucuk mimpi yang berubah jadi nyata…
Kesukaanku kepada Tere semakin bertambah saat ia muncul lagi dengan sebuah lagu yang tak kalah keren. Judulnya “Mengapa Ini yang Terjadi”. Di lagu ini, Tere nyanyi bareng Valent.
Tiada yang salah dengan perbedaan.
Dan segala yang kita punya.
Yang salah hanyalah sudut pandang kita…
Iya, Nak, kali ini biarkan ayahmu melantur tentang sudut pandang. Perspektif. Atau dalam versi yang lebih njlimet seperti yang dirilis oleh Thomas Kuhn, kita menyebutnya paradigma. Tak ada niatku untuk gagah-gagahan menjelaskan definisi atau karakteristik istilah-istilah ini untukmu, Nak. Ilmuku belum sampai ke situ.
Aku hanya ingin menggambarkan dengan secara sangat sederhana betapa kita hidup dengan hal yang satu ini. Sudut pandang. Semua yang terjadi di depan mata selalu kita olah dengan perangkat sudut pandang sebelum kita membiarkannya mengendap di otak kita. Membentuk pola yang seterusnya akan mempengaruhi cara kita melihat dan memperlakukan sesuatu. Sudut pandang ini tidak semula-jadi, melainkan terbentuk sekian lama melalui banyak hal, semisal pola asuh, nilai, paparan informasi, hingga kultur di mana kita dibesarkan. Kekeliruan pada faktor-faktor acuan ini akan sangat mempengaruhi pembentukan sudut pandang. Karena hidup bukanlah belajar foto-foto di mana semua sudut pandang adalah benar. Oleh karena itu, Nak, seperti kata Mbak Tere, sudut pandang kita pun bisa salah. Soalnya adalah maukah kita berbesar hati mengakui kesalahan itu.
Satu ilmu tentang memperlakukan sudut pandang aku pelajari di dalam rimba Jambi. Suatu kali aku bertandang ke salah satu kelompok Orang Rimba. Orang Rimba adalah kelompok masyarakat yang mendiami hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas, Propinsi Jambi. Orang dari luar sering juga menyebut mereka Suku Anak Dalam atau Suku Kubu. Tapi dari obrolan sekilas, mereka lebih senang menyebut diri mereka Orang Rimba. Orang Rimba hidup dengan sangat sederhana dan bersahaja. Mencari makan dengan berburu, menangkap ikan di sungai, atau mengolah umbi-umbian.
Ada beberapa kelompok yang masing-masing dipimpin oleh seorang tetua yang mereka sebut Temanggung. Di sejumlah media mereka ditampilkan masih mengenakan cawat dan bertelanjang dada, dan kaum perempuannya mengenakan sehelai kain yang dililitkan sebatas dada. Meskipun telah ada yang tinggal menetap di sekitar perkampungan warga, namun masih banyak juga di antara mereka yang hidup nomaden. Hidup berpindah-pindah ini bukan kemauan melainkan lebih pada konsekuensi adat. Mereka menjalankan kepercayaan adat yang disebut melangun. Melangun atau berpindah tempat ini harus dilakukan apabila ada anggota kelompok yang sakit atau tertimpa kemalangan.
Kesalahan pertamaku ketika bertemu Orang Rimba ini adalah aku terpengaruh pada stereotip yang menyebut mereka sebagai suku terasing. Anggapan “terasing” ini karena aku memakai sudut pandangku sebagai orang kota yang merasa beradab dan tercerahkan. Padahal ketika masuk dalam lingkungan mereka, akulah sesungguhnya orang yang terasing itu. Ini sama saja kejadiannya ketika aku menganggap mereka buta huruf hanya karena mereka tidak bisa membaca dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Padahal ketika melihat mereka berkomunikasi dan membaca tanda-tanda alam, akulah sesungguhnya yang buta huruf. Mereka bisa menentukan arah mata angin hanya dengan meraba batang pohon. Kita belum tentu bisa, Nak.
Ada seorang perempuan bernama Butet Manurung yang mengabdikan sekian tahun hidupnya untuk berbagi pengetahuan dengan anak-anak Orang Rimba. Perempuan Batak kelahiran Jakarta ini mengadakan pendidikan alternatif di belantara Jambi ini. Butet yang saat itu memegang dua gelar kesarjanaan, memilih meninggalkan segala kemewahan dan kemudahan ibukota, berkutat dengan duri dan gigitan serangga ganas. Di pedalaman hutan, Butet mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung. Namun bukan karena menganggap mereka bodoh. Butet hanya ingin anak-anak orang Rimba ini kelak bisa berhadapan dengan masyarakat di luar kelompoknya tanpa terpedaya. Menghargai usaha Butet ini, TIME Magazine bahkan telah menganugerahinya Hero of Asia Award pada tahun 2004.
