Sisa Senyum

Sedikit pun aku tak menyangka dia akan melakukan itu. Memang tidak terlalu sering kami bersinggungan pekerjaan, tapi kami cukup saling kenal. Beberapa kali dia menjadi imam shalat. Anak ini memang shalatnya rajin, selalu di awal waktu. Pernah hanya ada kami berdua di mushalla dan kami berebutan untuk menjadi makmum. Aku menang setelah bilang, “yang muda saja yang jadi imam, dosanya lebih sedikit.”

Terakhir kami masih sempat berpapasan di selasar kantor, di antara kubikal. Aku menepuk pundaknya. Dia hanya menyunggingkan senyum kecil, mungkin sisa-sisa dari yang masih bisa dia simpan.

Minggu lalu, pemimpin tertinggi lantai 3 sudah mengumumkan bahwa dia –kawan yang aku ceritakan ini– bukan lagi bagian dari lantai 3. Dia sudah memilih jalannya. Selentingan pun beterbangan seperti bulu-bulu burung. Pada umumnya memperbincangkan jumlah. ada yang bilang jutaan, ada juga yang bilang puluhan juta. Seorang teman bahkan menduga jumlahnya bisa mencapai ratusan juta mengingat betapa lamanya dia telah beroperasi.

Seingatku ini kasus pemecatan ketiga di kantor ini. Yang pertama karena ketahuan menerima amplop dari narasumber, yang kedua karena main cewek lalu ketahuan istrinya dan istrinya lapor ke kantor, dan yang ketiga ini.
Begitulah caranya pergi, meninggalkan kenangan bagi kami, sebagai koruptor.

Aku selalu merasa mau muntah setiap mendengar kata korupsi atau koruptor. Bukan karena apa, tapi karena jangan-jangan aku juga bagian dari itu –secara sadar atau pun tidak.

Baru setelah kamu lahir ini saja, Nak, aku mulai mengetatkan lagi batas-batas. Seperti orangtuaku dulu menjaga kami dari makanan haram, begitupun aku ingin melakukannya kepadamu. Tapi ini seperti menegakkan benang basah, kalau kata orang Melayu.

Aku pernah tanya ke ibuku, bagaimana cara mencegah barang haram masuk ke harta kita. Jawabannya sederhana, selama bukan hak kita ya jangan diambil. Soal yang bagaimana yang termasuk hak kita, ibuku pernah kasih contoh. Misalnya kalau sedang berbelanja di pasar, sebagai pembeli kita punya hak untuk menawar sebanyak 3 kali. Jika pedagangnya tidak memberi sampai sejauh itu, maka tinggalkan. Karena bisa jadi setelah itu sudah meragukan halal-haramnya. Aku juga tidak tahu dari mana angka 3 itu didapat. Tapi menurut dugaanku itu angka batas toleransi keikhlasan seorang pedagang yang dagangannya ditawar.

BACA:  Guru - Obituari Dr. Mansyur Semma

Ibuku mengajarkan hal-hal kecil semacam itu, tapi kamu akan tahu, Nak, betapa sulitnya menerapkannya. Mungkin takaran kita soal hak yang menjadi titik masalahnya.

Sebutlah yang ringan-ringan macam main facebook di jam kerja atau yang agak berat macam bikin bon bensin palsu kalau lagi dinas luar kota. Jujur itu pernah aku lakukan. Mungkin karena aku berpikir itu hak-ku untuk mendapat sedikit kesenangan atau itu hak-ku untuk terhindar dari tekor. Sehingga pembelaan diriku mengatakan bahwa aku bukan koruptor padahal iya.

Masing-masing orang mungkin punya mekanisme sendiri untuk menjaga kewibawaan dirinya agar senantiasa merasa bersih. Aku dulu punya teman pegawai kantor pajak. Dia relatif lurus, tapi di meja-nya dia punya dua laci. Satu laci yang berisi duit bersih dan satunya lagi menurut dia disediakan untuk duit yang syubhat atau meragukan. Duit yang meragukan itu tidak pernah dia bawa pulang, tapi disumbangkan atau dihabiskan selain untuk makanan. Boleh juga idenya, tapi tak ada jaminan juga itu bisa menyelamatkan.

