SITI, nama seekor kakatua yang diceritakan Eka Kurniawan dalam novel O, mengalami keresahan dalam permenungannya sehabis bercinta dengan seekor pejantan, “Jadi, apa sesungguhnya tujuan kita hidup di dunia ini?”
Siti berkelana mencari jawaban dari satu dahan ke dahan yang lain. Hingga pada suatu hari ia sampai di sebuah lembah dan secara tak sengaja menyaksikan Syech Asyhadie menyampaikan ceramah di hadapan murid-muridnya. Sambil mengacungkan Kitab Suci, Sang Guru berkata, “Tanyakan segala hal yang mengganjal pikiranmu, aku akan tunjukkan jawabannya di sini!”
Walhasil, apa yang terjadi kemudian adalah, seekor kakatua, karena ketertarikannya menyelami makna hidup, akhirnya mampu menghafalkan beberapa ayat dari Kitab Suci, dan dari situlah ia berkeliling dengan satu metode dakwah sederhana yang diwariskan Syech Asyhadie sebelum meninggal. Di mana-mana saja Siti hinggap dan bertemu dengan manusia, di situ pula ia akan berteriak, “Dirikan Salat! Dirikan Salat!”
*
Saya berhenti membaca dan menutup buku untuk sementara setelah melewati cerita tentang burung kakatua mengajak orang-orang sembahyang. Masih di sekitar halaman sembilan puluhan, masih jauh dari tamat. Ingatan saya menuju pada suatu malam, di meja makan, ketika menunggu Mahesh menyiapkan makan malam. Cristi membuka percakapan dengan pertanyaan yang cukup berat, “Di dunia ini, kita nyari apa sih sebenarnya? Kita bangun dari setiap tidur pada setiap pagi dan berhadapan dengan masalah demi masalah. Yang tidak punya pekerjaan akan bertanya, akan makan apa hari ini? Yang berkelimpahan uang bahkan memiliki masalahnya sendiri, bagaimana menjaga pundi-pundi hartanya? Di kampungku, sebagian orang berpesta dan mabuk-mabukan ketika ada kerabat yang meninggal, alih-alih bersedih. Orang-orang yang ditinggalkan bergembira dan mengucapkan selamat kepada sang mendiang atas keterbebasannya dari urusan dunia yang tak ada habisnya ini.”
Mahesh datang menginterupsi kuliah Pengantar Filsafat dadakan dari Cristi, membawa beberapa jenis masakan dari dapur dan meletakkannya di atas meja. Beberapa lembar Capati tersaji, kepul asap dari mangkuk stainless berisi Dal memenuhi ruangan.
“Oke, Cristi, mari kita makan dulu! Nanti saja kau lanjutkan ocehanmu…”
*
Siang itu saya meninggalkan Hyderabad menuju Nanded dengan kereta bersama Cristian Vasile. Ini bakal menjadi perjalanan membosankan, enam jam. Setelah menengok isi dalam kereta yang kusut, pengap dan berantakan, rasa bosan itu segera berlipat ganda bahkan sebelum roda kereta mulai menggelinding. Tadi, di stasiun yang salah, yang pertama kami datangi, Cristi—begitu ia meminta dirinya dipanggil, sempat ditegur oleh petugas karena mencoba menyalakan rokok di depan gerbang stasiun yang serupa mulut besar yang tak henti menelan sekaligus menumpahkan penumpang. Ia tidak tahu, mungkin sebab tak ada rambu yang seperti biasa dipampang sebagai tanda larang. Seharusnya kami naik dari Secunderabad, bukan di Stasiun Kachiguda. Kami sedang menunggu mobil jemputan yang tadi menurunkan kami di sini. Jika melihat perangainya yang sering diserang gelisah, saya menduga orang ini tipikal perokok berat, meski kami baru berkenalan kurang dari sejam.
Kami sampai di Nanded pukul setengah enam sore. Setengah jam sebelumnya, Rahul yang menjemput kami mengirim pesan watsap, dia menunggu tepat di pintu keluar. Setelah tiba di Stasiun Hazur Sahib, kami melanjutkan perjalanan 80km ke arah timur, menuju Mukhed, sebuah kota kecil yang berada di bawah administrasi negara bagian Maharastra.
*
Ini sudah masuk minggu keempat kami tinggal di Hotel Om Sai. Cristi lebih banyak mengeluh perihal akomodasi yang ia terima di tempat ini. Saya juga merasakan hal yang sama di minggu-minggu pertama ketika bergabung di proyek ini. Tapi, apa boleh bikin, standar perusahaan memang sudah mentok segitu, jauh dari ekspektasi. Saya berumur dua bulan lebih duluan. Cristi baru bergabung tiga hari sebelum saya pertama kali bertemu dengannya. Dia datang dari Rumania. Ketika mendengarnya berbicara, saya awalnya mengira dia berasal dari Rusia, mengingat aksennya begitu mirip dengan apa yang kerap saya dengar di film-film yang bertokohkan orang Rusia, dengan huruf ‘R’ yang tebal dan pelafalan kata yang putus-putus. Tidak begitu sulit menangkap apa yang ingin ia sampaikan. Kami menjadi dekat karena kesamaan identitas: sesama orang asing, meski usia kami terlampau jauh, yang kalau diukur, dia lebih pantas menjadi bapak saya.
Di kepalanya selalu tersampir dua kacamata, yang berwarna ungu dengan lensa bening berfungsi sebagai kaca mata baca, dan yang hitam untuk menantang silau matahari. Kumis yang bersambung dengan janggut mengelilingi mulutnya, berwarna senada dengan rambut, hitam dengan gradasi perak. Perawakannya kurus, dan tinggi. Jika kami berdiri berdampingan, kepala saya sejajar bahunya. Dia, sepintas, terlihat mirip dengan Liam Neeson, bintang film yang tingkat kejagoannya berada satu garis di bawah Chuck Norris. Tapi dia menyebut dirinya sebagai Salman Khan. Ketika saya tanya, kenapa kau tiba-tiba memirip-miripkan dirimu dengan artis India? Ia menjawab sambil tertawa, “Coba kau lihat, ke mana saya berjalan, semua mata tertuju kepada saya…”
“Kampret!” Ia memang menjadi pusat perhatian. Kampung yang mayoritas berisi orang-orang berkulit hitam ini kedatangan orang asing. Tinggi, putih, lain sendiri. “Halo, Mister!” Begitu biasa ia disapa oleh anak-anak sini. Ia menjawab dengan, “Namaste… ram-ram!” sambil menjatuhkan lehernya ke kanan satu kali. Warga kampung pasti tersenyum menyaksikan akting itu.
Di balik perangainya yang ramah, sebelah jiwanya yang lain menampilkan wajah emosional dan pemarah. Kecurigaan saya di awal perihal sikapnya yang kerap gelisah kelak terbukti seiring interaksi sehari-hari. Meski ia tidak berada dalam satu departemen dengan saya, tapi mendengarnya memaki bawahannya dari ruangan sebelah hampir setiap hari adalah semacam pembenar bagi dugaan-dugaan saya. Kalau dia sudah naik darah, saya tidak berani memulai untuk bertegur sapa. Kalau saya ada perlu, misalnya membutuhkan koordinat peta, saya akan menunggunya hingga benar-benar reda. Kalau sedang kambuh, semua hal akan diawali dengan kata “f*ck!” Kalau internet sedang lambat, ia akan menunjuk layar laptopnya sambil menggumam, “f*ck internet!” Kalau program di laptopnya hang, ia akan mengetuk trackpad dengan cukup keras menggunakan ujung telunjuknya sambil mengucapkan, “Dracului zeu ticalos al naibii…” Beberapa kali saya temukan ia membanting teleponnya ke meja setelah putus asa menjelaskan detil pekerjaan kepada bawahannya yang rata-rata belum punya cukup pengalaman. Setelah itu, ia akan keluar dan menyulut berbatang-batang rokok. Akan terdengar berulang kali ia menggumamkan kalimat ‘dracului zeu’ itu. Mungkin kau butuh bantuan google translate untuk menertawai apa yang diumpatnya, atau justru merasa iba dengannya.
*
“Saya sudah tidak percaya Tuhan,” katanya pada suatu malam di rooftop hotel ketika kami mencari tempat yang tenang untuk merokok dan menenggak sekaleng cola, sehabis makan malam yang telat dengan menu vegan yang begitu menyiksa lidah omnivora kami. “Sejak istri saya meninggal sepuluh bulan yang lalu, setelah koma tiga hari, brain damage! Dulu saya penganut Kristen Ortodok,” ia melanjutkan ocehannya. Sehabis ceramah tentang agama dan Tuhan, ia lanjutkan dengan tema lain, semisal sepakbola, tentang kebenciannya kepada Barcelona yang ia sebut sebagai sekumpulan pemain sinetron, penuh drama. Atau tentang pengalamannya selama bekerja di Iran, atau di Bangladesh atau kisah lain ketika terjebak selama 48 jam di bandara Kuala Lumpur.
Saya senang-senang saja mendengarkannya bercerita. Sesekali saya sela. Cristi adalah mitra tanding yang cukup bagus untuk melatih kemampuan bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Saya tahu belaka, Inggrisnya juga tak bagus-bagus amat, makanya saya penuh percaya diri kalau ngobrol berdua. Begitulah, jika dua orang bodoh bertemu, maka mereka akan banyak bicara. Hukum ini berlaku dalam tema apa saja.
Sejujurnya, saya merasa kasihan perihal sikap temperamennya itu. Betapa menyedihkan menemukan orang tua yang berada dalam kondisi labil jutsru di usia yang mengharuskannya menjadi bijak. Saya tidak bisa berbuat banyak.
Para pakar dari bidang ilmu kejiwaan berkata bahwa, ada “hal-hal yang belum selesai” di dalam diri pengidap Grumpy Old Man Complex. Mereka menyebutnya dengan istilah Unfinished Bussines. Faktor kehilangan (dalam hal ini, istri) yang melahirkan syndrome emptiness adalah salah satu penyebab depresi. Bisa jadi, Cristi mengalami hal itu, jika mengingat-ingat apa yang sebelumnya ia ceritakan. Saya tidak berani bertanya malam itu, selepas menyampaikan kuliah di meja makan, apakah ia bergembira dan berpesta atas kematian istrinya?
*
Sore sehabis menyelesaikan pekerjaan di lapangan, saya beristirahat sejenak di pinggir sepetak ladang kering sambil menunggu supir mengantar saya pulang ke basecamp. Saya duduk di pematang menikmati petang dengan menangkap-sunting satu dua gambar senja untuk dipasang di dinding Facebook dan mengantarnya dengan sebuah cerita tentang usia yang serupa langit sore itu. Seraya mengingat benang merah antara kisah Siti si kakatua di alam cerita, dan Si Tua Cristi di kehidupan nyata. Sebuah pertanyaan berkelebat dari dalam batok kepala, “Seperti apa kelak kau akan habiskan masa tuamu, wahai?”
- Pagi Satu Syawal yang Asing - 26/06/2017
- “Seperti Apa Kelak Kau akan Habiskan Masa Tuamu?” - 07/04/2017
- Membawa Holi ke Jakarta - 13/03/2017