Di pinggiran hutan Bukit Suban, masih di wilayah Taman Nasional Bukit Duabelas, aku bertemu sepasang kakak beradik yang rupanya mantan murid Butet Manurung. Namanya Betando dan Malik, keduanya anak salah seorang Temanggung. Malik tinggal di pemukiman tetap yang berdekatan dengan perkampungan transmigran dari Jawa di areal batas hutan karet Ujung Daho. Malik ingin sekali bisa meninggalkan kelompoknya dan belajar keluar. Umur Malik sekitar 16 tahun dan banyak bergaul dengan orang-orang luar. Adapun Betando, umurnya sekitar 18 tahun ketika itu, sudah berkeluarga dan tinggal bersama istri dan anaknya di sudung sendiri. Sudung adalah semacam tempat tinggal darurat tanpa dinding, beratap alang-alang, rumbia, atau terpal. Tak lebih besar dari pos ronda di komplek-komplek perumahan. Betando sudah pernah belajar keluar. Dia bahkan pernah berguru di sebuah pesantren di Jawa. Namun kehidupan modern rupanya tak membuatnya nyaman. Betando akhirnya meninggalkan pemukiman tetapnya, menikahi wanita pedalaman dan hidup berpindah-pindah membangun sudungnya.
Saat itu, aku beruntung bisa menemui Betando. Malik mengantarkan kami berjalan menyusuri hutan berkilo-kilo meter jauhnya dan membawa kami ke tempat yang dirasanya adalah tempat kakaknya terakhir membangun sudung. Sekian hari bersama Malik yang sangat ingin keluar, aku akhirnya bertemu dengan Betando yang sangat ingin pulang. Ketika bertemu pun dua saudara itu tak banyak bicara. Hanya beberapa patah kata Betando berbicara kepada Malik dalam bahasa yang tak bisa aku mengerti, tapi aku menduga Betando menanyakan kabar keluarga mereka di pemukiman. Selebihnya, Malik lebih sibuk bermain-main dengan empat ekor anjing yang tak henti menggonggong di bawah sudung.
Aku, orang asing, yang datang dengan sudut pandang sendiri, akhirnya harus menafsir ulang pemahamanku. Yang aku hadapi ini bukan sekadar sebuah kelompok yang menjalankan kehidupan yang berbeda denganku. Dua bersaudara ini menunjukkan dua sudut pandang berbeda tentang cara bertumbuh.
Sebelum mendatangi hutan ini, sekali waktu aku sempat bertemu Butet Manurung. Mbak Butet mengingatkan agar aku berhati-hati menggunakan sudut pandangku. Bukan hanya ke Orang Rimba, tapi juga ke semua hal. Butet memberi contoh dengan menceritakan salah satu bagian pengalamannya mengajari anak-anak Orang Rimba membaca.
Suatu waktu saat ingin memeriksa pelajaran murid-muridnya, Butet meminta salah satu murid menunjukkan hasil pekerjaannya di buku. Tanpa disangka-sangka, murid yang duduk di deretan paling belakang itu malah melemparkan bukunya ke Butet. Bu Guru Butet kaget dan merasa ingin marah, tapi tetap ditahannya.
“Kenapa bukunya dilempar?” tanya Bu Guru Butet.
“Supaya cepat. Supaya Bu Guru tak menunggu lama,” kata murid itu.
Jadi dia melempar buku itu bukan karena ingin berlaku tidak sopan seperti yang kita pikirkan pada awalnya, melainkan justru sebaliknya. Sang murid tak ingin ibu gurunya ini terlalu lama menunggu bila ia harus beringsut dulu dan melangkah melewati satu demi satu temannya.
Inilah soal sudut pandang, Nak.
Kenapa akhirnya aku melantur menceritakan ini kepadamu, begini asal muasalnya. Sekitar hampir dua minggu lalu, kami membawamu melihat hewan-hewan kurban untuk Idul Adha. Kamu senang melihat sapi dan kambing. Beberapa hari sebelum Idul Adha, aku sering memboncengmu di sepeda dan melihat-lihat sapi dan kambing di sekitar mesjid.
Idul Adha kemarin itu, kita tidak pulang kampung. Setelah shalat Id di pelataran kantorku, aku menggendongmu melihat sumbangan sapi dari Pak CT. Sapi gede banget yang beratnya katanya 1,2 ton. Tiba-tiba kamu menunjuk sapi itu sambil berkata, “Nanis.. nanis..”
Aku terkejut melihat apa yang kamu tunjuk. Di bagian mata sapi itu memang tampak ada jejak-jejak air yang menetes turun. Seperti menangis. Bukan sekali ini aku melihat pemandangan seperti itu, tapi kali ini terasa luar biasa karena aku harus menjelaskan padamu tentang sesuatu yang tak benar-benar aku mengerti. Suatu hari nanti bisa saja kamu memakai sudut pandang vegetarian dan mempertanyakan kenapa orang harus membantai hewan-hewan. Prosesi qurban adalah sesuatu yang tak mungkin salah, tapi bagaimana harus menjelaskannya kepadamu? Bagaimana menjelaskan bahwa ada seorang ayah bernama Ibrahim yang bersedia mengurbankan putranya yang paling disayang demi membuktikan ketaatannya?
Sudut pandang kita sebagai manusia biasa tak akan pernah bisa mencapainya, Nak. Sepertujuhmilyarnya Ibrahim pun kita tak ada.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023
bang, bagian bio penulis belum dimutakhirkan bang
itu saja, tabik
selebihnya saya sudah setuju