Aku boleh bersyukur karena pekerjaanku saat ini lebih banyak berkutat di kantor sehingga tak perlu sering berurusan dengan biaya perjalanan dinas, UPM, BMA, auditor dan lain-lain. Tapi kadang aku suka kasihan sama teman-teman yang masih harus berurusan dengan hal macam ini, mereka tentu pusing meracik nota dan bon agar neraca seimbang tanpa merugikan siapa pun. Tidak mudah memang. Waktu zamanku masih sering bepergian pakai biaya kantor, aku pernah bawa uang yang nilainya bisa mencapai 20 kali gaji. Cukup menggiurkan seandainya kita tidak kuat iman.

Tapi seperti yang aku bilang tadi, Nak, setelah kamu lahir, kami berusaha menjaga sumber-sumber pendapatan kami sebersih mungkin. Beberapa kali dinas luar kota sejak itu, uang saku tak pernah lagi utuh seperti biasanya. Selalu habis untuk menutupi biaya-biaya yang tak ada pos dananya. Seringnya malah pulang tekor. Takut aku, Nak, bawa pulang uang yang bau bensin atau solar. Yang lalu sudahlah berlalu. Semoga Allah mengampuni.

BACA:  Oleh-oleh Ayah

Ibumu juga kalau jualan online dan ada customer yang protes karena barangnya tidak sesuai bayangan mereka, aku suruh balikin saja uangnya. Barangnya terserah mereka mau balikin atau tidak. Seperti pedagang yang kita tawar berkali-kali di cerita ibuku itu, takutnya uang yang kita peroleh itu tidak berkah karena customer tidak ikhlas.

Pernah aku bertanya kepada orang yang aku anggap ulama, bagaimana menangani sumber mata pencaharian yang kita tidak yakin halal-haramnya, mengingat betapa silang-sengkarutnya dunia saat ini. Tinggalkan, kata ulama itu. Terus terang, kita tidak selalu kuat untuk hal beginian. Kita bukan orang alim yang memadamkan lentera fasilitas negara ketika sedang berbincang urusan pribadi. Akhirnya dengan ilmu dan pemahaman yang semata kaki, kita berkompromi di wilayah ruksah (hukum darurat), seperti halnya kita masih tetap berurusan dengan bank konvensional ketika banyak ulama yang bersepakat bahwa itu riba.

Dua hari lalu, Nak, aku dan ibumu membawamu ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita mau menonton band The Panasdalam yang sedang bernyanyi di sana dalam rangka memeriahkan hari anti korupsi sedunia. Aku dan ibumu sudah lama juga tidak main ke gedung itu. Ibumu ketemu beberapa teman yang mungkin dikenalnya waktu masih jadi reporter dulu. Sedang aku tidak mengenal siapa-siapa lagi. Cuma sempat ketemu Kang Pidi, imam besar The Panasdalam Serikat –yang katanya datang untuk baca doa– dan Alga, sang vokalis yang teriak-teriak di atas panggung, “Nggak mungkin memberantas korupsi pakai kesenian!”

KPK sedang diuji gede-gedean saat ini. Ketuanya baru ganti dan telah disambut kasus-kasus besar yang selama ini seperti tersandera kepentingan politik. Abraham Samad baru saja terpilih. Banyak yang berharap padanya, termasuk aku. Sepak terjang Abraham Samad sudah sering aku dengar sejak masih di Makassar. Setahuku beliau terkenal berani dan lantang bersuara. Reputasi beliau dalam hal perlawanan terhadap korupsi di Makassar cukup membanggakan. Kalau tidak salah, dia juga yang mengungkap kasus rasuah pengadaan mobil pemadam kebakaran yang akhirnya menyeret seorang mantan walikota ke penjara.

BACA:  Arnold dan Tukang Batu dari Kuningan

Mari kita doakan semoga beliau tetap bersih dan berani, seperti halnya kita tak putus-putusnya mendoakan diri sendiri, kadang dengan air mata yang menggenangi bulu mata karena saking tak mampunya kita untuk sekadar melawan hawa nafsu.

Pak Abraham Samad menangani yang besar-besar, kita yang super-mikro. Pak Abraham dan pimpinan KPK lainnya bekerja keras untuk menyelamatkan kehidupan 200 juta lebih penduduk Indonesia dari kemaruknya segelintir orang pemakan pajak, aspal, dan besi beton.

Dan aku juga berjanji akan bekerja keras, Nak, agar suatu hari nanti tak perlu ada teman kantor yang menepuk pundakku saat berpapasan di selasar atau di antara kubikal, dan aku hanya bisa menyunggingkan senyum kecil, mungkin sisa-sisa dari yang masih bisa aku simpan.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

1 Comment

Leave a Reply

Silakan dibaca juga