Siapa Duluan?

“Yah, kalau orang beli barang, siapa yang harusnya duluan bilang terima kasih. Yang beli atau yang jual?”
Begitu kamu bertanya tadi, sesaat setelah kita keluar dari parkiran dan kamu mendengarku mengucapkan terima kasih ke mbak penjaga loket parkir.
Ayah memang mengajarimu begitu. Selalu ucapkan terima kasih. Dan meskipun kamu tidak butuh, jangan buang resi parkir di depan petugasnya. Kita sering lihat ada yang begitu. Biasanya mobil. Sebelum menutup kaca, orang langsung membuang resi begitu ia selesai membayar.
Jangan begitu ya, Nak. Kantongi dulu saja, dan kamu menjaga 2 hal. Lingkungan dari sampahmu, dan perasaan orang dari tindakanmu.
Soal pertanyaanmu itu, Ayah juga bingung. Mungkin itu sebabnya ada balasan “sama-sama” atau “you’re very welcome”. Artinya, siapa pun yang duluan, yang belakangan menunjukkan respek yang sama.
 
Tapi kalau harus ditentukan siapa yang duluan, menurut Ayah itu tergantung pada siapa yang merasa lebih terbantu. Ayah pernah butuh sebuah barang, sudah keliling banyak toko dan tidak menemukan. Ayah hampir menyerah sampai kemudian ada satu toko yang menjual. Ketika Ayah mendapatkan barang itu, Ayah merasa harus duluan berterima kasih, karena toko itu masih mau menjual barang yang tidak banyak dicari orang.
 
Ini tidak harus untuk urusan transaksional atau imbal balik ekonomi, Nak.
Dahulu sebelum pandemi, sebelum lebaran begini, ada kebiasaan beberapa orang kaya membagikan zakat langsung dari rumahnya. Orang-orang dhuafa datang mengantre kadang sampai berjubel di depan pagar si orang kaya dermawan. Beberapa tahun lalu malah ada kejadian calon penerima zakat meninggal karena berdesakan saat menunggu pemberian.
Sebegitu berisikonya tapi mereka tetap datang demi mengharapkan 2-3 liter beras dan beberapa puluh ribu rupiah.
Sekilas pandang, kita berpikir orang-orang miskin ini yang harus berterima kasih duluan kepada sang dermawan.
 
 
Tapi sini Ayah ceritakan kepadamu sesuatu.
Dulu kita punya tetangga yang kebetulan beda keyakinan agama dengan kita. Orangnya baik sekali. Ia aktif di lembaga sosial yang terafiliasi dengan rumah ibadahnya. Suatu kali Ayah pernah melihat ia di tepi jalan bersama beberapa orang, membagikan bingkisan kepada orang yang lewat.
Ada yang khas dari gesturenya. Setiap kali bingkisan itu berpindah tangan, mereka membungkuk lebih rendah daripada orang yang menerima.
Waktu itu Ayah tidak sempat bertanya. Tapi di kemudian hari baru Ayah tahu, bahwa itu memang etos sikap yang mereka yakini.
Orang yang memberi dianjurkan berterima kasih lebih duluan dan lebih besar daripada orang yang menerima. Pemberi berterima kasih karena di penerima sudah bersedia menjadi jalan bagi perbuatan baik si pemberi.
Si pemberi berterima kasih duluan karena si penerima bersedia menolong si pemberi agar tidak menjadi tamak dan serakah.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga