Sengketa LTS dan Warisan Kolonialisme

Tiongkok berulah lagi. Kali ini, Tiongkok kembali memamerkan tajinya dengan melakukan pembangunan pos di Gosong Scarborough atau yang dalam bahasa Mandarin disebut ‘Huángyán Dǎo‘, yang rencananya akan dimulai pada tahun ini.

Lebih jauh, seperti yang dilansir oleh sebuah Media Hongkong, South China Morning Post, Tiongkok bahkan merencanakan pula untuk membangun sebuah Lanud (Pangkalan Udara Militer) di Gosong Pasir yang diklaim pula oleh Filipina dengan nama Panatag itu, yang hanya berjarak 350 kilometer di sebelah Barat Daya Kepulauan Sprateley.

Tindakan Tiongkok ini tentu menyumbang saham besar bagi kekisruhan dan konflik silang sengketa yang mewarnai Laut Tiongkok Selatan (LTS) selama beberapa waktu belakangan. Bagi Tiongkok, keberhasilan rencana ini, bukan hanya akan memperkuat posisinya sebagai Hegemon di Asia Pasifik namun juga merupakan upaya untuk mendobrak Strategi Cincin Kepulauan yang pernah dicetuskan oleh Menteri Luar Negeri Amerika ke 52, John Foster Dulles.

Menurut Dulles, Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok sebagai motor penggerak kekuatan komunis dunia, bisa diisolir dan direduksi pengaruhnya, dengan mengandalkan pengaruh Amerika atas Rantai Kepulauan yang dikuasai oleh sekutu-sekutu Amerika, yaitu Ryukyu (Jepang), Taiwan, dan tentunya Filipina sebagai sekutu kental Amerika di Asia Tenggara.

Namun, kini dengan kehadiran Tiongkok di LTS, telah membuat rencana Amerika yang sudah kedaluwarsa itu, mengingat Perang Dingin telah usai, menjadi bumerang bagi Sekutu Amerika sendiri, dalam hal ini Filipina. Namun apakah hanya itu alasan Tiongkok memproyeksikan kekuatannya di LTS ? Apakah ada alasan legal lain selain klaim historis Tiongkok bahwa LTS sudah menjadi wilayah Tiongkok sejak zaman Dinasti Han, yang dinilai teralu mengada-ada oleh banyak pihak itu?

Sebenarnya, legalitas klaim Tiongkok atas wilayah yang kini diselubungi oleh Sembilan Garis Putus-Putus di LTS dimulai pada tahun 1887. Dinasti Qing yang waktu itu merupakan Kekaisaran yang menguasai wilayah Tiongkok menandatangani Konvensi Penentuan Batas Teritioral dengan Proktetorat Prancis di Indochina, yang menyatakan bahwa Pulau Paracel dan Gugusan Pulau Spratley adalah milik Dinasti Qing.

BACA:  Leonardo Datang, Bagaimana Nasib Leuser Nanti?

Tentu ini mengherankan, kenapa Prancis memberikan sejumlah besar pulau kecil di LTS itu pada Dinasti Qing ? Apalagi dua tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1885, Prancis telah memaksa Dinasti Qing untuk menandatangani Perjanjian Tientsin pasca Perang Sino-Prancis. Perjanjian tersebut dinilai sebagai Bù-Píngděng Tiáoyuē (perjanjian yang berat sebelah) oleh Dinasti Qing karena mengharuskan Dinasti Qing mengakui kedaulatan Prancis atas negara Upeti Tiongkok, yaitu Vietnam. Dengan kata lain, seharusnya Tiongkok pada saat itu memiliki posisi tawar yang rendah dihadapan Prancis.

Namun, perubahan situasi di LTS terjadi pada tahun 1883. Angkatan Laut Kekaisaran Jerman (Die Deutsche Kaiserliche Marine) mengadakan survey di Kepulauan Spratley. Prancis yang khawatir kalau Jerman akan menguasai LTS sebagai batu pijakan untuk merebut Indochina (Vietnam, Kamboja dan laos) dari tangan Prancis, memutuskan untuk memberikan Spratley dan Paracel kepada Dinasti Qing Tiongkok.

Relasi antara Prancis dan Jerman ketika itu sebenarnya diselubungi oleh atmosfer dendam (Revanchisme) yang akut. Pada tahun 1871, Kerajaan Prussia dan aliansi negara-negara Jerman mengalahkan Kaisar Prancis, Napoleon III dalam Perang Prancis-Prussia. Perdana Menteri Prussia, Otto von Bismarck, memboyong seluruh aliansi Jerman memasuki Paris dan memproklamirkan berdirinya Kekaisaran Jerman di Istana Versailles dengan Raja Wilhelm Friedrich Ludwig von Hohenzollern sebagai Kaisar Jerman. Tak hanya itu, Prancis juga diharuskan menyerahkan wilayah Elsaß-Lotheringen dan membayar uang ganti rugi perang sebanyak 5 Milyar Franc dalam jangka waktu dua tahun.

