Sepiring Nasi Goreng dan Arti Pertemanan

Nak, kali ini aku ceritakan kepadamu apa arti berteman.

Di zaman kuliah, aku pernah ditugaskan untuk mengelola majalah himpunan mahasiswa jurusan. Nama majalahnya “Baruga”. Isinya selain berita kegiatan intern organisasi, juga berisi artikel-artikel pergerakan dan propaganda. Seingatku yang sering menulis artikel semacam ini adalah kawanku Eko Dian yang sekarang mengasingkan diri di Australia. Secara struktural, majalah ini berada di bawah binaan Biro Penulisan dan Penerbitan, salah satu biro dalam bagan kepengurusan organisasi.

Waktu itu, zaman sedang panas-panasnya. Soeharto baru saja turun. Dan pers mahasiswa sedang menggeliat setelah lama dibungkam oleh kebijakan normalisasi kampus. Saat itu, aku sedang haus eksistensi, mengembara dari lembaga persma satu yang ke lembaga persma lain. Aku masuk ke Identitas, penerbitan kampus yang dikelola rektorat, bersamaan dengan aku bergabung di Catatan Kaki, majalah pergerakan yang dikelola oleh Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM). Dua-duanya lembaga persma tingkat universitas, namun dengan sistem pendanaan dan ideologi yang –menurutku- agak berseberangan. Di Identitas, aku gagal bertahan, dan merasa Catatan Kaki lebih bisa menerimaku yang slebor. Ketika aku di sana, Catatan Kaki lebih mirip pamflet. Isinya penuh mobilisasi demonstrasi dan kebencian kepada penguasa dan perangkat-perangkatnya, termasuk Rektorat –sesuatu yang tak mungkin dilakukan Identitas.

Sebagai aktivis yang kehilangan arah, apa yang aku terima di Catatan Kaki dan UKPM sedikit banyak berpengaruh pada caraku menangani Baruga, majalah kampus tingkat jurusan yang kebetulan juga aku pegang. Setelah omong-omong dan berdiskusi dengan beberapa teman, muncul niatan iseng untuk “memerdekakan” Baruga dari struktur organisasi jurusan. Baruga yang lebih independen, begitulah cita-cita kami.

Lalu majalah itu terbit dan menuai masalah. Nama lembaga Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOSMIK) yang secara hukum dan fakta masih menaungi Baruga, tiba-tiba hilang di masthead. Hilangnya lini itu juga masih masih menjadi misteri karena sesungguhnya ide “melepaskan diri” itu masih dalam proses perdebatan. Aku akui, ide itu sesungguhnya adalah ide absurd, karena jelas-jelas pendanaan majalah –selain iklan- sebagian besar berasal dari iuran anggota himpunan mahasiswa jurusan. Tapi bagaimana pun, itu keterlanjuran. Dan aku sebagai pemimpin redaksi harus mempertanggungjawabkan semuanya.

BACA:  Sisa Senyum

Aku ingat, itu sore yang suram. Ketua KOSMIK, Igor Suwardi, datang bersama dua atau tiga orang pejabat himpunan. Aku lupa siapa saja, tapi kalau tak salah ingat ada Ahmad Husein juga di situ. Mereka berkunjung ke kamar kos Eko Dian yang kami jadikan basecamp sementara. Di tempat itu pula, ratusan majalah Baruga ditumpuk siap didistribusikan.

Kami semua berteman. Tak ada masalah. Hanya saja sebagai Ketua KOSMIK, Igor merasa terganggu dengan hilangnya nama KOSMIK di masthead majalah. Tapi kemudian pembicaraan menjadi memanas. Dua kubu mulai kehilangan titik temu. Maafkan ingatanku yang pendek ini –aku berharap siapa pun yang hadir di pertemuan itu membaca ini dan mengoreksiku seandainya aku salah–, seingatku Igor mengambil satu eksemplar majalah, mengeluarkan korek api gas dari kantongnya, dan mulai menyulut.

Mungkin Igor tak benar-benar ingin membakar, tapi darahku terlanjur mendidih. Aku angsurkan setumpuk majalah itu. “Bakar saja semua, Bos, jangan cuma satu!” kataku. Kami hampir saja baku pukul, andai aku tak ingat sesuatu.

===
Aku dan Igor seumuran, tapi dia satu angkatan di atasku. Waktu aku masuk, Igor sudah jadi pengurus himpunan. Kami berteman akrab, salah satunya karena kami menggunakan bahasa daerah yang sama. Ketika ia dipilih menjadi ketua himpunan –kami menyebutnya ketua Korps– dia datang ke markas membawa sebuah gambar berfigura. Seperti gambar sepasang anak kecil, dengan selarik tulisan bahasa Bugis di atasnya: pada marennu. Semua bahagia, begitu artinya. Igor ingin siapapun yang ada di ruangan itu merasa berbahagia, tanpa kecuali.

BACA:  Guru - Obituari Dr. Mansyur Semma

Bila ada waktu, kami sering jalan bareng. Biasanya ke Pantai Losari. Menikmati debur ombak dan jajanan dari gerobak Yudi, sebelum ratusan pedagang di situ digusur dan dipindahkan ke tempat lain. Igor suka bikin puisi, dan sering tiba-tiba membacakan puisinya untuk kami.

Suatu malam, kami jalan lagi ke Pantai Losari. Niatku memang hanya untuk menghilangkan suntuk setelah kuliah. Bukan untuk makan-makan, karena setelah kuhitung-hitung uang di kantongku hanya cukup untuk bayar angkot pulang pergi.
Tapi entah bagaimana caranya, Igor tahu aku tak punya uang –dan kelaparan, meski masih bisa aku tahan. Dia menghlang sebentar dan kemudian muncul lagi dengan dua piring nasi goreng, satu untuknya dan satu untukku. Sekilas kami mungkin tampak seperti sepasang homo, tapi saat itu aku benar-benar bisa melihat dia sebagai seorang yang melaksanakan kata-katanya. “Tak ada sejarahnya kita meninggalkan kawan,” begitu selalu dia bilang. Itu adagium yang sering dirayakan di dunia aktivis kampus. Sebuah kalimat penuh harapan untuk saling menguatkan dalam situasi yang bisa saja tiba-tiba tak menentu dan menyakitkan. Seorang kawan harus selalu ada untuk kawannya.

Aku menikmati nasi goreng itu seperti menikmati buku pelajaran. Pelajaran tentang berteman.

===
Persitiwa nasi goreng di Pantai Losari itu terjadi jauh hari sebelum peristiwa di kosan Eko. Beberapa hari setelah kami saling bersiltegang itu, aku mendatangi Igor. Aku minta maaf sebagai anggota organisasi dan sebagai seorang teman. Nasi goreng itu punya andil. Urusan traktir menraktir bisa jadi persoalan sepele dalam hubungan berteman, tapi bagiku tidak. Ini juga bukan soal hitung-hitungan. Sekecil apapun, nasi goreng itu sudah jadi daging dan darah dalam tubuhku. Dan ibuku sering bilang, jangan pernah menyakiti hati orang yang sudah memberimu makanan. Makanan apapun, makanan fisik atau jiwa. Karena kita bukan ular. Kita tidak mematuk tangan orang yang berbuat baik.

BACA:  Di Pameran Buku - Menghayati Syukur

Anakku River, tulisan ini aku buat dengan ingatan yang terbatas dan subyektif. Mungkin ada yang keliru, atau orang-orang yang aku sebut namanya punya perspektif yang berbeda tentang kejadian-kejadian itu. Tapi sebeginilah yang bisa aku usahakan. Usaha untuk memelihara ingatan tentang kebaikan orang, seberapa pun kecilnya.

Kemarin, dari Budi Zulkifli –presenter televisi kawan kami yang memang sering menyampaikan berita-berita— aku dapat kabar, Igor Suwardi, orang yang aku sebut berkali-kali dalam tulisan ini, meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Merauke.

Satu lagi kawan pergi. Kawan baik. Sudah lama kami tak berjumpa, bahkan mungkin tak ingat lagi kapan terakhir bertemu. Sesekali hanya saling menyapa dan bertanya kabar di Facebook. Yang pasti kami kehilangan.

Serangkum Al-Fatihah dan sedikit kenangan baik mudah-mudahan bisa melapangkan jalanmu, Bro.

Salama’ki, Daeng. Na tapada marennu…

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga