Jumat pagi itu, 17 Juli 2009, aku tiba di depan Ritz Carlton dengan selamat, atas jasa tukang ojek yang melesat secepat Casey Stoner. Padat sekali. Jalanan macet sangat sejak dari depan kantor. Melewati beberapa barikade polisi yang sebagian memberi jalan dan sebagian lagi mengusir.
Di TKP sudah sangat ramai. Yang pertama aku sadari adalah karyawan-karyawan hotel yang dikumpulkan di lapangan di depan Ritz Carlton. Juru masak, pembuka pintu, resepsionis, dan lain-lain, semuanya dikumpulkan, diberi pengarahan agar jangan panik. Seorang perempuan mengenakan topi koki, menangis sambil berbicara di handphonenya. Mungkin mengabari keluarganya bahwa dia masih hidup. Seorang karyawan hotel yang mungkin sehari-hari mendorong troli barang tamu, kini gantian didorong di atas kursi roda. Terluka.
Kaumku, para wartawan, simpang siur memburu siapapun yang bisa ditanya. Sebagian lagi memanjat ke atas atap, atau merangsek sedekat mungkin. Seorang petugas bersenjata berteriak. “Itu garis polisi! Itu garis polisi!” menyuruh orang-orang untuk mundur. Suara sirene meraung-raung.
Seorang kawan menyodorkan gambar di Blackberry-nya. Rekaman kejadian beberapa saat lalu. “Ini direktur Holchim,” katanya. tapi bukan gambar pria berdasi yang aku lihat, melainkan pria berdarah-darah di atas tandu, wajah sebelah kirinya hancur, dan pergelangan kaki kirinya lunglai hampir putus.
Apa lagi?
Ternyata ada banyak, ada Nathan, Gary, dan Evert yang pergi di hari yang sama ketika anaknya lahir. Kalau kamu menonton TV di hari-hari itu, kamu akan tahu siapa-siapa saja yang terluka. Ada banyak, Nak.
Ini seperti menonton sekuel sebuah film laga.
Sekitar tiga tahun lalu, di depan monumen korban bom Bali di Kuta, aku berdiri menghitung nama-nama yang tertera di situ. 200 lebih. Kepalaku sesak dengan pertanyaan, kenapa orang harus saling menyingkirkan? Utopis-kah untuk hidup berdampingan di dunia yang tak seberapa luas ini?
Hingga di bulan November 2008, ketika trio bomber Bom Bali I menjelang dieksekusi, aku belum juga menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Ratusan orang sudah mati, dan tiga orang akan dieksekusi. Lalu di mana kebenaran bersembunyi? Kita akhirnya terpecah menjadi golongan yang bimbang.
Aku tahu sangat salah mengharapkan sesuatu yang buruk agar terjadi bagi orang lain. Tapi kali ini harus membuat pengecualian, setelah terlebih dahulu merevisi konsep buruk itu sendiri dalam hati dan pikiranku. Dalam beberapa remang malam hampir pagi, aku kadang berharap ketiga orang itu segera saja dieksekusi.
Aku menunggu-nunggu kapan juru tembak itu menarik picu. dan mengakhiri riwayat mereka. Aku merasa cukup lelah, dan bisa merasakan betapa lebih lelahnya teman-teman yang menunggu di Cilacap.
Ketiga orang itu. Beberapa bulan sebelumnya aku bertemu mereka di Nusakambangan, wawancara dengan mereka. Dan aku membawa pulang kemarahan. Sebagai orang Islam. Sebagai umat manusia. Berbulan-bulan setelah itu, di televisi, setelah shalat idul fitri kemarin, aku melihat salah seorang dari mereka masih meneriakkan kata-kata dengan rima yang sama. Muklas namanya. Dia berjanggut dan bersorban, dan dengan begitu merasa bisa mengobarkan kebencian. Atas nama Allah. Seperti banyak orang lainnya yang menyebut dirinya ustadz.
Imam Samudra. Aku juga latah memanggilnya “ustadz” ketika itu. Sesekali aku menyapanya “Kang Azis”. Aku tanya tak pernahkah sekali waktu tergerak hatinya untuk melihat mata istri atau anak orang-orang yang mereka jadikan korban atas nama jihad? Aku tak suka jawabannya. Dia menyebut tentang kafarat. Tak perlulah aku tulis.
Hanya Amrozi yang tak banyak bicara. Dia yang di banyak berita dijadikan ikon, malah terlihat tenggelam oleh dominasi dua sekondannya itu. Atau mungkin dia memang pendiam. Tak tahulah saya.
Dan aku masih dipenuhi bimbang untuk menyetujui atau tidak hukuman mati bagi ketiga orang itu. Bukannya aku tidak berusaha untuk memahami. Aku berusaha. Kadang aku berpikir, mungkin aku juga akan seperti mereka jika seandainya aku telah melihat apa yang mereka lihat. Aku tidak pernah ke Afghanistan atau Irak dan melihat orang Islam dibantai. Aku hanya pernah mendengar cerita Ambon dan Poso dari kawan-kawan yang pernah terjebak perang di sana.
Kecuali kau terlalu sering nongkrong di Starbucks, banyak hal yang bisa membuat dendammu membatu. Kata Imam Samudra, dia berbuat seperti itu salah satunya karena ada seorang wanita muslimah yang diperkosa oleh orang yang disebutnya kafir di Batam. Aku mendengar sendiri dia bilang itu.
Entahlah. Aku bingung dalam taraf yang cukup memusingkan.
Lalu seorang teman mengirimiku sms. Kasih saya pendapatmu tentang hukuman mati, katanya. Dan aku membalas: jika yang kau maksud adalah ketiga orang itu, saya setuju mereka dihukum mati. baik buat mereka, dan baik pula untuk korban-korban mereka. hukuman itu mungkin akan segera memenuhi rasa keadilan keluarga korban teror mereka, dan mereka bertiga juga akan segera bertemu dengan ainul mardiah, bidadari surga, seperti yang mereka cita-citakan.
Lucu. Aku tidak bisa paham mengapa Allah Yang Maha Rahman akan menghadiahimu bidadari cantik setelah engkau membunuh ratusan orang.
Begitulah aku menjawab. Padahal, jujur, aku sesungguhnya berharap ini seperti pilkada dan aku boleh abstain.
Al fatihah…|
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023