Kekaisaran Jerman yang baru berdiri itu segera menjadi negara terkuat di Eropa dalam aspek ekonomi dan militer. Maka dari itu, Prancis yang merasa masih belum siap untuk menghadapi Jerman dalam perang terbuka, akhirnya memutuskan untuk memberikan Spratley dan Paracel kepada Tiongkok. Dengan kata lain, Prancis memanfaatkan Tiongkok sebagai Perisai untuk menghadang ambisi Jerman di LTS. Biarlah Tiongkok yang babak belur dahulu menghadapi Jerman, andaikata Jerman suatu saat benar-benar berniat untuk mendepak Prancis dari koloninya di Asia Tenggara.

BACA:  Menemani Bapakku Berjalan Kaki

Setelah Dinasti Qing runtuh pasca Revolusi Xinhai, Republik Tiongkok kembali meneruskan klaim atas gugusan kepulauan di LTS, begitu juga dengan Pemerintahan Republik Tiongkok di Taiwan kemudian. Hal itu juga membuat Republik Rakyat Tiongkok tak mau kalah dan ikut serta dalam konflik silang sengketa di LTS, persisnya setelah Angkatan Laut RRT dibawah kepemimpinan Zhan Yuangpei berhasil merebut pulau Paracel yang sempat dikuasai oleh Vietnam Selatan.

Lebih buruk lagi, Amerika sebagai negara superpower yang mampu menghadang ambisi teritorial Tiongkok juga tak banyak membantu dalam penyelesaian sengketa dengan menekankan pada tahun 1946 bahwa Filipina, sebagai negara Asia Tenggara yang terdekat dengan kepulauan Spratley, bukanlah pemilik sah atas gugusan kepulauan tersebut, berdasarkan pada Perjanjian Paris 1898. Dalam perjanjian tersebut, Kerajaan Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika, tanpa menyertakan Kepulauan Spratley di dalamnya. Dengan keniscayaan itu, Filipina yang memiliki pangkalan udara di Pulau Thitu, salah satu pulau karang di Spratley harus face to face menghadapi Tiongkok sendirian.

(Sumber : http://www.npr.org/news/graphics/2012/09/map-island-dispute-624.gif)
(Sumber : http://www.npr.org/news/graphics/2012/09/map-island-dispute-624.gif)

Intinya, semua kerumitan di LTS yang kita dengar setiap harinya, disebabkan oleh sepak terjang negara-negara Barat di masa lalu yang secara semena-mena mengakuisisi pelbagai wilayah di seluruh dunia guna menambah prestise sebagai Penguasa Kolonial. Kita bisa lihat, Inggris menduduki Kepulauan Malvinas yang berada di muka depan Argentina dan juga Gibraltar yang berdekatan dengan Spanyol. Sekarang, wajar apabila Tiongkok yang ingin menjadi hegemon baru, juga turut mengklaim kepulauan yang berada di muka depan sejumlah negara ASEAN.

Akhirnya, penjajahan tidak selalu menguntungkan semua negara. Kendati Indonesia cukup banyak dirugikan oleh penjajah Belanda namun, jika Belanda tak bertindak sewenang-wenang di Bumi Nusantara, maka kita tak akan bersatu dan membentuk negara dengan wilayah yang luas. Singapura juga  beruntung, berkat penjajahan Inggrislah, negara mereka yang kecil bisa menjadi salah satu pusat ekonomi dunia yang memiliki peran strategis dalam lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

BACA:  Mantra di Punggung Aisha

Akan tetapi, bagi Vietnam, penjajahan Prancis telah membuat wilayah kepulauan yang dekat dengan mereka, kini berada dalam genggaman Tiongkok. Filipina pun mengalami hal yang sama, setelah negeri mereka berpindah tangan dari Penjajahan Spanyol ke Penjajahan Amerika. Walaupun negeri mereka memiliki peran strategis di mata John Foster Dulles, namun kenyataannya, dengan tidak mendukung klain territorial Filipina, Amerika membiarkan Filipina bertarung sendirian menghadapi Tiongkok yang kini telah selangkah lebih dekat dengan wilayah teritorialnya.

Karena itulah, bagi Indonesia selaku negara yang pernah mengalami penjajahan panjang selama 350 tahun dan tak memiliki klaim teritorial di LTS, seharusnya bisa lebih memahami suasana batin negara-negara sahabat di ASEAN yang kini tengah bersengketa dengan Tiongkok. Dengan pemahaman itulah, Indonesia bisa membujuk negara-negara sahabat di ASEAN itu untuk menyatukan suara dalam menghadapi agresivitas Tiongkok yang kian hari kian lapar akan hegemoni dan supremasi.

Hanafi Wibowo
Latest posts by Hanafi Wibowo (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga