Sekolah Kehidupan

Sekolah Kehidupan

Sekolah Kehidupan
img:freeimages.com

Hari-hari belakangan ini adalah hari di mana para orang tua mendapat kesibukan ekstra. Tahun ajaran baru menjelang datang, dan anak-anak harus kembali atau mulai bersekolah. Orangtua yang ekonominya pas-pasan bingung harus cari tambahan dana untuk biaya pendaftaran. Sedang orangtua yang ekonominya kuat, bingung menentukan sekolah yang cocok untuk anaknya. Pilihan sungguh terbentang. Mulai dari sekolah berbasis alam yang mengajarkan anak berteman dengan sapi, hingga sekolah bertaraf internasional yang konon berafiliasi ke institusi pendidikan di luar negeri. Semuanya menjanjikan siswanya akan menjadi hebat dan berprestasi.

Sulit rasanya membandingkan situasi bersekolah sekarang dengan zaman kami dulu. Tempo hari, Nak, aku sempat meliput sebuah sekolah TK yang menggunakan metode Montessori. Luar biasa, Nak, bocah-bocah cilik itu sudah diajarkan berbahasa Inggris dan Arab dan sekaligus. Malu rasanya jika mengingat pengalamanku bersekolah TK dulu. Masa sekolah yang aku jalani hanya beberapa hari itu, hanya diisi dengan belajar nyanyi, menyantap bekal, dan main perosotan sepuasnya. Itupun sudah cukup membuatku bosan, dan akhirnya mogok sekolah. Jangan ditiru kami ini, Nak. Itu tidak bagus. Anak-anak sekarang harus berdaya saing tinggi, dan dengan demikian harus dijejali berbagai macam kemampuan yang akan membuatnya unggul. Anak yang pintar dan cerdas tentu akan membanggakan orangtua. Mereka harus punya sesuatu yang bisa dibanggakan orangtua di pertemuan arisan ibu-ibu atau untuk diceritakan di milis-milis.

River, meski kamu belum lahir dan belum waktunya bersekolah, aku juga mulai sibuk, Nak. Jumat malam kemarin aku memburu travel terakhir dari Jakarta karena ibumu tiba-tiba bilang mulai mules. Aku tiba di Bandung lewat dini hari, dan segera naik taksi yang argonya seperti bendi ke Rumah Sakit Al-Islam. Taksi yang aku tumpangi itu, Nak, cukup mahal menurutku, tapi tetap aku kasih lebih karena sopirnya memujiku secara tidak langung dengan mengira aku dokter yang akan bertugas di RS itu. Senang aku, Nak, dibilang mirip dokter sama si sopir taksi…

BACA:  Pundak Seorang Ayah

Dan hari ini, Nak, empat hari setelah aku diburu pulang itu, kamu belum juga lahir. Kata dokter ini jenis bukaan satu yang lama, jadi ibumu disuruh pulang dulu ke rumah menunggu mulas-mulas selanjutnya. Kesempatan menunggu ini kami pergunakan sebaik-baiknya. Jalan-jalan kemana saja, ke BIP, ke Braga, dan lain-lain. Dua malam lalu kami bahkan hampir membawamu menonton konser Tribute to Pearl Jam di Cihampelas Walk. Tapi nggak jadi karena acaranya terlalu malam mulainya, padahal kami sudah nongkrong di depan Score sejak jam 7 lewat. Sebenarnya aku yang nggak tega. Setelah dipikir-pikir, kok agak terasa tidak bertanggung jawab aku ini. Suami macam apa yang tega membawa istrinya yang sedang bukaan satu menonton konser musik grunge atau apalah namanya itu?

Tapi tak apa-apa ya, Nak. Jangan kecewa. Insya Allah nanti kalau kamu sudah lahir dan tumbuh besar, kita samperin konser benerannya Eddie Vedder! Mudah-mudahan Allah kasih kita rezeki lebih untuk bersenang-senang.

Bersenang-senang itu perlu, Nak. Sampai kelak engkau dapat teori yang lebih bagus, ikutilah teoriku ini. Hidup jangan dibikin susah. Kalau tiba saatnya santai, ya harus dibawa santai. Kepada orang lain kita juga harus banyak senyum, jangan suka marah-marah. Senyum itu sedekah. Jadi kita juga bisa beramal sekalipun tak punya uang.

BACA:  Tante dan Pob

Jadi, begitu, Nak. Apa kataku tadi? Oh ya, bersenang-senang itu perlu. Jadi ingatkan aku nanti, untuk mencarikanmu sekolah yang tidak banyak kasih pe-er. Karena sebenarnya pe-er kita sendiri sudah banyak. Sebagai manusia yang menuntut ilmu di sekolah kehidupan.

Aku punya cerita, Nak. Waktu SD aku punya teman yang buku rapor-nya dijilid dua biji –dijahit dengan benang, saking seringnya tidak naik kelas. Di kelas 6 dia sering jadi bahan tertawaan teman-teman, karena dia yang paling tua di antara kami, tapi tak punya kekuatan apa-apa. Kadang-kadang dia disuruh-suruh apa saja oleh yang lebih muda, dan mau saja melakukannya.

Tapi meski tak sepandai teman-teman yang lain, guru-guru tetap sayang padanya dan berusaha mempertahankan agar dia bisa tetap sekolah. Salah satunya karena dia itu rajin luar biasa. Misalnya dia selalu punya inisiatif untuk membersihkan ruang kelas tanpa harus diperintah. Kalau ada dia, pekerjaan 5K menjadi tidak begitu berat.

Dan begitulah, dalam bergaul sehari-hari, ada saja teman yang sering iseng menambahi sebutan tak beradab di belakang namanya. Mungkin karena namanya pasaran sehingga teman-teman merasa perlu memberi gelar yang identik dengan dirinya, untuk membedakannya dengan yang lain.

Setamat SD, aku hampir tak pernah mendengar kabarnya lagi. Waktu dan dewasa memisahkan kami. Terakhir yang aku ingat, aku melihatnya terpekur di atas sajadah pada suatu malam tarawihan di mesjid kampung kami sekitar tigabelas atau empatbelas tahun yang lalu. Aku lupa apa aku menegurnya saat itu, yang jelas setelah itu aku tak pernah bertemu dia lagi.

BACA:  Tak Perlu Menangis

Tapi aku masih sering mengingat dia. Terutama jika ada yang berbicara tentang sekolah. Itu karena dia selalu mengingatkanku pada sekolah yang lebih luas dan semesta: sekolah kehidupan.

Mencoba membandingkan diriku dengan temanku itu, membuatku sering merenung lama. Dalam hidup, satu bab pelajaran sering butuh waktu lama untuk memahaminya. Malah sering tak bisa dipahami sama sekali.

Maka aku berpikir, andaikata Sekolah Kehidupan juga membagi-bagikan rapor, mungkin akulah murid yang punya buku rapor dengan jilid paling tebal!

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga